tirto.id - Tak banyak sebetulnya yang bisa dibahas dari film teranyar sutradara Teddy Soeriaatmadja, Menunggu Pagi. Film come back-nya setelah vakum tiga tahun ini bisa jadi karya Teddy yang paling melempem. Mengapa?
Pertama, karena karakter-karakter kentang alias ‘kena tanggung’ yang dirakit dangkal oleh Teddy—yang menulis sendiri naskahnya.
Garis besar film ini bercerita tentang empat remaja pria yang ingin datang ke Djakarta Warehouse Project alias DWP—festival musik EDM tahunan yang dicitrakan film sebagai tolok ukur gaul anak muda zaman now. Yang paling bising tentang rencana itu adalah Kevin (Raka Hutchison), bocah blasteran yang bahasa Indonesianya kental dialek bule. Ia juga jadi karakter yang paling dangkal dan diberi dialog-dialog hampa makna.
Dan kekonyolan itu sudah ditunjukkan dalam adegan-adegan mula. Kurang lebih begini ceritanya: Kevin heboh membujuk Bayu (Arya Saloka) untuk ikut nonton DWP. Sang kawan enggan, alasannya pengin jaga toko vinilnya di Pasar Santa, Jaksel—tempat yang menjadi latar berlangsungnya perbincangan. Ia dan Adi (Bio One) sempat menyindir Bayu yang dianggap merajuk karena tak bisa tampil sebagai salah satu DJ di festival musik itu.
Tak kunjung berhasil, akhirnya Kevin memberi kode kepada Bayu untuk menyuruh Adi (Bio One) beli rokok jauh-jauh cuma supaya bisa bicara berdua. Alih-alih memberi selembar lima puluh ribu, Bayu langsung menyerahkan dompetnya pada Adi.
Apa yang ingin dibincangkan Kevin hingga butuh privasi yang tak melibatkan Adi? Tak ada. Ia hanya mengimbuhkan macam-macam alasan dalam rangka membujuk Bayu—yang sebenarnya tak apa-apa jika dibincangkan di depan Adi. Teddy butuh adegan konyol itu untuk bisa menghadirkan konflik dalam naskahnya. Dompet yang dibawa Adi, atas kedangkalan Kevin dan kebodohan Bayu, akan jadi bom waktu yang meledak di ujung-ujung cerita.
Akting Hutchison juga tak bisa menyelamatkan karakter Kevin yang dangkal. Ekspresi muka dan gesturnya kaku dan hampir semua dialognya disampaikan dengan nada tinggi. Pendek kata, Hutchison berlebihan dalam membawakan karakter Kevin.
Karakter lain juga sama saja. Bayu, yang jadi tokoh utama, cuma lebih beruntung sedikit dari Kevin. Karena naskah Menunggu Pagi berotasi pada tokohnya, maka ia dibumbui Teddy dengan konflik yang lebih terang. Bayu digantung oleh Nina (Putri Marino). Lewat sebaris sindiran Kevin dan Bayu, kita tahu ia punya hasrat jadi DJ.
Namun sayang, tak ada pendalaman karakter. Jika hasrat Bayu jadi DJ memang sebesar itu, bukankah akan lebih menarik kalau dendamnya terhadap DWP digali lebih dalam?
Kita tak akan disuguhkan dialog atau adegan apa pun tentang Bayu dan mimpinya. Teddy justru lebih senang memberi Bayu dialog-dialog picisan tentang romansa remaja. Dibanding Kevin yang motifnya cuma hura-hura belaka, Bayu memang tampil lebih kalem.
Bio One Juaranya
Satu-satunya karakter yang jadi pencuri perhatian dalam pertunjukan ini adalah Adi. Ia diperankan dengan sangat kocak dan meyakinkan oleh Bio One. Adi ini memang cuma ‘badut’ pemeriah suasana dalam Menunggu Pagi. Hanya saja, Teddy menjahitnya sebagai karakter yang mempertemukan satu tokoh dengan tokoh lainnya, sehingga kehadiran Adi terasa kokoh.
Mulai dari dompet Bayu yang tak dikembalikannya, teh manis hangat yang ditaburi bubuk sabu dan tak sengaja ia minum, sampai tingkah urakannya yang berusaha mencium pacar orang di diskotek. Dibanding karakter lain, Adi yang sebenarnya bukan tokoh utama punya potensi lebih besar untuk diberi simpati. Belum lagi Bio One—yang sudah menjadi aktor sejak kecil—membuktikan jam terbangnya bukan kaleng-kaleng. Padanya, Teddy seharusnya berutang membikinkan satu film khusus tempat sang aktor jadi bintang utama dan mengeksplorasi seni perannya lebih dalam.
Tanpa Adi, naskah film ini tak akan jadi. Dan Bio One berhasil jadi satu-satunya faktor yang bikin film ini menarik.
Kekuatan Teddy yang Menghilang
Menunggu Pagi dibikin karena Teddy ingin menangkap budaya populer yang terjadi di kalangan anak muda. Karena itu pulalah dalam film terbarunya ini ia mengangkat DWP, yang dipromotori oleh Ismaya Live, pihak yang akhirnya juga menjadi sponsor.
Sayangnya, film ini hanya sebatas itu. Selama 1 jam 22 menit, DWP memang akan dipuja-puji para karakter utama bagai life goal yang wajib ditunaikan. Terutama Kevin.
Potongan-potongan musik dam-dim-dum yang bergema lantang itu memang disetok dari Ismaya sendiri, sehingga tak ada kesan palsu yang dijualnya. Namun, semuanya hanya menunjukkan bahwa ada sekelompok remaja yang kelewat girang di siang hari karena ingin menyambut pesta semalam suntuk di DWP pada malamnya.
Apa itu DWP? Mengapa mereka harus datang ke DWP? Teddy kesannya tak peduli pada aspek-aspek itu.
Tema ini juga terasa dangkal dibanding film-film Teddy sebelumnya. Cerita tentang seksualitas (PSK) dan kaum miskin terpinggirkan (sopir taksi) dalam Something in The Way (2013), isu-isu perempuan dalam About A Woman (2015), dan transgender serta putri muslimnya dalam Lovely Man (2011) adalah sebagian yang paling menarik dan digarap oleh Teddy dengan baik.
Namun, kekuatan itu tak muncul dalam Menunggu Pagi.
Akhirnya, tak banyak yang bisa dibawa pulang setelah menontonnya. Diskusi tentang narkoba dan fenomena cinta satu malam di kalangan anak muda juga cuma lewat sebagai aksesori belaka. Menunggu Pagi merekamnya bukan untuk memberi diskusi apalagi pencerahan, tapi cuma menunjukkan bahwa remaja Jakarta dekat dengan pesta, hura-hura, narkoba, dan cinta satu malam. Anda tak melewatkan apa-apa jika tak menontonnya.
Kalaupun ada yang bisa dibawa pulang, tiga hal saja:
- Jangan lupa mengunci pintu kalau mau asyik-asyik di bilik kamar mandi;
- Jangan memberi dompet jika meminta kawan membelikan rokok, cukup kasih selembar gocap atau cepek.
Editor: Maulida Sri Handayani