tirto.id - Bagaimana cara agar menjadi politikus yang tampak meyakinkan? Bungkus segala sesuatu dengan retorika. Itu pernah disampaikan penulis Ray Comfort. Dalam suatu kesempatan, ia pernah berujar betapa publik mudah percaya pada uraian yang diselimuti oleh kata-kata berbunga dan impian indah.
"Retorika, yang mana merupakan penggunaan bahasa untuk memberikan informasi atau membujuk orang, adalah hal yang amat penting untuk membentuk opini publik," katanya.
Di Indonesia, ada banyak sekali orang yang menggunakan retorika untuk kemudian, dalam istilah Ray, membujuk banyak orang. Tapi sedikit yang benar-benar berhasil.
Satu dari sedikit yang berhasil tampak meyakinkan adalah Anies Baswedan. Kita tahu bahwa Anies selama ini dikenal sebagai akademisi. Namun ia juga orator yang bisa tampil meyakinkan. Karena itu Anies melakoni banyak peran sebagai juru bicara. Mulai dari juru bicara Tim Delapan Jakarta hingga juru bicara bagi pasangan Jokowi- Jusuf Kalla dalam pemilu Presiden 2014.
Anies selalu tampil meyakinkan ketika berbicara. Gesturnya tenang. Pilihan katanya berkelas tapi mudah dipahami bahkan oleh awam sekalipun. Sesekali ia melemparkan guyonan. Ia pun tak segan menatap lawan bicara. Pendek kata, ia juru bicara yang baik.
Dalam ajang pemilihan Gubernur DKI Jakarta ini, omongan Anies diuji kebenarannya. Beberapa ucapannya tidak cukup akurat.
Tirto pernah menurunkan tulisan panjang yang menguji kebenaran ucapan Anies ketika mengunjungi markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Di tulisan itu, cukup banyak ucapan Anies yang berlebihan, simplisistis, bahkan keliru. Ini jadi pengingat bahwa kita perlu banyak menguji klaim kebenaran omongan orang yang pandai bicara. Dan itu bisa dilakukan ketika Anies melakoni ajang debat resmi Komisi Pemilihan Umum.
Di debat pertama, ada banyak hal keliru yang diucapkan Anies, bahkan menyimpang. Misalkan ia menyebut kalau lapangan pekerjaan di Jakarta semakin susah didapat. Anies berbicara pengangguran tanpa memakai data. Sekadar menunjukkan kalau ibu kota negara ini makin tak ramah.
Tapi ternyata, ketika diperiksa oleh tim riset Tirto, data angka pengangguran murni di ibu kota terus menurun. Pada 2011, ada 10,8 persen pengangguran terbuka di Jakarta. Namun pada 2015 angka itu turun jadi 7,23 persen. Selain itu, Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta rutin mengadakan bursa kerja. (Selengkapnya baca riset Tirto lewat #PeriksaData terhadap uraian dan pernyataan Anies Baswedan dalam debat pertama: Menguji Uraian Anies-Sandi dalam Debat Pilkada Jilid I).
Ketika Anies dan Sandi Bersenjata Data
Anies memang bermain banyak retorika di debat pertama. Tentu retorika memang susah untuk diuji. Wajar kalau banyak pengamat mengkritik penampilan Anies yang nyaris sepi data.
Rupanya, kritik itu sampai juga di telinga Anies. Maka pada debat kedua, ia sudah membawa bekal berupa data. Dan itu langsung disemburkan di sesi pertama, ketika diberi kesempatan berbicara tentang visi dan misi terkait tema debat malam itu: reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan penataan kawasan perkotaan. Terlihat betul ia langsung pasang jurus menyerang, kepada siapa lagi kalau bukan ke petahana.
"Di Jakarta ini aset birokrasi perolehannya Rp341 triliun. Tapi kalau dihitung keseluruhannya, lebih dari seribu triliun. Itu artinya per orang di Jakarta sebenarnya memiliki aset Rp100 juta. Ini (harusnya) dimanfaatkan oleh birokrasi, untuk kesejahteraan, keadilan, dan hadirnya kebahagiaan. Sudahkah itu terjadi? Belum, rapornya merah," kata Anies.
Menurutnya, rapor birokrasi DKI Jakarta merah. Ia merujuk laporan kinerja yang ia bawa. Menurut data itu, yang merujuk data Ombudsman, provinsi DKI Jakarta hanya punya nilai 61.
"Skor birokrasi sebelumnya, sebelum Pak Basuki menjabat, skornya 100. Kemudian turun menjadi 56," lanjut Anies.
Survei Ombudsman yang dipakai oleh Anies adalah perihal kepatuhan DKI Jakarta dalam pelayanan publik. Pada 2015, angkanya memang seperti yang disebutkan Anies, yakni 61,2. Tapi Anies alpa angka itu naik 13 poin jadi 74,64 pada 2016.
Kritik Anies sedikit-banyak tepat jika merujuk pada zona yang dibuat oleh Ombudsman. Ada tiga zona kepatuhan yang dibuat oleh Ombudsman. Pertama zona merah, alias kepatuhan rendah. Zona kuning adalah kepatuhan sedang. Dan zona hijau adalah kepatuhan tinggi. Pada 2016, meski angkanya naik, secara keseluruhan angka kepatuhan birokrasi DKI Jakarta masih berada di zona kuning.
Lalu Anies menyebutkan angka 56. Meski tak disebutkan langsung, angka ini sepertinya merujuk pada Indeks Reformasi Birokrasi DKI Jakarta yang diterbitkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Skor Gubernur sebelum Basuki jelas tidak 100. Pada 2010, skor indeks DKI Jakarta adalah 52,56. Saat Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012, skornya adalah 57,97. Pada 2014, skornya naik jadi 59,73. Dan pada 2015 turun menjadi 58,57.
Lalu mana visi-misinya? Itulah dia! Ketika punya bekal data, ia lupa menjelaskan visi-misinya dalam tema-tema yang menjadi isu debat. Kalaupun bisa dianggap visi-misi Anies dan Sandi, mungkin itu ada di kalimat terakhir: "Kami akan mengembalikan Jakarta yang kepemimpinannya efektif."
Pertanyaannya: bagaimana mencapai birokrasi dan kepemimpinan Jakarta yang efektif? Itu yang seharusnya dijelaskan Anies, dan sayangnya beberapa kali ia luput menjelaskan karena terlalu bersemangat menggunakan data.
Begitu pula saat di sesi kelima, ketika membicarakan Angka Partisipasi Murni anak SMA. Menurut Anies, APM Jakarta hanya 68 persen. Ini benar. Sebab APM DKI Jakarta untuk tingkat SMA di tahun ajaran 2015/2016 memang 67,91 persen.
Seharusnya cukup di situ saja. Tapi tidak. Anies kemudian menyerang lagi: "APM Jakarta Utara ada di bawah Biak."
Sayang datanya tidak tepat. Angka Partisipasi Murni (APM) Indonesia untuk tingkat SMA dan sederajat menunjukkan nilai 59,10% pada tahun ajaran 2015/2016. Sedangkan APM Kab. Biak Numfor untuk tingkat SMA dan sederajat menunjukkan nilai 51,49% pada tahun ajaran 2015/2016. Sedangkan APM Jakarta Utara untuk tingkat SMA dan sederajat menunjukkan nilai 51,79% pada tahun ajaran 2015/2016. Tipis memang, tapi tetap saja Jakarta Utara masih di atas Biak, bukan di bawah seperti yang dikatakan Anies.
Selain itu, retorika Anies masih sering menyisakan banyak pertanyaan. Misalkan perihal transportasi yang akan ia integrasikan. Mulai dari kereta, Transjakarta, mikrolet, hingga metro mini. Semua bisa tersambung dengan biaya Rp5 ribu saja.
Pertanyaannya: bagaimana caranya? Sebab moda transportasi itu berbeda-beda pengelolaannya. Transjakarta dan kopaja bergabung di PT. Transportasi Jakarta. Sedangkan metro mini di bawah PT Metromini. Bagaimana sistem pengaturan pembagian ongkosnya? Belum lagi ketika seseorang berganti-ganti moda transportasi hingga berkali-kali. Sayangnya, penjelasan krusial ini tak dijelaskan, baik oleh Anies maupun oleh Sandi.
Sang calon Wakil Gubernur ini juga tak banyak membantu Anies. Sandi memang secara umum tampak lebih banyak memainkan gimmick. Entah itu melalui cerita tentang orang-orang yang ditemuinya, atau gestur tubuh yang mengundang senyum. Tapi ada satu poin penting yang disampaikan Sandi yakni ketika berbicara mengenai MICE (Meeting, Incentives, Conference, Exhibitions). Pengusaha muda ini sempat menyinggung tentang kemudahan berbisnis di Jakarta yang baru menempati posisi 91. Menurut Bank Dunia, data itu memang benar.
Sebagaimana Anies, Sandi dalam debat kedua lebih berani bicara data. Salah satu yang menarik saat Sandi mengajukan pertanyaan kepada Sylvi. Ia menyebut pasangan Agus itu sudah menjadi birokrat selama 38 tahun. Penyebutan angka ini untuk menekankan bahwa, kira-kira, Sylvi mestinya sangat memahami problem-problem pemerintahan di Jakarta.
Sayangnya retorika ini, yang tidak akan berdampak serius jika tidak menyebutkan angka, kurang akurat. Sylviana bekerja di DKI Jakarta sejak 1985 sampai 2016 atau bekerja selama 31 tahun, belum selama 39 tahun. Kariernya dimulai sebagai staf Penatar BP7.
Kekeliruan soal rentang karier Sylviana yang dilakukan Sandi ini sama saja dengan serangan Anies soal APM Biak: sama-sama tidak terlalu penting, tapi sialnya malah keliru.
Menanti Anies-Sandi di Debat Ketiga
Di sisi lain, harus diakui Anies lihai ketika berdiri di podium. Selain menyempatkan diri menyerang petahana, ia juga sempat membuat Sylviana Murni jadi bahan tertawaan. Itu terjadi saat Sylvi seharusnya mengajukan pertanyaan kepada Anies dan Sandi, namun terjebak retorika tentang regulasi hingga waktu habis. Anies hanya tertawa simpul sembari bertanya: "Lalu pertanyaannya apa?"
Karena terbebani penggunaan data, Anies jadi terbatasi ruang geraknya. Di beberapa sesi, ia tampak bingung menjawab atau memberikan penjelasan. Indikatornya tampak, salah satunya, dari sisa waktu Anies berbicara. Di segmen kedua, misalkan. Ketika berbicara tentang good governance, masih ada sisa waktu sekitar 20 detik. Padahal sebenarnya ini kesempatan bagus untuk mengkritik petahana dan melontarkan solusi dan misi Anies. Sayang, 20 detik berharga itu dilepas begitu saja.
Masih ada satu debat lagi. Di debat terakhir itu, Anies harus tetap dengan gaya khasnya. Meyakinkan ketika memberi retorika. Memasang poker face yang sukar ditebak—selama ini ia kehilangan wajah poker ketika diserang, dan ini tentu tak baik. Dan tetap harus berbicara data. Sebab tentu segala masalah Jakarta tak bisa diselesaikan hanya dengan retorika.
Retorika memang kerap bikin sebal dan menunjukkan kalau seseorang itu banyak omong tapi tak bisa kerja. Wajar kalau Theodore Roosevelt pernah berujar sinis: "Retorika itu dilakukan sebagai pengganti tindakan, pengganti yang buruk. Seolah-olah retorika itu harus dipercaya. Padahal untuk jadi bangsa besar, kita tak hanya butuh omongan, tapi juga tindakan."
Tapi tentu saja Anies belum bisa memamerkan tindakan selama ia jadi Gubernur. Sebab ia memang belum pernah jadi gubernur, dan kemungkinan tidak menjadi gubernur juga masih ada. Karena itu, Anies harus mengusung kembali senjatanya: retorika yang meyakinkan. Tentu sesekali didukung oleh data. Dan kalau ia punya prestasi ketika menjabat sebagai pejabat publik, bolehlah dipamerkan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS