Menuju konten utama

Menimbang Kualitas Pemilu 2019 Setelah Aturan Verifikasi Diubah

Masalah verifikasi parpol lahir karena tidak adanya penerapan prinsip-prinsip dasar hak pilih universal (universal suffrage) di UU Pemilu.

Menimbang Kualitas Pemilu 2019 Setelah Aturan Verifikasi Diubah
Ilustrasi warga korban penggusuran di Kampung Akuarium, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, mencoblos di TPS. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 belum digelar, tapi pertanyaan soal kualitas pemilu mulai muncul menyusul langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat revisi atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7 Tahun 2017 dan Nomor 11 Tahun 2017. Revisi dua beleid itu dilakukan dengan dalih menjaga amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pasal 173 ayat 1 dan 3 Undang-undang Pemilu.

Pada revisi dua PKPU itu, KPU menyederhanakan waktu dan cara verifikasi partai politik (parpol) calon peserta pemilu. Penyederhanaan dilakukan agar KPU bisa tetap mengumumkan nama-nama parpol peserta pemilu pada 17 Februari 2018.

"Memang hal ini mengundang banyak perdebatan, tetapi KPU harus mempertimbangkan banyak hal. [Pertimbangannya] Mulai dari ketersediaan waktu, sementara KPU tidak diberi peluang UU itu direvisi atau dikeluarkan perppu. Mau tidak mau, KPU harus [kejar-kejaran] dengan waktu yang tersedia," kata Ketua KPU RI Arief Budiman di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (19/1/2018).

Pada PKPU hasil revisi, waktu verifikasi di tingkat kabupaten/kota diubah dari semula 21 hari menjadi 3 hari, sedangkan untuk verifikasi di tingkat provinsi menjadi 2 hari dari semula 14 hari. Hal sama dilakukan tingkat pusat atau nasional dari 14 hari menjadi 2 hari. Jika ditotal, KPU menurunkan waktu verifikasi dari semula 51 hari menjadi 7 hari.

Karena waktu dipangkas, KPU mengubah metode verifikasi. Penyelenggara pemilu, misalnya, akan memverifikasi faktual dengan meminta parpol mengumpulkan semua kader di kantor kepengurusan setempat. Metode ini berbeda dengan metode KPU sebelumnya yang mendatangi satu per satu kediaman orang yang terdata sebagai kader suatu parpol.

KPU juga mengizinkan anggota parpol tidak datang saat verifikasi di kantor partai setempat. Pembuktian keabsahan identitas seorang kader yang tak datang bisa dilakukan menggunakan metode panggilan video.

Kemudian, penyelenggara pemilu akan memeriksa keabsahan kader atau pengurus parpol dengan menggunakan metode sampling, bukan sensus seperti diatur pada PKPU sebelum revisi. Metode sampling membuat KPU hanya akan memeriksa segelintir anggota dari total kader yang diklaim parpol pada suatu daerah.

"Metode ini kan dibuat dengan sangat sederhana, kemudian waktunya juga terbatas, kami berharap partai bekerja sama dengan kita supaya proses ini mudah," kata Arief.

Verifikasi Versi Baru Meragukan

Keputusan KPU merevisi dua PKPU menuai komentar sejumlah pihak, meski sudah dilakukan dengan melibatkan DPR dan Pemerintah melalui forum Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay berkata penurunan kualitas pemilu bisa terjadi akibat verifikasi dilakukan hanya seadanya. Jika proses pemeriksaan partai berjalan dalam waktu singkat dan metode yang ringkas, parpol diyakini bisa memenuhi syarat menjadi peserta pemilu.

Verifikasi pun dikhawatirkan hanya menjadi formalitas yang harus dilalui parpol sebelum penetapan peserta pemilu.

"Karena itu, verifikasi faktual harus dikembalikan sesuai putusan MK. Kalau tidak, kita akan diberi [pemilu] dengan kualitas menurun dan banyak sekali sengketa proses. Sehingga demokrasi kita yang sudah mengarah baik bisa terancam," ujar Hadar di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (20/1/2018).

Menurut Hadar, verifikasi dengan waktu pendek dapat berdampak pada pemeriksaan yang ala kadarnya. Pemeriksaan keabsahan kader suatu parpol juga bisa diakali karena hanya dilakukan di tempat yang sudah ditentukan, yakni kantor kepengurusan partai.

"Kalau waktu yang pendek ala kadarnya, nanti abal-abal lulus semua. Apa kita mau seperti itu?" kata Hadar.

Ketakutan serupa juga diungkap anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR Arteria Dahlan. Menurutnya, keputusan KPU menyederhanakan proses verifikasi bertolak belakang dengan semangat mematangkan demokrasi.

"Ini yang sebenarnya membuat kami khawatir bahwa harapan sebagaimana yang dikatakan MK untuk penguatan parpol, demokrasi, presidensial, ternyata kontraproduktif setelah revisi PKPU dijalankan," ujar Arteria.

Politikus PDIP itu mengklaim, PDIP menjadi satu-satunya partai yang setuju verifikasi dilakukan dengan metode sensus saat RDP antara KPU, DPR, dan pemerintah. "Hanya PDIP yang menyetujui verifikasi dilakukan secara sensus, mendatangi pengurus parpol satu persatu," kata Arteria.

Anggapan bahwa kualitas verifikasi untuk Pemilu 2019 menurun juga dikatakan Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari. Taufik menilai, setiap parpol sebenarnya membayangkan verifikasi dapat dijalankan secara ideal, akan tetapi keterbatasan waktu dan kondisi menyebabkan perubahan bentuk verifikasi terpaksa dilakukan.

Taufik yakin Partai Nasdem bisa memenuhi syarat-syarat calon peserta pemilu 2019 meski penurunan kualitas verifikasi diprediksi terjadi. Ia juga mengklaim NasDem siap menghadapi verifikasi lapangan dari jauh hari sebelum polemik verifikasi muncul ke permukaan.

"Karena itu jika kemudian yang dilakukan adalah sampling dan dikumpulkan di kantor, menurut saya itu bagian dari mencari jalan tengah agar verifikasi faktual tetap dilakukan meski ada batasan waktu dan keterbatasan lain," kata Taufik.

Kualitas Pemilihan Terdampak UU Pemilu

Kekhawatiran menurunnya kualitas pemilu dan verifikasi parpol diprediksi bukan hanya terjadi karena lahirnya revisi atas PKPU Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2017. Lebih jauh dari itu, kekhawatiran penurunan kualitas mencuat sebagai dampak dari lemahnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Anggota Majelis Nasional Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Standarkia Latief berpendapat, masalah verifikasi parpol lahir karena tidak adanya penerapan prinsip-prinsip dasar hak pilih universal (universal suffrage) di UU Pemilu. Ketiadaan prinsip itu terlihat dari adanya perbedaan perlakuan terhadap parpol baru dan lama seperti tertuang dalam pasal 173 ayat 2 UU Pemilu yang baru saja diuji materi.

"Norma pemilu itu tidak boleh memuat perlakuan berbeda kepada peserta pemilu. Perlakuan berbeda dapat dihindari dengan cara, calon peserta harus dilakukan verifikasi. Dalam konteks ini asas keadilan harus diletakkan," kata Standarkia.

Ia juga berpendapat, pangkal dari semua masalah menjelang pemilu 2019 lahir karena tidak adanya visi dalam penyusunan UU Pemilu. Menurut Standarkia, perumusan UU Pemilu yang selesai 2017 lalu sarat kepentingan politik jangka pendek menjelang pemilu 2019.

Standarkia mempersoalkan kebiasaan DPR dan pemerintah yang kerap mengubah aturan soal pemilu menjelang berlangsungnya proses pemilihan. Menurutnya, hal itu membuktikan ketiadaan visi dalam setiap UU Pemilu yang sudah disusun selama ini.

"Ya jujur saja, pasal 173 ayat 2 UU Pemilu itu bernuansa memagari kepentingan politik tertentu," kata dia menegaskan.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih