tirto.id - Peringatan: tulisan ini memuat beberapa kata kasar dan umpatan
Pithecanthropus! Vegetarian! Technocrat!
Peringatan di awal tulisan ini tentu bukan untuk tiga kata di atas. Captain Haddock dalam seri The Adventures of Tintin barangkali adalah karakter yang punya ragam makian terbanyak. Dari umpatan biasa seperti "tolol" atau nama-nama hewan hingga kata yang sebetulnya tidak memiliki konotasi negatif.
Hergé, seorang artis dari Belgia kreator seri Tintin, sadar bahwa sebagai pelaut Captain Haddock mestilah punya perbendaharaan kata yang "penuh warna". Di lain sisi, dia menyadari pula bahwa pembaca Tintin juga mencakup anak-anak. Maka, jadilah Captain Haddock yang sekarang kita kenal, yang tampak bisa menjadikan kata apa pun yang aslinya tidaklah ofensif sebagai umpatan dan hinaan.
Gaya umpatan seperti milik Captain Haddock barangkali kurang relevan untuk menimbulkan sakit hati pada siapa pun yang dihina, tetapi setidaknya ia bisa memproyeksikan kemarahan ke dalam kata-kata seperti "pithecanthropus!".
Untuk soal umpatan dan hinaan asli, kita bisa menyerahkannya pada para pelaut betulan yang bisa dibilang ahlinya untuk itu.
Pada 1699, Cotton Mather telah menyertakan stereotip pelaut yang gemar berkata kasar dalam khotbahnya. Salah satu figur sentral dalam Pengadilan Penyihir Salem itu mengatakan, "Bukankah dosa sumpah dan kutukan yang profan menjadi terlalu terkenal di kalangan pelaut kita?" Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa, "hanya ada sedikit pelaut yang memiliki kebijaksanaan yang nyata di dalam dirinya."
Sampai sekitar 1790, banyak laki-laki muda (kira-kira berusia 17 hingga 35) yang menghabiskan sebagian besar masa dewasa awal mereka di lautan. Itu dunia yang didominasi laki-laki, juga kehidupan dan pekerjaan berat yang jauh dari masyarakat dan berbagai norma. Sama sekali tidak mengejutkan jika ungkapan yang kemudian lahir dari kehidupan semacam itu adalah "mengumpat seperti pelaut", alih-alih "bijak layaknya pelaut".
Ragam Kata Kasar
Sebetulnya hanya ada sedikit kata-kata umpatan yang spesifik dalam buku catatan kapal dan jurnal pelaut dari zaman itu. Namun, dalam kronik Swear Like a Sailor: Maritime Culture in America, 1750 to 1850, sejarawan Paul A. Gilje menemukan satu umpatan yang tak hanya ampuh membangkitkan kemarahan tapi juga terus digunakan hingga kini: damn, son of a bitch.
Saat ini mengatakan "damn" (entah itu maksudnya "sialan!" atau "terkutuk!") nyaris sama biasanya dengan kata-kata pengisi (expletive) lain yang tidak bernuansa negatif. Namun, di Amerika abad ke-18 dan 19 yang religius, menggunakannya bisa berarti masalah. Howstuffworks menulis: kebanyakan pelaut dibesarkan di rumah yang religius dan sepenuhnya memahami bahwa melontarkan kata "damn" adalah ihwal yang penuh dosa, tetapi itu justru membuatnya memiliki daya tarik untuk diucapkan.
Sementara "son of a bitch" bisa dibilang masih merupakan umpatan kasar hari ini. Namun, dengan semakin seringnya ia digunakan, ditambah dengan banyaknya variasi cacian lain, ia sama sekali tidak terdengar berbahaya ketimbang beberapa abad lalu--ketika mengucapkannya bisa berarti penyulut perkelahian.
Sesuai terjemahan harfiahnya, son of a bitch 'anak anjing betina' memang dimaksudkan agar terdengar lebih provokatif ketimbang, katakanlah, anak pelacur. Menyebut ibu seseorang sebagai "bitch", selain terdengar bestial, juga mengindikasikan perempuan murahan yang bersedia berhubungan seks dengan lelaki mana saja yang tersedia. Bayangkan efek kata-kata itu dilemparkan ke muka mereka yang meninggalkan rumah dan ibunya sejak usia muda.
Singkatnya, menurut Gilje, "son of a bitch" bagi para pelaut masa itu adalah tantangan untuk "keibuan dan kejantanan" sekaligus.
Selain dua perkataan tersebut, yang bisa dikombinasikan demi mencapai efek maksimal, setidaknya ada satu kata kasar lain lagi yang dipopulerkan sungut para pelaut. Penggunaannya pada hari-hari ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai umpatan atau serapah, lebih sering dilemparkan untuk mereka yang sinis, marah, atau menanggapi suatu hal dengan "asin": salty.
Merriam-Webster mencatat "salty" pertama kali muncul dalam kamus Latin-Inggris Promptorium Parvulorum pada 1440. Saat itu maknanya masih seputar kata asalnya, garam. Pada akhir 1800-an, "salty" mulai mengacu pada berbagai aspek kehidupan dan budaya pelaut. Berkat kecenderungan pelaut untuk menyemburkan kata-kata kotor, "salty" kemudian ditujukan untuk merujuk kemarahan yang meledak-ledak.
Selain kehidupan keras penuh risiko yang jauh dari hura-hura dan masyarakat dengan segala normanya, berucap kasar juga terkait dengan penerimaan di lingkungan. "Mengumpat seperti pelaut adalah salah satu cara yang dapat diidentifikasi untuk memastikan kau adalah bagian dari kelompok," kata Marc Nucup sejarawan di The Mariners' Museum and Park di Newport News, Virginia.
Ketika akhirnya para pelaut meninggalkan lautan, entah untuk sementara sekadar berlabuh dan menghabiskan uang di bar atau selamanya/pensiun, berbagai hal yang melekat pada diri mereka pun turut serta. Tidak hanya balada para pelaut, kisah-kisah pelayaran, atau sea shanty, kata-kata kasar pun ikut tinggal di daratan dan secara luas terus digunakan.
Sisi Psikologis
"Kalau kau bicara seperti pelaut, maka kau harus bekerja seperti pelaut," ujar Mama Krabs. Dalam episode "Sailor Mouth" yang sarat akan sensor, ia menghukum SpongeBob, Patrick, dan anaknya sendiri Mr. Krabs lantaran mengucapkan kata-kata tidak senonoh. Beberapa saat sebelumnya, Mr. Krabs baru mengatakan bahwa ada 13 kata kasar yang tidak boleh diucapkan kepada SpongeBob dan Patrick, yang akhirnya ia lontarkan satu-persatu ketika kaki kepitingnya kepentok batu.
Seri SpongeBob SquarePants tentu berkaitan erat dengan hal-hal nautikal, termasuk menyertakan ungkapan "mengumpat seperti pelaut" ke dalam episode tersebut. Tetapi yang tak kalah menarik, Mr. Krabs baru saja melanggar aturannya sendiri (soal kata-kata kasar) tanpa sengaja ketika kesakitan.
Di balik poin-poin minus umpatan atau sumpah serapah, yang terkait erat dengan persepsi buruk pada orang yang suka melakukannya, efek positifnya juga terus diuji. Dalam penelitiannya, Richard Stephens menguji hubungan antara mengumpat dan efeknya yang disebut bisa meningkatkan toleransi pada rasa sakit seperti yang dilakukan Mr. Krabs.
Selain efek katarsis kata-kata kasar saat mengalami kesakitan yang terus diuji keampuhannya, di internet bisa dengan mudah ditemukan studi dan penelitian lain yang menyatakan bahwa kata-kata macam itu juga ada manfaatnya. Entah itu perihal hubungannya dengan kejujuran (bahwa orang yang berkata kasar biasanya lebih jujur), menyampaikan komunikasi dengan lebih efektif, atau bahkan korelasinya dengan kefasihan verbal alih-alih karena kekurangan kosakata.
Dalam penelitiannya, Kristin Janschewitz menyebutkan bahwa kata-kata umpatan dapat digunakan untuk mencapai sejumlah tujuan, seperti ketika digunakan secara positif untuk bercanda atau bercerita, manajemen stres, menyesuaikan diri dengan orang banyak, atau sebagai pengganti agresi fisik.
Hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan Janschewitz dkk. mengerucut pada: bahwa sebagian besar penggunaan kata-kata kasar tidaklah problematik; sangat jarang menimbulkan konsekuensi negatif. Bahwa bahaya yang bisa timbul lebih terhadap standar dan kepekaan seperti nilai-nilai agama atau seksual.
Berdasarkan penelitian-penelitian terkini, selain saat menerima bogem mentah atau ketika mengolok orang lain damn son of a bitch, para pelaut sepertinya telah menyadari efek positif kata-kata vulgar sejak lama.
Editor: Rio Apinino