tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengklaim sebanyak 62 persen dari total utang pemerintah berasal dari investasi masyarakat Indonesia sendiri.
Adapun besaran persentase tersebut bersumber dari Surat Utang Negara yang dikelola bank, reksadana, dana pensiun, bahkan individual. Sementara untuk porsi sebesar 38 persennya disebutkan berasal dari investasi asing atau non-residen.
“Dari total pinjaman sebesar Rp3.780 triliun, komposisinya surat berharga negara (SBN) sebesar 58,4 persen, SBN valas sebesar 22,2 persen, pinjaman luar negeri sebesar 19,3 persen, dan pinjaman dalam negerinya 0,1 persen,” ungkap Sri Mulyani saat rapat dengan Komisi XI di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Senin (4/9/2017) siang.
“Masyarakat rupanya punya daya beli untuk membeli surat utang negara,” tambahnya.
Menurut Menkeu, pemerintah akan mengelola utang secara hati-hati dan akan digunakan untuk pembiayaan belanja negara yang sifatnya produktif.
“Ini untuk menaikkan kapasitas perekonomian kita. Sehingga kemampuan kita dalam membayar utang menjadi lebih kuat lagi,” ujar Sri Mulyani.
Di samping memanfaatkan utang untuk kegiatan yang produktif, Menkeu bertekad agar pemerintah tetap menjaga rasio utangnya di bawah 30 persen dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto).
Menkeu pun mengaku tak mau menaikkan rasio utang hingga di atas besaran persentase tersebut meskipun Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60 persen dari PDB.
“Selanjutnya, portfolio dengan durasi maturity pun harus terjaga. Financing risk, maturity risk, exchange risk, kami lakukan secara hati-hati,” ungkap Menkeu.
Masih dalam kesempatan yang sama, Menkeu kembali menegaskan kalau utang pemerintah Indonesia masih terbilang rendah apabila dibandingkan negara-negara lain, khususnya yang sama-sama tergabung dengan Indonesia dalam kelompok G-20.
Sri Mulyani lantas menyebutkan negara-negara seperti Meksiko dan Argentina pun memiliki eksposur utang hingga di atas 50 persen.
“Bahkan India yang pertumbuhan ekonominya tinggi, eksposur utangnya 70 persen. Amerika Serikat dan Inggris utangnya hampir 100 persen,” kata Menkeu.
Saat disinggung mengenai pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain, Menkeu menyebutkan PDB per kapita Indonesia yang terhitung Mei 2017 adalah sebesar 3.604 dolar Amerika, per kepalanya hanya menanggung utang sebesar 1.004 dolar Amerika.
“Pendapatan per kapita di Jepang hampir 40.000 dolar Amerika, tapi eksposur utang per kepala mencapai 90.000 dolar Amerika. Pendapatan di Amerika Serikat 57 ribu dolar Amerika, tapi eksposur utangnya 61.000 dolar Amerika,” tutur Menkeu. “Jadi secara stok kita yang paling kecil dan prudent.”
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno sempat mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang sehingga tidak sampai tergelincir seperti halnya dialami negara-negara di Amerika Latin.
“Saya merasakan dua hal. Debt service ratio negara untuk melunasi cicilan dan rasio mengalami perburukan. Selain itu, keseimbangan primer kita pun minus meski angkanya di APBN 2017 lebih rendah,” ucap Hendrawan dalam rapat.
Senada dengan Hendrawan, anggota Komisi XI DPR RI Sarmuji juga menilai seharusnya rasio utang tidak bertambah apabila digunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif. Menurut Sarmuji, belanja negara sudah semestinya dapat diukur tingkat keberhasilannya.
“Jangan sampai belanja begitu besar, tapi outcome-nya tidak besar. Ini yang saya khawatirkan,” tutur Sarmuji.
Sebagaimana diketahui, utang pemerintah per Juli 2017 lalu memang meningkat sebesar Rp313,02 triliun dibandingkan awal tahun ini.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto