tirto.id - Mulai 1 Februari nanti, Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP) akan mengumumkan ke publik soal kepemilikan kapal tangkap ikan yang tidak berizin.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kebijakan "naming and shaming" itu dilakukan agar para pemilik kapal tangkap patuh terhadap prosedur yang telah ditetapkan pemerintah.
"Tanggal 1 Februari semua nama pemilik kapal, posisinya di mana, status [penghasilan] berapa akan saya umumkan ke publik," ujarnya dalam pertemuan bersama para pemimpin media di Kementerian KKP, semalam (25/1/2019).
Pemilik maskapai Susi Air tersebut menjelaskan, langkah itu diambil agar publik tahu dan dapat ikut mengawasi perusahaan-perusahaan penangkapan ikan yang "bandel" tetapi kerap menyalahkan pemerintah atas tidak dikeluarkannya surat izin penangkapan ikan (SIPI).
"Supaya orang melihat, jadi tahu. Kamu belum keluar izin karena kapal 170 GT laporannya cuma 200 ton. Padahal sekali tarik satu malam saja udah 70 ton," ungkap Susi.
Beberapa tahun belakangan, KKP memang kerap disalahkan atas proses SIPI yang dinilai berbelit, terutama untuk kapal berkapasitas 30 gross tonnage (GT) ke atas.
Padahal, menurut Susi, selama ini proses perizinan yang ada di kementeriannya sudah cukup mudah dan terbuka. Masalahnya, banyak perusahaan yang tidak jujur dan melakukan kecurangan dalam proses perizinan.
Misalnya, dengan memanipulasi data hasil tangkapan ikan serta keuntungan yang didapat dari operasional kapal tangkapan ikan mereka.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo menyebut bahwa ada hal yang hendak dicapai dari kebijakan tersebut.
Pertama, membuat pengawasan lebih ketat karena publik ikut terlibat. Sebab, selama ini, syarat wajib untuk pengeluaran SIPI berupa laporan kegiatan penangkapan (LKP) dan laporan kegiatan usaha (LKU) sering dimanipulasi.
Hal ini jarang terungkap ke publik sehingga pelayanan birokrasi dinilai terlalu berbelit-belit. Padahal, tujuannya adalah untuk mengontrol usaha penangkapan ikan di Indonesia agar lebih sustainable.
"Misalnya x kapalnya berapa, ukurannya berapa, teman-teman bisa mengikuti semua. Kami ingin masyarakat memahami. Perusahaan, kan, wajib serahkan LKP dan LKU. Nah, ternyata laporannya jauh lebih rendah dari fisik kapalnya. Ini yang kami sebut tadi under reported," tuturnya.
Selain pelibatan publik dalam pengawasan, kebijakan ini juga dilakukan untuk memastikan tingkat pemanfaatan sumber perikanan dan memastikan pendapatan negara dari pajak perusahaan-perusahaan tersebut sesuai.
"Ini yang jadi masalah besar perikanan dunia. Illegal, unregulated dan unreported. Sehingga Pemerintah kesulitan menghitung tingkat pemanfaatannya. Orang volumenya aja enggak tahu, bagaimana mungkin kita bisa memungut pajak yang bagus dari usaha tadi," pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri