tirto.id - Pesona Singapura sebagai tempat berbelanja di kawasan ASEAN semakin pudar. Satu per satu merek-merek ternama menutup gerainya di Singapura. Ruang kosong di wilayah perbelanjaan Orchard Road meningkat ke titik tertinggi dalam lima tahun akibat mahalnya harga properti.
Beberapa merek besar memilih menutup gerainya. Misalnya Al-Futtaim Group, distributor sejumlah merek besar seperti Mark & Spencer dan Zara. Kelompok usaha ini ingin menutup paling tidak 10 tokonya di Singapura, dan berniat memperluasnya ke negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka mulai menyadari bahwa secara perlahan takhta Singapura sebagai surga belanja mulai tergusur. Apalagi negara-negara tetangga Singapura seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand juga memiliki pesta belanja yang transaksinya terus meningkat setiap tahunnya.
Indonesia punya Festival Jakarta Great Sale (FJGS), Malaysia juga punya ajang serupa bernama 1Malaysia Mega Sale Carnival, dan Thailand ada Amazing Thailand Grand Sale. Ajang pesta diskon ini semuanya menjadi pesaing berat GSS.
Di Indonesia, satu per satu merek-merek besar telah membuka gerainya di ibu kota. Mereka ingin lebih dekat dengan konsumen untuk mendapatkan pasar yang lebih besar. Merek-merek besar yang sudah membuka gerainya di Indonesia antara lain Hermes, Gucci, Louis Vuitton. Apakah ini tanda-tanda dominasi tempat surga belanja Singapura sudah capai titik jenuh?
Great Singapore Sale (GSS) sudah ada sejak 1994. Pesta diskon ini telah menjadi andalan Singapura untuk mendongkrak sektor pariwisata dan bisnis ritel mereka. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, hajatan diskon belanja terbesar di ASEAN ini mulai menunjukkan tanda-tanda stagnasi.
Tahun 2010 dan 2011 merupakan puncak akhir pertumbuhan gemilang omzet GSS. Pada ajang yang berlangsung Juni-Juli 2010, GSS mencatatkan transaksi belanja hingga 5,3 miliar dolar Singapura atau mengalami kenaikan 5,5 persen dibandingkan 2009. Media todayonline.com, mengutip data Ministry of Trade and Industry, mengungkapkan pertumbuhan GSS cukup mencengangkan pada 2011 yang mencapai 10,6 persen.
Setelah itu, pertumbuhan omzet GSS cenderung stagnan. Pada 2012 omzetnya hanya tumbuh 0,8 persen, 2013 angka pertumbuhan sedikit naik tipis jadi 2,6 persen. Pertumbuhan yang stagnan kembali terjadi pada 2015, omzet GSS tercatat 7 miliar dolar Singapura atau hanya naik 0,6 persen dari capaian 2014 yang tercatat 6,6 miliar dolar Singapura.
Perlambatan pertumbuhan ini tak terlepas dari penurunan jumlah turis yang datang ke Singapura. Pada 2015 terjadi penurunan kunjungan turis hingga 3,1 persen, untuk kali pertama sejak 2009. Penurunan ini disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang lesu hingga masalah penguatan mata uang dolar Singapura terhadap mata uang asing termasuk rupiah.
Kegamangan penyelenggara dapat dilihat dari perpanjangan waktu pergelaran GSS yang dari biasanya berlangsung hanya 8 pekan menjadi 10 pekan pada 2016. GSS 2016 berlangsung dari 3 Juni-14 Agustus 2016 dengan tawaran diskon hingga 70 persen dan berbagai hadiah. Rangkaian pesta diskon belanja 2016 ini paling panjang dalam sejarah 12 tahun terakhir GSS yang sudah berumur 22 tahun. Namun, Asosiasi Ritel Singapura beralasan perpanjangan GSS karena mempertimbangkan periode libur musim panas negara-negara di Asia Pasifik terutama Cina yang jatuh pada periode Juni-Agustus.
Pemerintah “Negeri Singa” itu juga tak hilang akal, melalui The Singapore Tourism Board (STB), mereka menggelontorkan 20 juta dolar Singapura untuk kampanye iklan secara global. Selain itu, mereka juga menggelontorkan 10 juta dolar Singapura untuk mengembangkan wisata baru demi menarik dan membuat pengunjung puas datang ke Singapura. Pengunjung yang paling banyak datang ke Singapura antara lain orang Indonesia, yang juga gemar berbelanja di Singapura.
Belanja Mengendur
Beberapa tahun terakhir, tingkat belanja orang Indonesia dalam GSS, ada tren penurunan. Dari data transaksi kartu kredit Mastercard dapat dilihat tingkat belanja orang Indonesia dalam ajang tahunan ini yang mengalami pergeseran.
Mastercard yang menjadi kartu kredit resmi ajang “pesta belanja” Singapura ini mencatat transaksi kartu kredit pada GSS 2012 totalnya mencapai 1,4 miliar dolar AS dari pemegang kartu Mastercard lokal dan asing. Pada waktu itu, penggila belanja asal Indonesia menempati posisi ketiga dari lima besar pembeli asing yang paling banyak belanja di GSS dengan kartu kredit. Indonesia hanya di bawah Australia dan AS.
Pada GSS 2012, transaksi orang Indonesia yang belanja dengan Mastercard tercatat 222.183 transaksi atau naik 19,5 persen dari tahun sebelumnya, dengan nilai 47,5 juta dolar AS, mengalami kenaikan 16,7 persen. Berselang tiga tahun, pada GSS 2015, nilai transaksi orang Indonesia yang berbelanja turun jadi 46,6 juta dolar AS, meski secara jumlah transaksi ada sedikit kenaikan. Hal ini membuat peringkat orang Indonesia sebagai pembelanja terbanyak via kartu kredit di GSS turun ke peringkat keempat, di bawah Australia, Malaysia, dan Cina.
Secara keseluruhan, kontribusi orang-orang Indonesia terhadap pariwisata dan bisnis ritel Singapura mulai tergantikan dengan pengunjung dari Cina, sejak 3 tahun lalu. Media straitstimes.com menulis, pada 2013 Singapura kedatangan 2,27 juta wisatawan Cina yang membelanjakan 2,98 miliar dolar Singapura atau naik 18 persen dari 2012.
Dengan jumlah belanja sebesar itu, untuk kali pertama, turis Cina menyalip turis Indonesia sebagai tukang belanja paling banyak di Singapura setidaknya sejak 2007. Secara jumlah wisatawan, orang Indonesia yang datang ke Singapura pada 2013 menembus 3,09 juta pengunjung. Total pengunjung yang datang ke Singapura pada 2013 mencapai 15,6 juta orang atau naik 7 persen. Para turis ini membelanjakan uangnya hingga 23,5 miliar dolar Singapura di Singapura.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Handaka Santosa mengatakan penurunan pertumbuhan transaksi GSS karena secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi dunia beberapa tahun terakhir sedang lesu. Kondisi ini berdampak pada jumlah turis manca negara yang berbelanja di GSS, termasuk Indonesia.
Saat bersamaan, di Indonesia kegiatan FJGS secara kualitas terus meningkat, dari sisi bertambahnya keikutsertaan produk dan merek dari dalam negeri maupun internasional. Dengan kata lain, FJGS saat ini sudah banyak menjual merek ternama yang sebelumnya hanya ada di Singapura, kini sudah bisa dibeli di Indonesia.
“Jadi masyarakat makin merasa, kalau tidak perlu ke luar negeri, tidak berbelanja ke luar negeri. Padahal dulu GSS merupakan acara yang ditunggu dan jadi ajang rutin untuk shopping bagi masyarakat Indonesia dan para pecinta lifestyle,” kata Handaka kepada tirto.id, Rabu (6/7/2016)
Ucapan Handaka ini memang sebuah klaim, tapi data-data menunjukkan bahwa FJGS saat ini sudah berbenah. Sehingga meredupnya pamor GSS di Singapura jadi kesempatan untuk terus membangkitkan pesta belanja ala lokal ini.
Kebangkitan FJGS
Secara usia, FJGS lebih tua dari GSS. Cikal bakal penyelenggaraan FJGS sudah dimulai sejak 1980-an. Dari tahun ke tahun FJGS menorehkan berbagai perubahan, selain transaksi yang terus naik signifikan, berbagai perubahan juga dilakukan, termasuk dalam hal target sasaran para penggila belanja.
"FJGS diharapkan bukan hanya menyemarakan HUT Jakarta tapi juga bisa menawarkan destinasi wisata baru di Jakarta yakni destinasi belanja, tentunya dengan tawaran harga yang menarik supaya bisa mendatangkan wisatawan mancanegara dan wisatawan dalam negeri," kata Catur Laswanto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta dikutip dari Antara.
FJGS tahun ini berlangsung bersamaan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) DKI Jakarta ke-489. Kegiatan FJGS berlangsung sejak 3 Juni-17 Juli 2016. Berbeda dengan GSS yang beberapa tahun terakhir pertumbuhannya melempem hanya tumbuh tipis, FJGS justru mencapai raihan pertumbuhan transaksi yang lebih baik.
Pada 2012 nilai transaksi Rp10,7 triliun berhasil diraup, angka ini naik 22 persen dari 2011 yang hanya Rp8,7 triliun. Pada 2013, FJGS mencapai pertumbuhan transaksi 10 persen dengan total Rp11,8 triliun. Pada 2015, meski mengalami perlambatan pertumbuhan, tapi transaksi yang diraih mencapai rekor tertinggi Rp14,58 triliun dengan pertumbuhan 8 persen dari tahun sebebelumnya. Tahun ini, FJGS ditarget mengalami kenaikan tak jauh berbeda.
"Panitia optimistis bisa meraup target penjualan Rp15,74 triliun, naik delapan persen dari pencapaian tahun sebelumnya senilai Rp14,58 triliun," kata Ketua Pelaksana FJGS 2016 dan Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APPBI) DPD DKI Jakarta Ellen Hidayat dikutip dari Antara.
Target pertumbuhan transaksi yang besar juga diimbangi dengan upaya lebih besar. FJGS tahun ini diikuti oleh 78 pusat belanja dan mal. Kepesertaan jumlah mal ini yang terbanyak selama FJGS berlangsung. Jumlah mal yang ikut serta di FJGS terus bertambah. Pada 2014 hanya 75 mal di Jakarta, bahkan 2013 sempat hanya 74 mal saja.
Pada 2012 pernah FJGS hanya berlangsung di 73 mal, setahun sebelumnya bahkan hanya 68 mal yang ikut FJGS. Selain itu, untuk kali pertama, ada 15 pasar tradisional di Jakarta ikut berpartisipasi di FJGS 2016. Para pusat belanja tertentu juga menggelar diskon khusus seperti Midnight Sale.
Jumlah mal ini memang masih terbatas bila melihat bidikan potensi pasar calon pembeli FJGS di Indonesia hingga mancanegara. Sehingga pantia penyelenggara sejak 2012 lalu melahirkan sebuah terobosan dengan menyajikan kegiatan pesta belanja online dengan melibatkan para pemain e-commerce tanah air.
Pesta Diskon Online
Jakarta Great Online Sale (JGOS) merupakan festival belanja tahunan yang menghimpun para penggiat e-commerce dan daily deal di Indonesia, khususnya yang berbasis di Jakarta. Program tahunan ini diadakan guna mendukung program FJGS sebagai bagian dari perayaan HUT DKI Jakarta lewat promosi wisata belanja dan layanan berbasis online. JGOS turut didukung oleh Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Perdagangan.
JGOS terus berkembang, dari awalnya hanya 11 pemain e-commerce kini sudah puluhan e-commerce yang ikut serta JGOS. JGOS menawarkan diskon kepada konsumen hingga 95 persen. Tahun ini JGOS berlangsung 20-26 Juni 2016. Kegiatan pesta belanja online ini memang lebih singkat dari pesta belanja konvensional FJGS.
“Antusiasme cukup positif, tahun ini kami berhasil menghimpun lebih dari 100 e-commerce yang berpartisipasi, tahun lalu sekitar 70 e-commerce," kata panitia Jakarta Great Online Sale Maria Windita dikutip dari Antara.
Hadirnya JGOS menjadi warna baru bagi FJGS yang masih harus terus berbenah untuk semangat meningkatkan perdagangan di dalam negeri. Membandingkan FJGS dengan GSS memang sebuah perbandingan yang tak setara. Dari skala, nilai transaksi, keduanya memang punya segmen yang berbeda. Namun, dengan FJGS makin dikelola serius dan upaya terus berinovasi maka setidakntya mampu mengurangi atau bahkan mengalihkan energi belanja orang Indonesia yang selama ini banyak '”membuang” uangnya di Singapura.
Pengusaha ritel dan pemerintah daerah harus tak boleh berpuas diri dalam membenahi FJGS. Singapura sebagai negeri yang bergantung dari jasa negara lain takkan begitu saja melepaskan sumber-sumber penopang ekonomi mereka berkurang atau hilang.