tirto.id - Semenjak keluarnya putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, peserta pilkada tidak hanya diikuti oleh calon dari partai politik, melainkan juga dari calon perseorangan. Putusan MK ini semakin meneguhkan eksistensi calon perseorangan yang lebih dahulu hadir di Provinsi Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Calon perseorangan yang maju di ajang pemilihan menjadi bahasan utama dalam diskusi "Meneropong Calon Perseorangan di Pilkada Serentak 2018" pada Rabu (29/11/2017) di Media Center KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat.
Beberapa narasumber yang hadir di antaranya, Moch. Afifuddin (anggota Bawaslu RI), Titi Anggraini (Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem), dan Syamsuddin Alimsyah (Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif/KOPEL).
"Keberadaan jalur perseorangan dianggap mampu memberikan variasi pilihan untuk pemilih sekaligus menjadi instrumen bagi individu masyarakat yang memiliki kapabilitas, elektabilitas, dan kompetensi mumpuni namun tidak berasal dari parpol, untuk ikut serta dalam bursa pemilihan calon kepala daerah dan wakilnya," terang Titi.
Masalah yang muncul dalam kasus pencalonan perseorangan ialah ketidaksetaraan antara parpol dengan calon perseorangan. Tidak hanya pada proses pencalonan semata, tetapi juga saat proses pemilu tersebut berlangsung; mulai dari kampanye hingga pemungutan suara dan penghitungan.
"Dalam proses kampanye parpol hanya tinggal memanfaatkan kepanjangan tangannya di setiap level untuk mengajak pemilih mendukung calon kepala daerah yang diusung oleh parpol. Sedangkan calon perseorangan, nyaris tidak memiliki struktur jaringan yang terlembagakan. Bahkan, calon harus mulai membangun satu per satu saat proses pemilu berlangsung," ungkap Syamsuddin Alimsyah.
Syamsudin menambahkan, "Adanya ruang persaingan yang cenderung tidak setara ini nampaknya menjadi salah satu pemicu rendahnya jumlah pasangan calon perseorangan yang mendaftar sekaligus rendahnya angka keterpilihan calon perseorangan di pilkada."
Berdasarkan catatan Perludem, saat pilkada serentak tahun 2015, dari 135 pasangan calon perseorangan hanya 13 pasangan calon yang terpilih.
Calon perseorangan terpilih di Kota Tomohon, Kota Tanjungbalai, Kota Bukittinggi, Kota Bontang, Kota Banjarbaru, Supiori, Sabu Raijua, Rembang, Rejanglebong, Kutai Kertanegara, Ketapang, Gowa, dan Kabupaten Bandung.
Situasi serupa juga terjadi kala pilkada serentak 2017 di mana dari 68 pasangan calon perseorangan yang terdaftar, hanya tiga calon yang terpilih (Pidie, Boalemo, dan Sarmi).
Berangkat dari situ, Titi mengungkapkan pentingnya kembali memikirkan dan mengatur syarat pencalonan perseorangan untuk pilkada serentak selanjutnya. Tujuannya adalah guna menghadirkan ruang persaingan yang setara dan membuka lebih banyak calon alternatif bagi publik.
Tahapan Pilkada serentak di 171 daerah meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten telah resmi dimulai sejak September 2017. Hari pemungutan suara pun diputuskan berlangsung pada Rabu, 27 Juni 2018.
Sejauh ini, persiapan KPU di daerah sudah sampai tahap penyerahan syarat dukungan bagi bakal calon perseorangan. Sebagai contoh, KPU provinsi menutup tenggat penyerahan syarat dukungan bakal calon perseorangan per 26 November 2017. Sedangkan KPU kabupaten/kota masih membuka waktu sampai 29 November 2017.
Dalam perjalanannya, pola pengaturan pencalonan kepala daerah memang memiliki pendekatan yang berbeda. Bagi partai politik yang akan mencalonkan kepala daerah diberlakukan syarat minimal dukungan partai yang dihitung dari jumlah kursi DPRD atau suara sah partai politik hasil pemilu legislatif.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 mensyaratkan partai politik yang akan mencalonkan kepala daerah sekurang-kurangnya 15 persen dari kursi DPRD atau 15 persen dari suara sah. Sementara Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 yang menjadi payung hukum pilkada serentak menyaratkan partai politik minimal memperoleh kursi DPRD sebanyak 20 persen atau 25 persen suara sah.
Dengan kata lain, jika suatu parpol ingin mencalonkan kepala daerah tetapi tidak memiliki jumlah kursi minimal DPRD yang ditentukan undang-undang, maka solusinya ialah membangun koalisi dengan partai politik lainnya.
Berbeda dengan partai politik, untuk individu yang ingin ikut serta menjadi calon kepala daerah lewat jalur perseorangan, syaratnya adalah mendapatkan dukungan dari penduduk dengan pengumpulan KTP. Syarat minimal ini disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi atau kabupaten/kota dengan besaran presentase bermacam-macam.
Meski demikian, usai keluarnya putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015, ada perubahan mengenai basis data dukungan dari jumlah penduduk menjadi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan umum atau pemilihan terakhir.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Dipna Videlia Putsanra