Menuju konten utama

Menghemat Uang dan Emisi Karbon dengan Layanan Ridesharing

Selain lebih murah dibandingkan harus membawa kendaraan pribadi, sistem ridesharing juga bisa menambah teman di perjalanan.

Menghemat Uang dan Emisi Karbon dengan Layanan Ridesharing
Seorang pria meminta tumpangan ke tempat tujuannya. FOTO/iStock

tirto.id - Selain dimudahkan dengan penggunaan berbagai macam rintisan ridesharing, masyarakat urban kini juga dimanjakan beragam tambahan layanan berbagi tebengan dengan orang lain yang memiliki perjalanan searah dalam satu kendaraan. Sebelum pemain besar seperti Uber, Grab, atau Gojek terjun, beberapa komunitas lebih dulu dikenal terjun dengan sistem ridesharing di Indonesia.

Sebut saja Nebeng.com. Situs ini pertama kali diluncurkan pada 28 September 2005 oleh Rudyanto Linggar. Terdapat juga beberapa situs lain yang berafiliasi dengan Nebeng.com seperti Kombeng.com (komunitas nebeng) dan Nebeng.info.

Selain Nebeng.com juga ada Ompreng.com yang didirikan pada 3 Oktober 2015 oleh Ary Setiyono. Situsnya menyediakan setidaknya dua layanan berdasarkan moda transportasi yang digunakan, yakni O-Car untuk pengguna mobil dan O-Bike untuk pengguna sepeda motor. Selain lewat situsweb, Ompreng juga memiliki aplikasi mobile.

Ada juga model ridesharing yang khusus diperuntukkan bagi mahasiswa, yakni Temanjalan.com. Platform ini dibuat oleh Fauzan Helmi Sudaryanto dan Rasmunandar Rustam. Ada pula Nebengers yang diinisiasi oleh Andreas Aditya dan Putri Sentanu.

Komunitas Nebengers sebelumnya hanya membuka komunikasi tumpangan lewat akun twitter dan benar-benar tumpangan gratis. Jika dikenakan biaya pun, penumpang hanya mengeluarkan uang “patungan” untuk membeli bensin. Pada 2013, komunitas ini memiliki aplikasi mobile dan berubah menjadi startup ridesharing.

Para pemain besar bisnis transportasi online pun tak cukup puas dengan beragam aplikasinya yang menawarkan kendaraan roda empat ataupun roda duanya sebagai ojek. Uber dan Grab kemudian juga meluncurkan UberPOOL dan Grabhitch sebagai pilihan bagi para driver atau penumpang yang ingin mendapat tebengan searah. Tarif yang dibayarkan kepada sopir pun lebih murah dibandingkan dengan aplikasi transportasi online biasa.

Tren ridesharing ini sejatinya menjamur tak hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Di Jerman, misalnya, ada CarmaPooling, Scoop, Hovee, atau Carpooling.com yang dibuat pada tahun 2001 oleh 3 orang mahasiswa, dan diakuisisi oleh BlaBlaCar.com dari Prancis di tahun 2015. Di Amerika ada aplikasi ridesharing bernama Zimride, RideJoy. Lalu di India ada Letsride.in, dan di negara tetangga, Malaysia, terdapat Grab dan Karpool.

Keuntungan Ridesharing

Mengapa beragam aplikasi ridesharing digemari masyarakat?

AlphaBeta, sebuah perusahaan penasihat strategi bisnis berlokasi di Singapura dan Sydney yang jangkauannya meliputi Australia dan Asia, melakukan penelitian terhadap penggunaan mobilitas bersama di 33 kota besar di Indonesia. Hasilnya, penelitian berjudul “Meninjau Kembali Mobilitas Urban di Indonesia: Peran Layanan Mobilitas Bersama” ini menunjukkan mobilitas bersama dapat mengurangi beban finansial akibat waktu perjalanan sebesar Rp138 triliun.

Layanan ridesharing bisa memberikan transportasi yang lebih hemat dibandingkan memiliki sebuah mobil, penghematan yang dilakukan bisa mencapai 10-65 persen. Analisis penelitian tersebut memperkirakan saat ini beban keuangan akibat waktu tempuh perjalanan di kota-kota di Indonesia mencapai Rp498 triliun per tahun dan dapat meningkat sebesar 41 persen di tahun 2020.

Mobilitas bersama dapat memotong biaya ini hingga Rp 138 triliun secara nasional, di Semarang sebesar Rp3,5 triliun, di Palembang Rp2,3 triliun, Makassar sebesar Rp2 triliun, dan Pekanbaru sebesar Rp1,8 triliun.

Penggunaan mobilitas bersama juga dapat mengurangi lebih dari 71 juta perjalanan dengan mobil di jalan-jalan di Indonesia. Tentunya juga mengurangi emisi CO2 serta polusi udara yang berasal dari kendaraan, dan pada akhirnya mengurangi emisi karbon yang setara dengan penyelamatan 415.000 hektar lahan dari penebangan hutan.

“Emisi gas CO2 kendaraan berkurang sebanyak 159.000 mega ton, atau sama dengan menyelamatkan 415.000 hektar lahan dari deforestasi. Ini setara lebih dari 6 kali luas daratan DKI Jakarta,” kata Dr. Fraser Thompson, Direktur AlphaBeta dan pemimpin tim peneliti dari laporan ini di Menteng, Rabu (31/5/2017).

Adopsi penggunaan layanan ridesharing secara meluas bisa mengurangi 71 juta perjalanan dengan kendaraan dari jalanan-jalanan di Indonesia di tahun 2020. Penelitian tersebut memperkirakan saat ini ada 40.000 hektar lahan yang dipakai tempat parkir kendaraan pribadi, hitungannya setara 5 persen dari total lahan di kota-kota di Indonesia. Sebanyak 6.645 hektar dari lahan ini adalah lahan komersial di lokasi strategis, dengan perkiraan nilai sewa mencapai Rp 95 triliun.

“Mengurangi lahan yang awalnya diperuntukkan bagi lahan parkir bisa menjadi motor pertumbuhan bagi kota-kota di Indonesia”, ujar Thompson.

infografik ride sharing

Layanan Berbagi Tumpangan

Selain layanan ridesharing biasa, beberapa perusahaan startup ridesharing juga meluncurkan layangan nebeng. Aplikasi akan secara otomatis memasangkan beberapa penumpang yang memiliki perjalanan searah untuk menggunakan satu kendaraan. Uber dengan UberPOOL dan Grab dengan Grabhith.

Idellia Risella yang mengaku dengan memakai sistem ini harga yang dibayarkan jauh lebih murah dibanding ridesharing biasa. Sebab, argo dibagi berdasarkan jumlah penumpang yang melakukan perjalanan.

Isel, walaupun memiliki kendaraan pribadi, lebih memilih menggunakan ridesharing baik layanan nebeng ataupun sendirian karena ada pengalaman tersendiri ketika bisa berkenalan dengan sopir atau penumpang lain.

“Terkadang ini bukan masalah harga, waktu, jarak. Selain enggak capek karena harus nyetir sendiri, kita juga sekalian meminimalisir carbon footprint. Lumayan bantu-bantu lingkungan,” katanya kepada wartawan Tirto.

Apalagi, dari segi kecepatan, aplikasi nebeng ini tidak memiliki perbedaan dengan aplikasi ridesharing biasa karena rute pengemudi memang dibuat searah oleh GPS. Perbedaannya hanya terletak pada titik tujuan dari para penumpang. Yang paling dekat tentu lebih dulu sampai.

Namun, Api, salah seorang pengemudi salah satu startup ridesharing, layanan nebeng dari perusahaannya membuat penumpangnya berkurang. Para penumpang lebih memilih nebeng ridesharing karena harganya jauh lebih murah.

Akhirnya, karena jumlah penumpang berkurang, ia terpaksa ikut narik dengan program tersebut hanya untuk mendapatkan penumpang. “Enaknya sekalian jalan dapat uang. Kalau narik biasa harus muter. Tapi dari sisi driver biasa bikin rugi karena mengurangi penumpang,” katanya.

Api mengaku menjadi sopir startup ridesharing dapat menambah penghasilannya sebagai seorang mahasiswa, meski kadang pendapatan yang diterima tidak sesuai wacana yang digaungkan perusahaan. Namun, ia bertahan dengan pekerjaan itu, sebab fleksibilitas waktu yang ditawarkan dapat mendukung aktivitas utamanya sebagai mahasiswa.

Baca juga artikel terkait APLIKASI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani