Menuju konten utama

Mengenang Banu, yang Tewas di Tangan Gerombolan Berseragam

Banu Rusman baru duduk di kelas X dan merupakan penggemar berat Persita Tangerang.

Mengenang Banu, yang Tewas di Tangan Gerombolan Berseragam
Karangan bunga almarhum Banu Rusman. tirto.id/Ahsan Ridhoi

tirto.id - Rumah kecil di ujung Gang Cempaka IV, Jalan Kavling Serpong, RT 03/04, Kelurahan Serpong, Tangerang Selatan itu tampak sepi. Cat putihnya yang mengelupas di sana-sini, atap asbes yang bolong-bolong, dan tiang kayu yang keropos di beberapa bagian menciptakan kesan muram. Sementara sebuah tenda, bendera kuning, dan deretan karangan bunga berukuran besar terpajang di depannya.

Sri, 34 tahun, baru saja pulang dari Pasar Serpong saat saya tiba di rumahnya hari ini (13/10/2017). Ia membeli kebutuhan dapur yang lebih banyak dari biasanya untuk menggelar tahlilan Banu Rusman, adik kandungnya.

Banu adalah suporter Persita Tangerang yang meninggal dunia setelah mengalami pendarahan di otak akibat pukulan benda tumpul oleh suporter berseragam PSMS Medan, yang diketahui sebagai anggota Kostrad TNI, dalam kerusuhan antar suporter di Stadion Mini Persikabo, Cibinong, Rabu (11/10) dua hari lalu. Dalam pengeroyokan itu, Banu terkapar dengan dua luka di kepala, di bagian dahi dan tempurung belakang.

Tak banyak yang bisa dijelaskan Sri tentang kejadian yang menimpa adiknya. Ia tak berada di lokasi kejadian. Saat pengeroyokan terjadi ia sedang berdagang tempe keliling bersama suaminya, di sekitar Serpong, 62 Kilometer dari tempat Banu dihajar.

"Saya baru dengar kabarnya jam 4 sore dari temannya, Poki. Poki bilang, 'Mbak Sri, Banu di rumah sakit. Kepalanya bocor'. Suami saya langsung ke sana. Saya di rumah," kata Sri kepada saya dengan suara berat dan air mata yang tertahan.

Perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah itu mengambil tisu dari kotak di depannya, lalu mengusap bagian pelupuk bawah matanya beberapa kali. "Sampai sekarang saya merasa Banu masih hidup. Dia kalau siang biasanya tiduran di situ," kata Sri, sambil menunjuk ke arah sebuah kamar yang saat itu pintunya terbuka.

Sambil terisak dan terbata-bata, Sri menceritakan sosok Banu pada saya. Menurutnya, Banu adalah adik yang penurut. Sebagai anak bontot dari lima bersaudara, Banu tak pernah berselisih paham atau melawan pada kakak-kakaknya.

"Disuruh apa saja dia itu mau," kata Sri.

Setiap hari sepulang sekolah di SMK PGRI IX Serpong, Banu selalu membantu Sri berjualan tempe. Meskipun Sri mengaku jarang meminta adiknya itu membantunya berjualan.

"Kasihan juga kalau habis sekolah jualan terus," tambahnya.

Baca juga: "Suporter Ditonjok, Ditendang, dan Dipukul Pakai Bambu"

Banu mulai tinggai bersama Sri sejak ibunya meninggal 8 tahun lalu, dan bapaknya menikah tiga tahun setelahnya. Ketika itu ia baru kelas 3 SD. Kebutuhan sehari-hari dipenuhi oleh Sri dan saudaranya yang lain. Termasuk membiayai sekolah.

"Ongkos apa saja, saya sama kakak-kakak yang bantu. Saya anak keempat. Tapi dia memang paling akrab sama saya dan kakak yang di Kademangan (Tangsel)," kata Sri.

Sekarang Banu baru duduk di kelas X, dan harusnya ia kembali bersekolah dan membantu Sri hari ini. Ketika mengatakan itu, air mata Sri kembali pecah. Ia punya harapan besar pada adiknya itu agar tamat sekolah, bahkan sampai perguruan tinggi. Sebab, menurutnya, itu adalah amanat almarhum ibu kandung mereka.

"Semua enggak ada yang kuliah, Mas. Saya cuma sampai SMA. Dulu ibu saya nitip ke kakak di Kademangan suruh nyekolahin Banu yang tinggi," kata Sri.

Sri mengatakan bahwa Banu memang penggemar berat Persita Tangerang dan tergabung dalam klub suporter La Viola Tangerang Selatan. Ia membebaskan adiknya itu menonton setiap kali Persita berlaga. Baik ketika masih berlaga di Stadion Benteng sebelum renovasi, maupun ketika sudah berlaga di stadion sewaan milik Persikabo Kabupaten Bogor.

"Biasanya selalu izin kalau mau nonton. Tapi kemarin itu enggak izin. Cuma pagi ke sini sebelum berangkat sekolah minta ongkos. Mungkin sudah pertanda, ya," kata Sri.

Berulang kali Sri menyeka air matanya. Tak ada kesedihan yang ditutupi Sri dari saya. Begitu juga kegeraman pada pembunuh adiknya dibiarkan meluap bersama ceritanya.

"Saya akan menuntut. Tentara yang bunuh Banu kudu ketemu pokoke, Om. Ada santunan, karangan bunga dari komandannnya, tapi ini nyowone adikku," kata Sri dengan suara yang meninggi.

Tumina, sepupu Sri yang hadir di tengah perbincangan kami, mencoba menenangkan Seri dengan menepuk bahunya. Sri menunduk sejenak. Mengusap air matanya lagi.

Suasana pun menjadi hening.

"Kalau sampean lihat jenazahnya, Om, itu kayak jantung pisang. Ungu wajahnya. Darahnya sudah penuh di kepala kayaknya. Tega mereka," kata Sri, setelah diam sejenak.

Baca juga: Edy Rahmayadi: Kamu [Saja yang] Jadi Ketua PSSI

Kegeraman Sri kepada para pembunuh dirasakan Poki (18), sahabat karib Banu sejak kecil yang juga berada di tempat kejadian. Berulang kali ia menyebut kata "anjing" mengekspresikan rasa geramnya pada tentara yang menghajar sahabatnya hingga tewas.

"Gue gendong dia ke ambulans. Topinya udah darah semua. Bajunya juga. 'Temen gue ini woy. Bawa ke rumah sakit.' Gue teriak-teriak. Polisi diem aje tuh," kata Poki kepada saya di rumah duka, (13/10). Ia berjanji bakal terus datang ke rumah duka sepanjang tahlilan, sampai tujuh hari ke depan.

Rumah Poki hanya berbeda gang dengan rumah Banu. Mereka sudah bersahabat sejak SD dan sama-sama tergabung dalam La Viola Tangerang Selatan. Menurutnya, setiap menonton Persita berlaga, keduanya selalu berangkat bersama. Kecuali kemarin.

"Gue ajakin si Banu, 'Nu, yuk ngawal Pendekar' (kependekan dari Pendekar Cisadane. Julukan Persita Tangerang). Tapi dia bilang mau ujian. Gue berangkat sendiri. Eh, pas di sono dia udah moto-moto di tribun," kata Poki.

Tak ada firasat buruk yang dirasakan Poki. Menurutnya, selama jalannya pertandingan keduanya masih menyanyikan yel bersama. Bahkan sempat menggunjing kawannya yang lain. Yang membedakan keduanya di hari itu hanya nasib.

Baca juga: Catatan Bentrok Suporter Olahraga yang Melibatkan Tentara

Banu, yang menurut Poki adalah pribadi periang dan supel, harus terkena hantaman sebilah bambu dan sebuah balok dari suporter berseragam. Poki menyesal tak bisa membantu banyak sebab keduanya terpisah di dalam kerumunan. Banu terjebak di luar stadion yang dipenuhi suporter PSMS berseragam, sementara Poki tertahan di dalam stadion.

"Gue baru bisa nolongin pas pager udah jebol. Banu udah abis dihajar, terus kegeletak," kata Poki yang tak kuasa membendung tangisnya. Pria berbehel itu mengusap air matanya dengan jersey Persita yang dikenakannya.

Di rumah sakit, selama Poki menemani Banu dalam perawatan, firasat kematian kawannya tak pernah terbesit olehnya. Banu, kata Poki, sempat siuman dan mengajaknya bercanda. Banu meminta sebatang rokok, tapi kemudian Poki melarang karena berada di rumah sakit.

Keduanya pun sempat membuat video. Dalam video tersebut, terlihat Poki bertanya pada Banu, "santai bray?". "Santai lah," jawab Banu. "La Viola sampai mati, Persita abadi," sambung Banu sambil mengacungkan jari membentuk tanda peace.

Lima jam setelah membuat video, Banu meninggal dunia setelah mendapat perawatan selama lebih kurang 15 jam. Ia mengalami pendarahan di otak akibat pembuluh darah yang pecah. Sri kehilangan. Poki kehilangan. Tadi, pukul 10 pagi, jenazah Banu resmi dikebumikan di Pekalongan, Jawa Tengah, bersanding dengan ibunya.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN SUPORTER atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Olahraga
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti