tirto.id - Tertawa adalah ciri manusia. Karena itu ada yang mendefinisikan manusia sebagai “binatang yang tertawa” -- sejalan dengan definisi “binatang yang berpikir” atau “binatang cerdas yang menyusui”.
Ada masyarakat, bahkan seseorang, yang dikenal luas sebagai humoris. Ada juga yang tidak atau kurang humoris. Masyarakat Mesir dan Persia sangat kental dengan sikap humornya, demikian juga dengan masyarakat Perancis. Tidak demikian dengan masyarakat Jepang atau Jerman. Dalam masyarakat yang punya kecenderungan humoris, tidak jarang dalam suasana berkabung pun dapat didengar gelak tawa.
Di Mesir ada hikayat yang menceritakan bahwa sekelompok humoris berkumpul dan sepakat memberi angka-angka bagi joke dan cerita-cerita jenaka yang selama ini telah diketahui oleh semua. Hal itu untuk mempersingkat waktu penyampaiannya sehingga lebih banyak waktu untuk tertawa.
Namun, dalam satu pertemuan para humoris, hadir seorang tamu yang tidak memiliki jiwa humor. Ia mendengar hadirin silih berganti menyebut angka-angka dan setiap angka yang disebut mereka tertawa karena mengingat kandungan yang ditunjukkan angka itu. Sang tamu ingin berpartisipasi, lalu ia menyebut satu angka, ternyata tidak seorang pun tertawa. Setelah berlalu beberapa saat, salah satu seorang humoris menyebut angka yang disebutkan sang tamu, seketika itu juga meledak tawa dari seluruh hadirin.
Sang tamu bertanya: "Mengapa kalian tidak tertawa sewaktu angka yang sama kusebut?”
Mereka menjawab: "Entah mengapa ucapanmu tidak mengundang tawa kami.”
Memang di kalangan ilmuwan ada banyak pertanyaan dan pembahasan tentang sebab-sebab tertawa. Misalnya, mengapa ada tawa yang sanggup menggerakkan badan sampai-sampai ada yang tertawa demikian keras hingga terduduk atau terbaring? Mengapa menyentuh bagian-bagian sensitif dari badan seseorang menimbulkan gelak tawa? Itu pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya beragam. Bermula dari para humoris, jawaban ala kadarnya semacam “entah mengapa”, sampai jawaban para psikolog atau filosofi dan agamawan.
Ada yang menduga bahwa tawa lahir dari rasa superioritas yang tertawa terhadap objek yang ditawakannya. Baik karena objek tertawaannya itu berhasil ia tipu, maupun karena objek tawanya melakukan sesuatu yang memperlihatkan kebodohan atau kelemahan.
Dugaan ini dapat diterima kendati bukan sebab satu-satunya tertawa, karena ada saja yang tertawa setelah menyadari bahwa ia tertipu -- inilah yang mungkin disebut “tawa kecut”. Jika demikian, bisa jadi salah satu sebab utama tawa adalah “terjadinya sesuatu yang tidak terduga”. Di sisi lain, “tawa kecut” itu menunjukkan bahwa tawa tidak selalu berbarengan dengan lahirnya rasa gembira, kendati rasa gembira dapat mengundang lahirnya tawa.
Dari sisi fisiologis, tertawa menurut sementara pakar mengaktifkan berbagai bagian dalam otak. Kata mereka, bagian otak yang bereaksi terhadap lelucon adalah medial ventral pefrontal cortex, di mana bagian ini turut berperan dalam perkembangan kognitif, kepribadian, dan emosi.
Tawa dan tangis juga bersifat universal, tawa yang Anda dengar tidak dengan serta merta menunjukkan siapa dan dari mana pelakunya. Tawa dan tangis orang Amerika, misalnya, tidak ada bedanya dengan tawa dan tangis penduduk daerah terkebelakang dan terpencil yang hidup ratusan tahun lalu.
Dalam kitab suci ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang tawa. Dalam al-Qur’an dikisahkan bahwa istri Nabi Ibrahim As., yakni Sarah, yang sudah tua “tertawa”. Tawanya didahului rasa takut karena suaminya menghadapi tamu-tamu yang, diduga oleh Ibrahim sebagai malaikat, enggan mencicipi hidangannya dan karenanya berpikir jangan-jangan mereka hendak menyampaikan kesalahan/kekeliruan kaumnya. Namun tamu-tamu itu, yang memang malaikat, kemudian menyampaikan bahwa mereka hendak menghukum kaum Luth. Setelah itu, tamu-tamu itu menyampaikan bahwa Ibrahim dan Sarah akan dikaruniai seorang putera (QS. Hud ayat 70 dan ayat 71).
Di sana, dalam hati sang istri terjadi peralihan dari rasa takut menjadi rasa heran dan takjub serta gembira dan bersyukur (karena hendak mendapatkan putera padahal ia dan suaminya sudah tua), yang akhirnya mengundang tawa. Demikian salah satu contoh penyebab yang mengundang tawa. Karena itu sementara pakar berkata: ”Orang tertawa karena takjub atau heran.”
Ada juga uraian tentang Nabi Sulaiman yang tertawa mendengar pimpinan sekelompok semut mengajak anggotanya untuk segera masuk persembunyian dengan alasan: “Jangan sampai Sulaiman dan tentaranya menggilas mereka (semut) tanpa sengaja.” Ketika itu nabi Sulaiman tertawa. Tawa Nabi Sulaiman sekaligus seorang Maharaja ini lahir dari sikap atau reaksi sejenis binatang kecil. Tawa ini adalah pertanda rasa puas atas aneka nikmat Allah yang beliau terima disertai harapan agar dianugerahi kemampuan untuk mensyukurinya (QS. an-Naml ayat 19).
Di samping itu, ditemukan juga dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berbicara tentang tawa yang tujuannya adalah mengejek. Ini cukup banyak, misalnya QS. al-Muthafifin ayat 29-30. Dalam perjanjian Lama dan Perjanjian Baru pun fenomena tawa ini ditemukan. Ini bukan berarti bahwa tawa (yang mengejek) dibenarkan agama, tetapi juga membuktikan bahwa tawa beraneka ragam sebabnya.
Penulis juga teringat pada firman Allah dalam QS. an-Najm ayat 43, yang menyatakan: “Allah menjadikan orang tertawa dan menangis.” Ini antara lain membuktikan bahwa Allah tidak melarang tawa atau tangis karena itu adalah ciri yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Tertawa, demikian juga menangis, adalah sesuatu yang amat dibutuhkah manusia. Dengan tertawa juga menjadi cerah dan perasaan menjadi lega, dan dengan menangis kesedihan dapat berkurang atau terobati. Tertawa, menurut penelitian, dapat meningkatkan harapan hidup, serta mengurangi rasa sakit.
Di samping makna-makna di atas, ayat ini juga dapat berarti bahwa Allah yang mengetahui secara pasti kapan seseorang tertawa dan menangis. Tidak ada yang tahu jika sesaat setelah tertawa terbahak, terjadi peristiwa yang memilukan. Di sisi lain, boleh jadi satu kejadian atau cerita lucu mengundang tawa si A, tetapi dalam saat yang sama mengundang juga kerutan dahi si B.
Banyak kosa kata yang digunakan untuk menunjukkan tawa. Masing-masing kata itu dapat menunjukkan sifat/karakter orang yang tertawa. Tawa mengejek yang menyakitkan dan membuka aib adalah tawa seorang yang tidak bermoral. Tawa yang mengandung olok-olok mengundang kesan bahwa pelakunya angkuh dan meremehkan objeknya. Sedangkan tawa yang lahir dari gurauan yang berhasil membuat subjek dan objek sama-sama tertawa, maka inilah tawa “orang baik” yang berusaha menyenangkan dirinya dan menyenangkan yang ditertawai.
Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa senyum yang tulus, atau tawa yang alami, mengundang perkenalan dan hubungan harmonis, betapa pun orang-orang yang sedang tertawa itu punya perbedaan jenis, agama atau kecenderungan.
Salah satu tuntunan umum ajaran Islam adalah hendaknya setiap orang tampil dengan wajah ceria ketika menghadapi orang lain. Menunjukkan wajah masam dan kusut tidak dianjurkan dalam Islam. Namun, tidak berarti larut dalam keceriaan dan melupakan sisi lain dari kehidupan, yakni kesedihan, tetapi hendaknya diketahui bahwa kesedihan batin pada gilirannya dapat mengundang kegembiraan hakiki.
Contoh nyata dari kondisi seperti ini dapat kita temukan dalam sejarah kehidupan para sufi dan orang yang dekat kepada Allah. Ada ungkapan menyatakan: Apabila kematian merupakan keniscayaan, mengapa harus sedemikian gembira? Bukankah dengan kematian akan lahir pertanggungjawaban? Apabila setan merupakan musuh utama dan abadi manusia, mengapa manusia lalai?
Karena itu, sangat wajar ada peringatan untuk berdoa dan beristigfar setelah tertawa terbahak-bahak melampaui batas. Demikian sekelumit ajaran agama tentang tawa. Wa Allah A’lam.
=======
*) Naskah dinukil dari buku "Yang Bijak Yang Jenaka - Dari M.Quraish Shihab"yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS