tirto.id - Roket yang ditumpangi Reed Richard, Susan, Johnny, dan Ben mengalami kecelakaan. Mereka berhasil selamat, tetapi kejanggalan-kejanggalan mulai menimpa mereka. Ben, yang terus menyalahkan Reed karena kejadian itu, marah dan berubah menjadi manusia batu. Susan kaget, begitu pula Reed. Namun, Susan lebih kaget Reed bisa melar seperti karet saat mencoba menenangkan Ben.
Susan mulai berteriak, “Oh, Reed... Reed.. Kamu juga (berubah)! Kamu juga!”
Reed sadar bahwa ada yang salah dengan dirinya. Seketika ia langsung bertanya-tanya, “Apa yang telah aku lakukan? Apa yang terjadi denganku? Apa yang terjadi dengan kita semua?”
Fragmen itu terdapat dalam komik Fantastic Four #1 (1961) keluaran Marvel Comics. Ini adalah komik yang bisa dibilang sebagai pengubah peruntungan Stan Lee, sang penulis cerita. Sebelumnya, setelah berkecimpung di dunia komik sekitar 20 tahun dan tak kunjung menangguk kesuksesan yang diharapkan, Stan ingin menyudahi kariernya. Namun, istrinya terus mendorong untuk menulis dengan cara yang paling disukainya. Stan akhirnya mengurungkan pensiun. Fantastic Four lantas dibuat sesuai gaya Lee dan meledak di pasaran.
Menurut Stepen Krensky, dalam Comic Book Century: The History of American Comic Books, Fantastic Four laris karena berbeda dengan komik manusia super pada umumnya. Selain tidak mempunyai identitas rahasia, masalah yang dihadapi para tokoh utama dalam Fantastic Four juga begitu dekat. Singkat kata, mereka sangat manusiawi.
“Dua dari empat tokoh itu bersaudara, dua di antaranya saling jatuh cinta, dan mereka semua adalah teman dekat. Setiap tokoh mempunyai kekurangan dan masalah masing-masing di mana membuat komik tersebut semakin menarik,” tulis Krensky.
Sejak saat itu, Stan Lee tahu betul bagaimana caranya merancang formula yang tepat untuk membuat komik tentang manusia super: manusia nyata, masalah nyata, dan kekuatan super.
Karya-Karya yang Dekat Dengan Kehidupan Nyata
Suatu kali, Stan pernah mengatakan, “Hampir semua yang pernah aku tulis, aku bisa menulisnya dalam sekali duduk. aku adalah seorang penulis yang mampu menulis cepat. Barangkali bukan yang terbaik, tapi yang tercepat.”
Pernyataan pria kelahiran 28 Desember 1922 tersebut barangkali berlebihan, tapi Stan jelas seorang penulis yang tidak bisa dianggap remeh. Karya-karya Shakespeare, Mark Twain, hingga Arthur Conan Doyle, yang ia lahap saat masih berusia 10 tahun, membantunya untuk menjadi seorang pencerita handal. Pria yang lahir dan tumbuh di New York ini pintar menciptakan watak karakter, cerdik menempatkan isu sosial, hingga tahu betul bagaimana caranya membuat komik yang relevan dengan para pembacanya.
Lihatlah bagaimana ia mengembangkan Tony Stark, tokoh utama dalam komik Iron-Man. Ia pintar memainkan kontradiksi. Dalam Iron-Man, Tony adalah seorang protaganis dengan tingkat kecerdasan yang nyaris tiada banding, tapi tingkat kesombongannya begitu menyebalkan.
Yang menarik, hampir dari semua tokoh pahlawan super yang diciptakan oleh Stan, Tony Stark adalah salah satu karakter yang sedikit melenceng ketimbang karakter lain. Secara kasat mata, Stark memang tidak memiliki kekuatan super. Ia tidak bisa terbang, tidak bisa berubah menjadi makhluk sangar karena radiasi, juga tidak bisa menghilang. Tetapi jika dilihat secara mendalam, melalui Tony Stark, Lee seolah ingin menggambarkan bahwa seorang manusia biasa juga bisa menjadi manusia super: Stark menggunakan otaknya agar ia mampu menjadi Iron-Man.
Selain itu, Stan juga cukup cerdik dalam memasukkan isu-isu sosial dalam kehidupan nyata ke dalam komik. Inti cerita dari X-Men adalah tentang sekelompok manusia yang memiliki kelainan dan tidak diterima oleh masyarakat umum. Mereka lantas dikucilkan. Alasannya sederhana: karena kelainan alamiah itu, mereka tidak dianggap sebagai manusia. Namun, siapa mengira jika mereka ternyata mempunyai kekuatan super, yang justru bisa berguna dalam kehidupan manusia?
Di dunia nyata, diskriminasi seperti itu, terutama menyoal perbedaan ras, bukan sebuah barang baru. Melalui X-Men, Lee kemudian mencoba mengingatkan bahwa setiap manusia seharusnya dianggap setara.
Kemudian, dari sekian banyak tokoh manusia super yang pernah diciptakan Lee, Spider-Man bisa dibilang sebagai yang terbaik. Bahkan menurut Vulture, Spider-Man adalah pahlawan super paling ikonik dalam jagat Marvel. Dimatangkan selama berbulan-bulan bareng Steve Ditko, Spider-Man mempunyai pesan fundamental yang sangat mengena: Tidak peduli seberapa kuat diri Anda, Anda tidak bisa mengenyahkan kelemahan Anda.
Peter Parker, pria di balik kostum Spider-Man, digambarkan sebagai seorang anak muda yang cerdas tapi kere. Dan seperti anak muda pada umumnya, ia masih begitu labil. Ia masih suka pamer kekuatan dan tidak pernah serius dalam menggunakan kekuatan supernya. Singkat kata, ia semula menggunakannya hanya untuk bersenang-senang. Namun, semua itu berubah ketika ia membiarkan seorang penjahat kabur begitu saja. Penjahat itu lantas membunuh paman Peter, membuatnya menyesal setengah mati. Ia kemudian sadar bahwa “di balik kekuatan yang besar juga terdapat tanggung jawab yang tak kalah besar”.
Kelak, kalimat tu menjadi salah satu kalimat terbaik yang pernah ditulis oleh Stan Lee. Dan saat ia meninggal pada Senin 18 November 2018, Stan sudah menuntaskan tanggung jawabnya sebagai seorang pencerita. Melalui karya-karyanya, ia berhasil menghibur banyak orang, juga meyakinkan kepada siapa saja bahwa setiap orang bisa menjadi manusia super. Bagi Stan, barangkali itu adalah salah satu hal paling penting yang pernah ia lakukan sepanjang hidupnya.
Selamat jalan, Bapak Marvel!
Editor: Nuran Wibisono