Menuju konten utama

Menilai Jawaban-Jawaban Ahok-Djarot dalam Debat Pilgub Kedua

Ahok-Djarot paling banyak diserang oleh pasangan Anies-Sandi. Bagaimana jawaban Ahok-Djarot?

Menilai Jawaban-Jawaban Ahok-Djarot dalam Debat Pilgub Kedua
Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memaparkan program saat Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (27/1). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sepanjang debat Pilgub DKI 2017 yang kedua, pasangan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat terlihat lebih santai menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan panelis dan dua pasangan calon lainnya.

Mereka membuka segmen pertama dengan klaim Pemerintah DKI Jakarta sudah melakukan pelayanan terpadu satu pintu sejak 2013. Klaim ini benar berdasarkan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2013 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Satuan kerja ini memiliki tugas untuk melayani perizinan dan non perizinan dengan sistem satu pintu.

Ahok juga menjadi satu-satunya kandidat yang bicara tentang penyandang disabilitas. “Kita bicara trotoar walaupun akan membangun dua ribu enam ratus kilometer, harus ramah pada disabilitas,” katanya.

Kendati demikian, pada pemaparan program tentang transportasi tidak dibahas lebih lanjut apakah program ramah disabilitas ini akan juga diterapkan pada jalur layanan transportasi publik.

Di segmen kedua, moderator membacakan pertanyaan mengapa dengan gaji aparatur pemerintah DKI yang sangat tinggi, kualitas pelayanan di DKI Jakarta, menurut Ombudsman Republik Indonesia, masih berada di posisi 16 dengan nilai 61.2 di antara 33 provinsi yang disurvei.

Djarot menjawab bahwa indikator kinerja yang mereka pakai adalah melalui kewajiban yang diberikan selesai sesuai jadwal. Misalnya, berapa lama dinas pendidikan bisa menyalurkan KJP tepat pada sasaran. Yang bertanggungjawab mengurus air diukur seberapa banyak dan seberapa panjang badan sungai yang bersih dan indah. Tunjangan tinggi, kata Djarot, hanya diberikan kepada yang bisa memenuhi target tersebut. Sehingga pelayanan yang baik akan berpengaruh dengan tingginya tunjangan ini diharapkan akan membuat pejabat di Pemda Jakarta tak perlu lagi korupsi.

Pertanyaan dari moderator sebenarnya hendak menguji: pengaruh kenaikan penghasilan dan tunjangan PNS di lingkungan Pemprov DKI terhadap peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan publik serta penurunan tingkat korupsi. Sayangnya jawaban Djarot hanya menjelaskan metode pemberian tunjangan, tapi tidak menjawab pertanyaan mengapa nilai yang diberikan Ombudsman RI untuk DKI “hanya” 61,2.

Ahok juga menjawab tuduhan bahwa ia bekerja sendiri atau one man show. Menurutnya perlu ada sinergi antar jabatan baik pimpinan dan seluruh jajarannya. Ahok menjawab bahwa selama ini pihaknya tidak pernah one man show. Ia bekerja bersama 135.222 pegawai baik PNS maupun non PNS dengan 5046 jabatan. Ahok juga mengklaim bahwa sebagai pemimpin tidak sekedar memerintahkan tapi juga memperhatikan kesejahteraan dan kehidupan pribadi para pegawainya, seperti hampir di setiap kesempatan pernikahan pegawai rendah di DKI Jakarta selalu didatangi oleh Ahok.

Jika itu argumentasinya, maka tidak ada satu pun pemimpin publik yang one man show. Setiap gubernur, bupati/walikota, menteri hingga presiden juga dibantu oleh ribuan pegawai. Kehadiran di pernikahan pegawai juga tidak menjawab persoalan. Kritik soal one man show sesungguhnya menyasar persoalan struktural: apakah perubahan budaya kerja itu sudah terlembagakan dan telah menjadi sistem ataukah masih amat bergantung pada instruksi/kontrol dari sosok pemimpin.

Pada segmen ketiga pasangan calon nomor dua ditanyai pengelolaan air. Ahok menyebut ia sadar bahwa pengelolaan perusahaan air minum dikuasai oleh swasta, untuk itu ia melakukan renegosiasi dengan Palyja dan Aerta. Ia menyebutkan tentu persoalan air ini merupakan kebutuhan dasar, banyak orang miskin yang dibuat membeli air dengan harga 25.000-50.000 per kubik. Padahal air yang dijual pemerintah Daerah Jakarta untuk orang miskin hanya 1.050 rupiah per kubik, Ahok menyebut banyak orang miskin tidak mampu membayar biaya pemasangan awal, jika digratiskan mereka bisa membayar kewajiban tadi.

Negosiasi dengan Palyja dan Aerta ini adalah urusan pelik. Wacana renegosiasi juga bukan barang baru, setidaknya sudah muncul sejak 2011. Sejak 2015, wacana negosiasi, bahkan akuisisi Palyja-Aerta oleh BUMD, sudah didengungkan oleh Ahok. Karenanya Ahok mesti lebih serius terkait rencana renegosiasi ini. Sayang untuk isu yang krusial ini, Ahok tidak memberi opsi-opsi konkrit, atau bagaimana dan tawaran negosiasi apa, yang disiapkan Pemprov DKI.

Terkait transportasi, Anies menyebut bahwa sistem transportasi yang ada di Jakarta tidak bisa menjangkau semua titik. Ahok menjawab ini dengan klaim bahwa pada 2016 transjakarta telah menambah 53 trayek baru. Dari penelusuran tim riset Tirto diketahui Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan izin penyelenggaraan perluasan jaringan angkutan massal Transjakarta pada kawasan perkotaan Jabodetabek yang meliputi 21 jaringan trayek mulai 2016, sedangkan 32 trayek sisanya belum ditemukan sumbernya.

Pada segmen terakhir Anies menyerang pasangan nomor dua terkait Angka Partisipasi Murni (APM) di Jakarta Utara hanya 52 pesen dan di bawah Biak Numfor. Kenyataannya APM di Jakarta sebesar 67 persen, dengan APM nasional adalah 59 persen. Untuk klaim bahwa APM Jakarta di bawah Biak Numfor, Anies kurang tepat. Data menyebutkan APM Kab. Biak Numfor untuk tingkat SMA dan sederajat menunjukan nilai 51,49% pada tahun ajaran 2015/2016, sementara untuk Jakarta Utara 51,79% pada tahun ajaran yang sama.

Ahok lantas menyerang balik Anies yang menyebut bahwa berdasarkan ranking kinerja aparatur sipil negara di Ombudsman DKI Jakarta menduduki nomor 16 dari 34 provinsi. Ia balik menyerang dengan menyebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sempat dipimpin Anies berada pada posisi 22 dari 22. Harap diperhatikan, nilai yang dikeluarkan Ombudsman merupakan hasil survei. Dan survei Ombusman tidak mengeluarkan ranking, melainkan hanya zonasi (hijau, kuning, merah) dan nilai untuk menjelaskan hasil.

Infografik Ahok-Djarot

Salah satu yang menarik adalah pernyataan Ahok di segmen keenam tentang birokrasi sebagai pelayan rakyat. Ia mengatakan: “Kami akan mempertahankan meritokrasi. [...] Saat itulah birokrasi kita akan sejajar dengan birokrasi dunia yang memang hasratnya, empatinya, melayani rakyat. Karena rakyat adalah bos kami. Kami adalah pelayan.”

Menjadi pelayan rakyat berarti juga mendengar dan membetulkan kesalahan yang dilakukan rakyat dengan cara yang baik. Pelayan berarti juga memberi tahu jika memang ada warga yang keliru. Bahkan walau niatnya baik sekali pun, memaki warga dengan sebutan “pencuri” bukanlah langgam yang bisa dinisbatkan kepada seseorang yang mendaku sebagai pelayan.

Pada Desember 2015, seorang ibu bernama Yusri Isnaeni mengadu kepada Ahok lantaran dana Kartu Jakarta Pintar dipotong 10 persen saat hendak dicairkan. Ahok menyebutnya sebagai “pencuri” karena menganggap dana KJP itu tidak bisa dicairkan secara tunai karena hanya bisa digunakan untuk kebutuhan sekolah anak-anak di tempat yang telah disediakan.

Sebagai pejabat publik yang (mengutip pernyataan Ahok) “hasratnya, empatinya, melayani rakyat”, Ibu Yusri cukup dikoreksi dengan cara-cara yang tidak menyakitkan dengan memberikan label “pencuri” atau “maling”. Karena jika KJP tidak bisa dicairkan tunai, tapi ternyata bisa dicairkan dalam kasus Ibu Yusri (walau dipotong 10 persen), maka ada yang keliru dalam penerapan kebijakan.

Baca juga artikel terkait AHOK-DJAROT atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS