Menuju konten utama

Menghitung Kecepatan Bicara AHY, Ahok, Anies

Di antara para calon gubernur, yakni Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan, tidak ada yang kecepatan rata-rata bicaranya mencapai 3,5 kata per detik.

Menghitung Kecepatan Bicara AHY, Ahok, Anies
Djarot Saiful Hidayat berbincang dengan Anies Baswedan usai acara debat ketiga Pilkada DKI Jakarta, Jumat (10/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pada debat-debat yang diselenggarakan KPUD DKI Jakarta, sesi pemaparan visi dan misi adalah yang terpenting dan paling layak ditunggu. Sebelum bertarung, saling mematahkan argumen, para paslon diberi kesempatan memperkenalkan rencana mereka kepada publik.

Batas waktu bicara yang hanya dua menit tentu menyulitkan. Ada keluhan bahwa hal itu bisa menyebabkan substansi jadi tak tersampaikan. Belum lagi perkara meyakinkan dan membuat pemirsa terkesan.

Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh Jose Benki, Ilmuwan dari Universitas Michigan, pada 2011. Ia menyelidiki rahasia di balik wicara yang memukau. Bahan penelitian itu adalah 1.800 rekaman pidato dan wawancara telepon dengan 100 responden dari pelbagai latar belakang.

Hasilnya: Orang yang bicara dengan kecepatan sekitar 3,5 kata per detik cenderung lebih mudah mendapat persetujuan dari para pendengarnya ketimbang orang yang mengoceh lebih cepat atau lebih lambat.

Cara untuk mengetahui kecepatan bicara seseorang ialah memeriksa jumlah keseluruhan kata yang ia ucapkan dan waktu yang dihabiskannya. Kemudian, jumlah kata dibagi dengan jumlah detik.

Setelah memindahkan lisan ke atas kertas, ada beberapa aturan penghitungan kata yang mesti dilakukan. Pertama, penguraian frasa. Sapu tangan terdiri dari dua kata, sapu dan tangan. Demikian pula kata-kata yang diulang, “mengaduk-aduk”, misalnya, dihitung sebagai dua kata. Kemudian, angka-angka ditempatkan sebagai kata bilangan: 15 persen ditulis sebagai lima belas persen, tiga kata.

Penelitian Benki menemukan sebuah persepsi bahwa orang yang berpidato/berbicara terlalu cepat “tidak tulus” dan “tidak dapat dipercaya”, sedangkan orang yang berbicara kelewat lambat dipandang “tidak memahami perkara yang ia bicarakan.”

Selain itu, penelitian Benki juga mengungkapkan bahwa orang yang kerap menggunakan jeda singkat dalam wicaranya cenderung lebih mampu mempengaruhi pendengarnya ketimbang orang yang lisannya bebas hambatan.

“Jika orang bicara tanpa jeda,” tulis Benki, “kesan yang timbul adalah ia cuma mengulang hapalannya.” Penggunaan jeda ideal yang ditemukan Benki ialah 4 hingga 5 kali per menit. Jika terlalu sering berhenti, kesannya malah orang itu tidak fasih.

Namun, yang menarik, kesan tidak fasih itu justru terdapat pada contoh-contoh wicara yang dianggap persuasif oleh kebanyakan responden. Sayang, Benki tidak menjelaskan lebih jauh soal hal itu.

Panduan praktis yang dapat disarikan dari penelitian Benki: Jika Anda ingin pidato Anda meninggalkan kesan yang kuat bagi para pendengar, perbanyaklah kosakata dan percepat ucapan Anda, tetapi sering-seringlah berhenti.

Bagaimana seandainya temuan-temuan Benki diterapkan pada pemaparan visi-misi para paslon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta dalam debat jilid kedua lalu?

Di antara para calon gubernur, yakni Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan, tidak ada yang kecepatan rata-rata bicaranya mencapai 3,5 kata per detik.

Ahok adalah pembicara tercepat, dengan 243 kata dalam dua menit atau 2,02 kata per detik. Di bawahnya ada Anies dengan 213 kata per dua menit atau 1,77 per detik. Terakhir, Agus mengucapkan 209 kata, atau 1,74 kata per detik.

Pada segmen pemaparan visi-misi itu, Agus memang kelihatan hendak meyakinkan pendengarnya dengan berbicara lambat. Namun, jika diukur berdasarkan temuan Benki dan dibandingkan dengan para pesaingnya, ia kelewat lamban. Dengan demikian, wajar bila ada anggapan bahwa Agus tidak memahami apa-apa yang ia sampaikan.

Meski demikian, Agus unggul dalam hal penggunaan jeda. Sepanjang dua menit berbicara, Agus berhenti 10 kali, 5 jeda per menit. Menurut temuan Benki, demikianlah tempo bicara yang ideal.

Berbeda dari Agus, Ahok bicara dengan fasih. Kalimat-kalimatnya ngebut, dan ia sanggup mengucapkan pelbagai istilah dan singkatan birokrasi, seperti “Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu” dan akronimnya, BPTSP, tanpa tersandung.

Dalam dua menit, Ahok hanya berhenti 5 kali. Mungkin, pengabaiannya atas tempo itulah yang membuat struktur kalimatnya kerap terdengar berantakan. “Orang suka bertanya, kenapa badan pelayanan?” katanya. Di bagian itu semestinya Ahok mengambil jeda, tetapi ia malah tancap gas terus: “Bukannya itu kan maksudnya perizinan terpadu satu pintu. Kan beda.”

Bagaimana dengan Anies? Dalam debat pertama, Anies membuang-buang waktu dengan berbasa-basi selama hampir 30 detik, mengucapkan selamat imlek kepada Ahok dan gurunya yang datang di acara debat.

Jika 30 detik itu tak dihitung dan kita menganggap Anies hanya menggunakan 1 menit 30 detik untuk menyampaikan visi-misinya, ia adalah kandidat yang bicaranya paling cepat, dengan rata-rata 2,82 kata per detik. Lisannya lancar, terutama sewaktu memaparkan data DKI Jakarta buat menggempur Ahok.

Perkara tempo, Anies pun unggul. Ia berhenti 13 kali dalam 2 menit. Jika dihitung sejak menit 1.30, jeda Anies berjumlah 7 kali, atau 4,6 kali per menit—ideal menurut temuan Benki.

Maka, dalam hal speech rate, pemenang debat kedua lalu adalah Anies, dengan catatan basa-basinya tak dihitung. Namun, dalam politik, tak ada perkataan yang tidak perlu dipertimbangkan, bukan?

Baca juga artikel terkait DEBAT CAGUB DKI 2017 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Rheza Alfian
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Dea Anugrah