tirto.id - Perkenalan pertama saya dengan Jean-Luc Godard lewat film Au Bout De Souffle (Breathless) sebetulnya meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan. Kesan pertama saya, Breathless adalah film yang seksis. Tidak sedikit yang menyodorkan ide bahwa Breathless justru adalah film feminis yang menampilkan tokoh perempuan berbeda dengan stereotype perempuan di film-film Hollywood. Kalaupun harus dikaitkan dengan femnisme, maka Breathless adalah pseudo-feminism dan tetap tidak bisa menyembunyikan seksisme yang tersurat di depan layar.
Jujur, saya sering segan menonton film-film Godard. Segan untuk mengkritisi karya orang yang sering dianggap bapak spiritual pembuat film independen itu. Segan karena kecenderungan seksisnya yang makin menjadi-jadi di karya-karya selanjutnya. Diakui atau tidak, objektifikasi perempuan nyaris selalu hadir dalam film-film Godard di setiap periode dalam tema apapun. Contohnya seperti di Alphaville, Le Mépris, Je Vous Salue Marie, Le Petit Soldat hingga pseudo-autobiography-nya, JLG/JLG -- autoportrait de décembre.
Male gaze dengan bingkai artistik yang vulgar terlihat jelas misalnya di film Prénom Carmen (1983). Di film itu, objektifikasi perempuan tidak hanya dalam bentuk visual yang mesum (perhatikan bagaimana kamera berlama-lama menatap rambut kemaluan Carmen berlatar belakang wajah polisi muda), tapi juga dalam bentuk verbal.
"Jika aku memasukkan jariku ke lubang anusmu, hitung sampai 33, maka aku pasti demam”.
Begitu kata Oncle Jeannot, laki-laki tua yang kebetulan diperankan oleh Godard sendiri, kepada suster yang ingin mengukur suhu tubuhnya.
Cukup lama saya tidak berniat menonton karya Godard lagi sampai saya menjadi mahasiswa yang wajib lulus mata kuliah Sejarah Sinema Prancis dan diwajibkan menonton film-film Godard. Bagaimanapun, Godard adalah seorang kritikus film penting yang kemudian menjelma menjadi pembuat film paling berpengaruh sekaligus paling kontroversial di masanya dan di masa setelahnya. Sutradara ikonoklastik yang selalu berani melompat pagar-pagar aturan main bikin film maupun menerobos logika sinematik yang diterapkan oleh pendahulunya.
Dengan mengesampingkan ketidaknyamanan melihat objektifikasi perempuan, harus saya akui, film-film Jean-Luc Godard sungguh inventif dan sering menawarkan kejutan-kejutan baru yang membuat posisinya di dunia sinema tidak bisa tergantikan. Film-filmnya, dipahami atau tidak, selalu jenaka dan seringkali mengaburkan batas antara bermain-main dan mengolok-olok. Kematian Godard pada 13 September 2022 lalu yang sudah direncanakannya sejak lama kembali membuka kesempatan untuk mengenang salah satu pencetus Nouvelle Vague itu dari pengalaman pribadi melalui film-filmnya.
Sinema Sebagai Medium Bermain
Ketika Au Bout de Souffle (Breathless) dirilis circa 1960, kehadirannya langsung bikin ricuh. Menonton kembali Breathless, terlihat kenekatan Godard mendekonstruksi aturan-aturan sinematografi zaman itu, memporak-porandakan bahasa audio visual yang ditetapkan oleh studio raksasa di Hollywood, lalu merekonstruksi ulang dengan caranya sendiri.
Godard cuek dengan masalah-masalah produksi di lapangan. Tidak punya uang menyewa rel dolly, memakai kursi roda pun jadi. Ia juga tidak terlalu peduli dengan kontinuitas sekuens. Ketika filmnya dianggap kepanjangan, ia memilih untuk memotong sana sini. Ia tega memotong-motong satu sekuens menjadi beberapa bagian. Hasilnya, perpindahan satu adegan ke adegan lain begitu mendadak dan brutal. Dan ini juga dilakukannya dengan audio dan soundtrack. Memotong-motong sekuen untuk memperpendek durasi tidak pernah direncanakan tapi kemudian popular dan jadi ciri khas karya-karya Godard selanjutnya. Begitu pula dengan audio dan rekaman suara yang tidak sinkron karena digunting seenaknya. Menonton Breathless jadi seperti menonton kreatifitas dan permainan di belakang layarnya juga.
Semakin banyak menonton filmnya, semakin terasa atmosfir “having-fun” dan “playfulness” bahkan di filmnya yang paling serius seperti La Chinoise (1967) atau Film Socialisme (2010). Contoh permainan kreatifitas Godard lainnya adalah Alphaville, gabungan fiksi-ilmiah dan film noir. Sebuah film yang cukup berkesan karena kecanggungannya.
Waktu itu, Alpha 60 mengingatkan saya pada HAL 9000 di 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick yang dibuat 3 tahun setelah Alphaville. Alpha 60 dan Hal 9000 adalah super komputer yang mengontrol wilayahnya masing-masing. Bedanya, Alpha 60 bersumber dari kotak kipas angin yang berdiri di depan lampu senter sehingga menghasilkan efek misterius nan futuristik. Hasilnya seperti cara orang menakut-nakuti anak-anak dalam kegelapan dengan menyorotkan lampu senter di bawah dagu.
DI dunia A Space Odyssey, Hal 9000 diciptakan dari plat aluminum dengan lensa fisheye Nikkor 8 mm f/8 yang sungguh terlihat canggih. Suara mereka pun menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hal 9000 bertutur dengan ketenangan yang melenakan dan bersumber dari suara aktor yang dipilih dengan teliti, sementara suara Alpha 60 seperti suara orang tua tercekik yang kehabisan nafas dan kadang seperti berusaha keras untuk terdengar menakutkan sekaligus berwibawa.
Dalam konteks yang lebih luas, dua karakter komputer ini sama-sama berasal dari film fiksi ilmiah dengan tingkat kesempurnaan yang berbeda. Semesta Hal 9000 dibangun dengan presisi dan perencanaan yang matang dengan hasil akhir yang paripurna sementara semesta Alpha 60 nyaris tanpa set dan hanya diakali dengan merekam film itu sebuah bangunan yang baru saja selesai dibangun dengan arsitektur modern (pada masa itu). Dibandingkan dengan Hal 9000 dan 2001 : A Space Odyssey , Alpha 60 dan Alphaville-nya jadi terlihat amatiran dan nyaris menggelikan apalagi saat ditonton di era CGI.
Tapi justru inilah keistimewaan Godard yang sesungguhnya. Dari sejak awal ketika sang tokoh utama, Lemmy Caution bertemu dengan perempuan penggoda level 3, yang bertanya seperti robot dan menjawab dengan jawaban seragam yang terus diulang.
“Oui. Tres bien. Merci. Je vous en pris." (Yes. Very Well. Thank You. You’re Welcome),
Atau kamus yang tiap saat makin menipis karena kata-kata seperti cinta atau puisi dihilangkan, penonton langsung sadar bahwa Godard menciptakan suasana fiksi ilmiah melalui kalimat tanpa perlu membangunan setting yang rumit. Produksinya pun artisanal, dan keterbatasan prop diakali dengan improvisasi dan solusi yang kreatif.
Lalu, adegan-adegan perkelahian, kejar-kejaran, tembak-tembakan (yang juga banyak mendominasi film-film awal Godard) terlihat sangat kekanak-kanakan. Sekali pukul, mati. Suara tembakan, mayat tergeletak. Godard seringkali hanya menjadikan kode-kode film Hollywood sebagai umpan tanpa merasa perlu memperlihatkan detail-detail berkepanjangan demi sebuah adegan pertarungan yang meyakinkan. (Perhatikan senjata-senjata yang digunakan dalam film-film Godard, seperti dalam Pierre Le Fou misalnya, beberapa terlihat seperti senjata kayu mainan). Godard tidak merasa perlu berusaha keras untuk meyakinkan penonton bahwa Alphaville adalah film science fiction dengan sentuhan film noir di sebuah kota distopia.
Kadang-kadang, di tengah-tengah adegan-adegan serius, Godard seperti ingin melucu dengan menciptakan situasi absurd: orang tetap santai membaca koran di tengah-tengah adegan perampokan atau tukang bersih-bersih mengepel darah yang tumpah tanpa mengganggu mayat yang terkapar, etc.
Moda produksi yang inovatif serta metode improvisasi, baik itu dengan posisi kamera maupun teknik editing yang dilakukan untuk menciptakan atmosfir yang diinginkannya, Godard menemukan gaya bercerita dan ciri khas yang akan terus dipertahankan hingga filmnya yang terakhir, Le Livre d’image (The Book of Images).
Karya Godard memang tidak semulus film-film Hollywood. Tapi justru dengan caranya sendiri, Godard menciptakan alternatif baru bagi pembuat-pembuat film yang tidak punya akses pada fasilitas dan teknologi sinematografi yang memadai. Film-filmnya menambah percaya diri para pemula bahwa film apapun, termasuk fiksi ilmiah, bisa dimainkan dan bisa diwujudkan tanpa peralatan canggih.
Sejumlah karyanya kemudian membentuk gambaran yang utuh bahwa Godard sebetulnya tidak bermaksud untuk melucu tapi memang ingin bermain-main dengan mendobrak sejumlah aturan baku yang ditetapkan pendahulunya. Karya-karya yang konsisten jadi semacam pernyataan bahwa film pada dasarnya tidak hanya dibuat untuk menghibur penonton tapi juga medium bersenang-senang yang menghibur bagi pembuat filmnya. Baik itu untuk menyiasati keterbatasan maupun memang sengaja mengolok-olok film-film pendahulunya.
Film Personal
Menyiasati mise-en-scene di hadapan lensa kamera memang gampang ditiru dan semangat mengakali ini kemudian menjadikan Godard sebagai salah satu bapak spiritual pembuat film independen. Namun, walaupun teknik produksinya ala rumahan dan membuat orang-orang muda berpikir betapa gampangnya bikin film, Godard pada dasarnya lebih banyak bergelut dengan konsep dan ide.
“Tiga perempat sutradara menghabiskan empat jam untuk syuting yang sebetulnya hanya membutuhkan lima menit penyutradaraan. Saya lebih menghabiskan lima menit untuk syuting dengan kru dan menikmati tiga jam untuk diri saya sendiri untuk berpikir,” kata Godard.
Salah satu hal yang menonjol dalam film-film Godard, selain mengakali teknik produksi untuk menyampaikan narasi yang efektif, adalah kekayaan bibliografinya.
Sinema Godard selalu terhubung dengan dunia sastra, implisit maupun eksplisit. Film-filmnya pun banyak terinspirasi dari buku. Perhatikan saja di semua filmnya, karakter-karakternya selalu membaca buku, baik itu novel, essai atau puisi. Di Au Bout de Souffle (Breathless), misalnya, Michel membaca Photographing The Female Figure karya Bunny Yeager dan Patricia membaca The Wild Palms(If I Forget Thee, Jerusalem) oleh William Faulkner.
Di Le Petit Soldat, buku-buku berseliweran, dari novel Thomas L’imposteur karya Jean Cocteau, La Condition Humaine-nya André Malraux, hingga esai Les Enfants Humiliés-nya Georges Bernanos. Pierrot Le Fou yang selalu kesal dipanggil Pierrot karena nama aslinya Ferdinand juga adalah tribute untuk salah satu penulis Prancis favorit Godard, Louis-Ferdinand Céline. Di film itu, Pierrot membaca novel Guignol's Band karya Céline.
Di banyak karyanya, Godard sering asyik memasukkan kutipan-kutipan teks dari buku-buku penulis favoritnya yang lain seperti Jorge Luis Borges, Charles Baudelaire, Julien Green, Raymond Chandler hingga penulis fiksi ilmiah popular seperti Maurice Limat. Buku-buku yang jadi cameo maupun sumber inspirasi di film-film Godard bisa jadi bagian tersendiri di rak khusus dalam perpustakaan.
Godard tidak hanya rajin menampilkan buku dan mengutip teks favorit lewat percakapan karakternya. Ia juga sangat berdedikasi menyusupkan karya-karya seni dari seniman favoritnya. Seperti juga kemunculan buku-buku dalam setiap filmnya, film-film Godard bertaburan referensi seni yang kadang tidak hanya dalam bentuk dekorasi, tapi menjadi bagian integral dalam konsep mise-en-scene filmnya. Palet warna dan struktur narasi serta editing yang terasa absurd dan abstrak dalam Pierrot le Fou misalnya, adalah tribut untuk Nicolas de Staël, pelukis Prancis asal Rusia yang melukis ribuan lukisan demi menyambung hidup.
Selain itu, sejumlah karya seniman juga menjadi cameo seperti Renoir, Matisse, Picasso, Chagall, hingga Modigliani. Bukan kebetulan nama tokoh utama wanita yang diperankan Anna Karina adalah Marianne Renoir dan bukan kebetulan juga Pierrot terlihat membaca Histoire de l’art (Sejarah Seni) tulisan Elie Faure, dengan sangat serius di bak mandi dan di bioskop.
Dalam JLG JLG: autoportrait de décembre (1995), banyaknya referensi lukisan yang ditampilkan bisa menjadi pameran khusus. Di film itu, karya seniman-seniman yang tampil di Pierrot Le Fou ditambah dengan Manet, Rubens, Courbet, Boucher, Schiele, Rembrandt, Velasquez, van Dongen, Paul Klee, etc.
Konon, pilihan-pilihan lokasi di setiap film Godard pun sangat referensial dan spesifik mengacu pada seniman favoritnya. Area lokasi utama di A Bout De Souffle (Breathless) tempat pasangan Michel dan Patricia berjalan-jalan, misalnya, adalah area seniman dan sastrawan menyewa studio dan tempat tinggal. Sejumlah nama seperti Man Ray, Marcel Duchamp, Louis Aragon, Elsa Triolet, hingga Yves Kline pernah tinggal dan berkarya di area ini.
Semua elemen-elemen ini menjadi bagian yang mungkin bagi penonton hanya menjadi latar belakang tapi memperkaya tekstur setiap karya Godard. Ia tidak hanya ahli mengutip kalimat, ia juga ahli mengutip suara, ahli mengutip visual dan ahli mengutip serpihan-serpihan sejarah untuk merekonstruksi ide sekaligus mendekonstruksi struktur narasi sinematografi tradisional.
Hasilnya seringkali mengejutkan. Karya-karya Godard selalu terasa puitis, berbentuk mozaik yang terdiri dari serpihan musik, puisi, filosofi dan imaji. Seiring bertambahnya usia, semakin ramai pula kutipan teks, musik, karya seni dalam karya-karya Godard, dan makin puyeng pula penonton dibuatnya. Kecuali jika penontonnya paham referensi yang dimaksudkan.
Elemen-elemen referensi personal terhadap seni, sastra, dan juga sejarah sinema yang jadi pondasi struktur narasi sinema Godard pada akhirnya membentuk semacam ensiklopedia pribadi. Puncaknya adalah karya semi dokumenternya yang monumental, Histoire(s) du cinema (Sejarah Sinema) yang terdiri dari delapan bagian dan seperti biasa, mencampur aduk referensi kejadian bersejarah, literatur, karya seni, dan sinema.
Lokasi, dekor, mise-en-scene sepertinya hanya jadi faktor sekunder yang bisa dimanipulasi. Gaya narasi audio-visual mungkin bisa ditiru dengan mudah, tapi substansi karya-karya Godard tak akan mungkin diimitasi justru karena referensi personalnya yang sangat kaya.
Karena itu pula, serumit apapun filmnya, karya-karya Godard akan selalu ditonton ulang, dianalisis dari segala aspek, dari berbagai sudut pandang, berdasarkan berbagai teori, dalam konteks yang lebih luas, khususnya dalam konteks sejarah dunia maupun sejarah dunia sinema.
Godard sudah jadi monumen jauh sebelum kematiannya. Sekarang ia jadi monumen yang melegenda. []
Penulis: Asmayani Kusrini
Editor: Nuran Wibisono