tirto.id - Akhir Juli lalu, Partai Gerindra memutuskan Sandiaga Uno sebagai calon jagoannya untuk bertarung dalam pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 mendatang. Keputusan tersebut sedikit mengejutkan, sebab ada nama lain yang selama ini lebih diunggulkan, seperti Sjafrie Syamsudin dan Yusril Ihza Mahendra.
Sjafrie Syamsudin adalah tokoh militer sekaligus kawan lama Prabowo, sedangkan Yusril Ihza Mahendra dalam berbagai survei disebut sebagai kandidat yang dapat mengimbangi elektabilitas calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Namun, keputusan Gerindra sudah bulat memilih Sandiaga.
Sandiaga boleh bernafas lega, karena Gerindra telah menjagokan dirinya. Namun, apakah jalan untuk posisi DKI 1 akan semulus yang diharapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat seberapa besar peluang Gerindra mengusung Sandiaga pada Pilgub DKI Jakarta 2017 mendatang.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada disebutkan, syarat partai politik dapat mengajukan calon apabila mendapatkan 20 persen kursi di legislatif atau 25 persen suara sah pada pemilu 2014 silam. Lalu, bagaimana dengan peluang Gerindra yang ingin mengusung Sandiaga sebagai calon gubernur Jakarta?
Sebagai gambaran, total kursi DPRD DKI Jakarta berjumlah 106 kursi. Kalau mengacu pada UU Pilkada, maka partai yang berhak mengajukan calon adalah mereka yang minimal memiliki 21 kursi di DPRD, sementara Gerindra hanya memiliki 15 kursi. Artinya, partai berlambang kepala garuda itu masih membutuhkan tambahan minimal enam kursi lagi.
Persoalan jumlah kursi atau persentase suara yang disyaratkan UU Pilkada tidak menjadi soal, sebab PKS yang memiliki 11 kursi di DPRD telah menyatakan siap mendukung Sandiaga. Dengan tambahan dukungan dari PKS ini, maka Sandiaga sudah memenuhi persyaratan untuk maju sebagai calon gubernur.
Kalau jumlah kursi Gerindra dan PKS digabung, maka Sandiaga sudah mendapat dukungan partai dengan 26 kursi di DPRD DKI. Pertanyaan selanjutkan, seberapa besar peluang Sandiaga untuk memenangkan Pilgub DKI sampai Gerindra lebih memilih dirinya daripada Sjafrie dan Yusril?
Sandiaga dan Pemilih Millenial
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu melihat potensi pemilih dalam Pilgub mendatang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta tahun 2014, jumlah penduduk Jakarta mencapai lebih dari 10 juta jiwa. Sementara, potensi pemilih dalam Pilgub DKI 2017 adalah 74 persen, di mana mayoritas dari pemilih adalah generasi Y atau lebih dikenal dengan generasi millenial, meskipun proporsinya tak jauh berbeda dengan generasi X.
Menurut data yang diolah tim riset tirto.id, penduduk dalam ketegori millenial yang kemungkinan menjadi pemilih dalam Pilgub DKI sebanyak 44,78 persen dari sekitar 7,4 juta menduduk yang memiliki hak pilih. Sementara, jumlah calon pemilih generasi X diperkirakan ada sekitar 40,64 persen, dan sisanya sebanyak 14,58 persen adalah pemilih generasi baby boomers.
Jika melihat dari tipologi pemilih pada Pilgub DKI berdasarkan usia ini, maka keputusan Gerindra memilih Sandiaga, ketimbang Sjafrie dan Yusril sebagai kandidat pada Pilgub DKI cukup masuk akal. Sebab, sosok Sandiaga yang relatif muda dan aktif di media sosial lebih mungkinkan untuk mendapat dukungan dari generasi millenial ini.
Untuk diketahui, generasi millenial adalah mereka yang lahir pada awal 1980-an hingga 2000-an. Generasi ini punya satu kekhasan yang menonjol, yakni pengguna media sosial aktif. Dalam artikel tirto.id yang berjudul “Memahami Generasi Galau” dijelaskan bahwa dalam kelompok umur 18 hingga 29 tahun, ada sekitar 75 persen pengguna media sosial. Angka ini jelas jauh lebih besar dibanding pengguna media sosial yang ada dalam generasi X (rentang umur 30-45 tahun) yang hanya sekitar 50 persen.
Generasi millenial tak sekadar mempunyai akun, tetapi mereka juga rajin mengunjungi situs-situs tersebut. Sebanyak 29 persen di antara para millenial ini mengecek medsos beberapa kali dalam sehari, sedangkan 26 persen lainnya membuka medsos mereka setidaknya sekali dalam sehari. Ada juga yang lebih jarang. Bahkan, generasi millenial yang paling tidak akrab dengan medsos pun tetap membuka akunnya setidaknya seminggu sekali.
Dengan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa media sosial adalah wahana kampanye paling strategis bagi pemilih generasi millenial. Belum lagi jika melihat bahwa Jakarta merupakan salah satu ibu kota media sosial di dunia. Tak heran jika beberapa nama yang disebut-sebut bakal akan bertarung pada Pilgub DKI mendatang juga memanfaatkan media sosial ini.
Misalnya, berdasarkan data per 1 Agustus 2016, pukul 9.30 WIB, Ahok dengan akun @basuki_btp memiliki jumlah pengikut terbanyak hingga 5,35 juta, sementara Risma dengan akun @Tri_Rismaharini tercatat baru memiliki 16,8 ribu pengikut, Sandiaga Uno dengan akun @Sandiuno baru 379 ribu pengikut, dan Yusril dengan akun @Yusrilihza_Mhd dengan 966 ribu pengikut.
Begitu juga dengan jumlah like di Facebook. Data per 1 Agustus menunjukkan, like Facebook Ahok telah tembus 1,1 juta likes, Sandiaga Uno 182 ribu likes, sedangkan Yusril Ihza Mahendra 41,5 ribu likes.
Jumlah follower di Twitter dan like di Facebook memang bukan jaminan keterpilihan kandidat pada Pilgub DKI mendatang, namun sebagai sarana kampanye untuk merebut hati pemilih, terutama generasi millenial yang jumlahnya mencapai 44,78 persen sangat efektif.
Setengah Profesional
Selain fakta di atas, fenomena calon kepala daerah dari non-partai yang sukses memimpin daerah juga menjadi pertimbangan beberapa partai untuk mengusung kandidat, misalnya Ridwal Kamil di Bandung.
Sebelum maju sebagai calon wali kota Bandung yang diusung Gerindra dan PKS, Ridwal Kamil adalah seorang arsitektur. Setelah jadi walikota, ia tetap menjadi non-partisan dan tidak bergabung dengan partai politik yang mengusungnya.
Beda halnya dengan wali kota Surabaya, Tri Rismaharini. Sebelum menjadi wali kota, Risma adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Surabaya. Ia pernah menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya (Bappeko). Namun, setelah dia terpilih sebagai wali kota Surabaya 2010-2015, ia memutuskan untuk bergabung dengan PDIP.
Kepala daerah lain yang bukan kader partai dan sukses menjadi pemimpin di daerah yang dipimpinnya dan tetap di luar partai cukup banyak, di antaranya: Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng; Yoyok Rio Sudibyo, Bupati Batang; Sahbirin Noor, Gubernur Kalimantan Selatan; Irianto Lambrie, Gubernur Kalimantan Utara; dan M. Ramlan Nurmatias, Walikota Bukittinggi.
Keputusan Gerindra memilih Sandiaga yang selama ini lebih dikenal sebagai pengusaha ketimbang politisi bisa saja terinspirasi dari para kepala daerah non-partai ini atau dalam bahasa lain “politisi setengah profesional.”
Namun, bisa saja keputusan Gerindra memilih Sandiaga daripada calon lain bukan karena pertimbangan di atas, melainkan karena kekuatan kapital yang dimilikinya. Fakta berbicara bahwa menjadi kepala daerah di Indonesia tidaklah murah.
Sandiaga sejak 2015 lalu memang tercatat sebagai anggota Dewan Pembina Partai Gerindra. Namun, fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah Sandiaga merupakan sosok pengusaha sukses. Pada 2009, namanya tercatat sebagai orang terkaya urutan ke-29 di Indonesia menurut majalah Forbes.
Pada tahun 2011, namanya kembali masuk daftar orang terkaya di Indonesia dengan peringkat ke-37. Menurut data majalah Forbes, nilai kekayaan Sandiaga Uno pada tahun 2013 mencapai 460 juta dolar Amerika Serikat. Sementara data yang dilansir millionaireasia.com pada 2015, Sandiaga memiliki kekayaan sebesar 800 juta dolar Amerika Serikat.
Pundi-pundi kekayaan Sandiaga ini cukup menjadi modal untuk mendapat rekomendasi partai politik untuk maju Pilgub DKI 2017 mendatang. Dengan tambahan dukungan dari parpol, Sandiaga bisa melenggang menjadi calon gubernur. Perkara terpilih atau tidak, warga DKI Jakarta nanti yang akan menentukannya.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti