Menuju konten utama

Menkeu Sebut UMKM Penyebab Revisi PMK Akses Data Nasabah

Pemerintah telah menaikkan batas minimum saldo rekening wajib lapor menjadi Rp1 miliar. UMKM disebut sebagai faktor utama dilakukannya revisi itu.

Menkeu Sebut UMKM Penyebab Revisi PMK Akses Data Nasabah
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan alasan yang memengaruhi revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.03/2017. Sorotan utamanya tentu terkait dengan perubahan batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak.

Saat peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tersebut disosialisasikan pada Senin (5/6/2017) lalu, batas saldo yang ditentukan adalah Rp200 juta. Namun, pada Kamis (8/6/2017) pemerintah menaikkan batas minimum saldo menjadi Rp1 miliar.

“Dengan melihat distribusi akun di LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) dan data tax amnesty, kami anggap menaikkan saldo minimum menjadi Rp1 miliar cukup mencerminkan asas keadilan,” kata Sri Mulyani dalam jumpa pers di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, pada Jumat (9/6) sore.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menolak anggapan apabila kementerian lembaganya dicap tidak kredibel dengan melakukan revisi tersebut.

“Sebagai institusi yang mengelola keuangan negara, asas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan harus mencerminkan kredibilitas. Kalau datanya belum baik, akan terus diperbaiki. Untuk itu akan terjadi revisi-revisi,” ujar Sri Mulyani.

“Tidak ada lembaga yang sempurna. Justru kami lakukan revisi tersebut sebagai respons logis untuk terus melakukan perbaikan. Kami terus memperhatikan suara masyarakat,” tambahnya.

Adapun masukan dari para pelaku usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) dikatakan sebagai faktor utama dilakukannya revisi tersebut. Dengan begitu, Sri Mulyani menyebutkan pemerintah akan lebih fokus kepada wajib pajak yang memiliki akses ke luar negeri dan dinilai super kaya.

“UMKM tidak perlu khawatir, karena hanya dikenakan pajak final sebesar 1 persen berdasarkan omzet. Pemerintah pun akan terus menjaga UMKM agar mereka tetap mendapatkan KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan lain-lain,” jelas Sri Mulyani.

Selain memastikan keberpihakannya kepada UMKM, Sri Mulyani turut berpesan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan diberlakukannya aturan keterbukaan data nasabah.

“Kewajiban melapor sekali setahun ada pada lembaga keuangan, bukan pemilik rekening. Sehingga yang lapor cukup lembaga keuangannya, dan masyarakat cukup lewat SPT tahunan saja,” ucap Sri Mulyani.

“Ini hanya digunakan untuk melengkapi basis data perpajakan, karena pemerintah perlu informasi lengkap mengenai itu. Kalau tidak lengkap, maka pemerintah hanya fokus kepada informasi yang dimiliki dan yang menghindar dari pajak tidak bisa dikenai pajak,” katanya lagi.

Sementara itu, Sri Mulyani turut menjamin kerahasiaan serta tidak akan adanya beban pajak tambahan yang dikenakan terhadap rekening nasabah.

Saat menyinggung soal batas minimum saldo yang awalnya ditentukan, Sri Mulyani mengatakan angka tersebut muncul karena tidak adanya standar dari dunia internasional.

Berdasarkan The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), selaku organisasi yang membawahi negara-negara yang berkomitmen terhadap Automatic Exchange of Information (AEOI), memang tidak ditentukan batasan minimum jumlah saldo yang harus diterapkan.

“Waktu itu (angkanya) Rp200 juta karena menurut OECD nggak perlu pakai threshold. Tetapi setiap negara punya konteks sosial politik yang harus dijaga, sehingga kami tidak segan mengoreksi dan kami harus bisa jelaskan,” ucap Sri Mulyani.

Sebelumnya, penentuan batas minimal sebesar Rp200 juta memang dinilai terlalu rendah. Seperti diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, rendahnya angka tersebut berpotensi membuat otoritas perpajakan harus mengadministrasi data yang terlalu banyak.

“Harusnya ada skala prioritas agar lebih efektif. Ini akan membuat biaya administrasi jadi mahal dan hilangnya fokus otoritas pajak,” kata Yustinus kepada Tirto, Selasa (6/6/2017) lalu.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari