tirto.id - Beberapa asumsi makro ekonomi Indonesia dalam RAPBN 2018 dinilai terlihat optimistis bahkan bisa dibilang ambisius dibandingkan dengan APBN-P 2017.
“Pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,4 persen. Pertumbuhan ekonomi yang optimis tersebut akan dicapai melalui dukungan konsumsi masyarakat yang terjaga, peningkatan investasi, dan perbaikan kinerja ekspor dan impor,” kata Presiden Jokowi saat pidato dalam keterangan pemerintah atas RUU APBN 2018 beserta Nota Keuangan di gedung DPR, Jakarta, Rabu (16/8/2018)
Target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen memang diakui optimistis oleh Jokowi, bila dibandingkan dengan APBN-P 2017 yang hanya dipatok hanya 5,2 persen. Target pertumbuhan tahun depan bahkan lebih tinggi dari APBN 2017 yang hanya 5,1 persen. Sedangkan dalam APBN 2016 sempat ditetapkan 5,3 persen, tapi realisasinya hanya mencapai 5 persen.
Secara historis, selama Jokowi berkuasa, capaian ekonomi setinggi 5,4 persen memang belum pernah kesampaian. Pada 2014 hanya menyentuh 5,02 persen, pada 2015 malah terjun jadi 4,88 persen, dan 2016 sedikit membaik jadi 5,02 persen. Pada tahun ini, ekonomi masih melambat dengan capaian 5,01 persen pada kuartal II-2017: terhadap kuartal II- 2016
Asumsi makro yang terlalu optimistis ini tentu menuai kritikan. Peneliti dari Institute For Economic and Development Finance (INDEF) BimaYudistira menilai asumsi pertumbuhan ekonomi terbilang ambisius mengingat karena beberapa indikator perekonomian saat ini masih menunjukkan tren yang menurun.
Menurutnya, konsumsi masyarakat sebagai pembentuk 56 persen kue perekonomian mengalami pelemahan jika dibandingkan tahun sebelumnya dengan pertumbuhan di bawah 5 persen pada semester I-2017. Di sisi lain, penggerak ekonomi lain seperti dari sektor industri pengolahan juga tengah lesu dengan pertumbuhan sebesar 3,54 persen di kuartal II-2017. Sektor perdagangan juga melemah dapat dilihat dari penjualan ritel hanya tumbuh 3,78 persen di kuartal II.
Menyoal target inflasi yang sebesar 3,5 persen, angkanya jauh lebih optimistis dibandingkan dengan target APBN-P 2017 yang sempat dipatok 4,3 persen. Pemerintah tentu punya alasan tersendiri, termasuk soal realisasi inflasi selama 2017 yang terlihat jinak. Sebelumnya, pemerintah dengan Bank Indonesia memang mampu menjaga tingkat inflasi dikendalikan di 3,35 persen pada 2015 dan 3,02 persen pada 2016.
“Realisasi inflasi mulai Januari sampai dengan Juli (2017) termasuk saat menjelang Lebaran dapat dijaga pada tingkat 2,6 persen,” kata Jokowi dalam sambutannya.
Target inflasi sangat mungkin mencapai 3,5 persen apabila pengendalian harga bahan pangan bisa lebih dioptimalkan.
Dalam sambutannya, Jokowi menyampaikan target Pendapatan Negara pada tahun 2018 menjadi sebesar Rp1.878,4 triliun termasuk di dalamnya dari penerimaan perpajakan: Rp1.609,4 triliun yang masih jadi andalan. Target penerimaan negara jauh dari target APBN-P 2017 yang hanya Rp1.7 14,1 triliun. Apalagi dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak selama setahun berjalan yang masih terseok-seok target itu cukup tinggi. Realisasi penerimaan pajak hingga akhir Juli 2017 baru mencapai kisaran Rp580,7 triliun atau sekitar 46,8 persen dari target.
Namun pemerintah rupanya bergeming, dalam dalam pidatonya, Jokowi menyampaikan beberapa strategi yang akan ditempuh oleh pemerintah terutama di bidang perpajakan. Di sisi lain, untuk tetap memberikan dukungan peningkatan dunia usaha, Jokowi berjanji akan tetap memberikan insentif perpajakan.
“Berkaitan dengan target penerimaan pajak, sebaiknya pemerintah sedikit berhati-hati karena tahun 2018 tidak ada penerimaan extra seperti tax amnesty,” jelas Bima.
Namun, ada beberapa asumsi yang terlihat kebalikannya, misalnya asumsi nilai tukar rupiah: Rp13.500 per dolar Amerika Serikat, padahal pada APBNP 2017 sempat ditetapkan Rp13.400 per dolar Amerika Serikat. Rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan dipatok sekitar 5,3 persen, lebih tinggi dari asumsi APBNP-2017 yang mana suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,2 persen. Selain itu, asumsi harga minyak mentah Indonesia ditetapkan $48 per barel dibandingkan dengan APBNP-2017 $50 per barel.
Dari perhitungan penerimaan dan belanja dalam rancangan APBN 2018, diproyeksikan defisit anggaran akan menembus Rp325,9 triliun setara dengan 2,19 persen dari PDB. Proyek ini memang lebih rendah dari asumsi defisit pada APBN-P 2017 yang dipatok Rp397,2 triliun atau sekitar 2,92 persen terhadap PDB.
Asumsi makro ekonomi yang optimistis memang menjadi kabar baik, tapi di sisi lain bisa jadi bumerang bagi pemerintah yang akan berisiko pada fiskal, termasuk potensi adanya perubahan APBN di tahun depan karena postur keuangan negara yang tak realistis.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti