tirto.id - Setelah Eden Hazard resmi ke Real Madrid, Rodri menjadi gelandang anyar Manchester City, Antoine Griezmann akhirnya berbaju Barcelona, dan Matthijs de Ligt memilih bergabung bersama Juventus, belum ada lagi transfer menarik dari dunia sepakbola pada musim panas 2019.
Sebetulnya ada Manchester United yang belakangan ini ada di pusat lampu sorot karena Paul Pogba dan Romelu Lukaku, dua pemain andalan mereka, dikabarkan segera hengkang. United juga disorot karena ada kabar mereka mendatangkan Christian Eriksen, Ivan Perišić, serta Paulo Dybala sebagai pengganti.
Namun kabar-kabar tersebut masih sebatas rumor yang belum jelas ujung pangkalnya.
Klub-klub besar lain pun berada dalam keadaan serupa. Apakah Tottenham Hotspur benar-benar ingin membawa pulang Gareth Bale dari Real Madrid? Bagaimana dengan nasib Mauro Icardi di Inter Milan? Apakah AS Roma benar-benar ingin mendatangkan Toby Alderweireld dari Spurs? Halo, apa kabar Neymar? Dan seterusnya.
Di tengah kurang gregetnya berita transfer itu, The Athletic, salah satu media olahraga asal Amerika Serikat, muncul ke permukaan dan memancing perhatian.
Bertujuan bikin laporan kelas satu soal Premier League mulai musim depan, media berlangganan itu melakukan 'transfer pemain' besar-besaran dengan caranya sendiri. Targetnya tentu bukan pemain sepakbola, melainkan para jurnalis kawakan.
Pada awal Juni lalu, Digi Day melaporkan bahwa The Athletic akan membentuk tim di Inggris yang diisi 50-an jurnalis. Mereka disebut berencana membajak para jurnalis olahraga ternama dari media-media besar seperti Guardian, BBC, juga The Times.
Kabar itu ternyata bukan isapan jempol. Pada 17 Juli 2019, Mark di Stefano dari BuzzFeedmenyebut Daniel Taylor, kepala penulis sepakbola Guardian dan David Ornstein, koresponden terkenal BBC, sudah bergabung bersama The Atheltic.
Selain itu, ada nama-nama lain yang tinggal menunggu waktu untuk mengikuti jejak Taylor serta Ornstein.
Dari Guardian ada Amy Lawrence, Dominic Fifield, dan Stuart James. Sementara Laura Williamson, Laurie Whitwell, dan Adam Crafton mewakili Daily Mail. Dari The Times, ada nama-nama sepertiAlex Key-Jelski, Oliver Kay, dan George Caulkin.
"Ini akan memicu bom. Sial, ini sangat luar biasa!" kata salah satu editor olahraga senior Inggris kepada BuzzFeed, mengenai ekspansi The Athletic ke Inggris. "Bukan hanya soal 50 pekerjaan baru, tapi juga tentang bagaimana cara seorang manajer sebuah newsroom melindungi tim mereka... Ini ialah bursa transfer paling dahsyat untuk para jurnalis olahraga."
Bagaimana The Athletic bisa melangkah sejauh itu?
Media Anti-Arus Utama
The Athletic adalah media olahraga yang didirikan Alex Mather dan Adam Hansmann di Chicago pada 2016. Keduanya mendirikan The Athletic karena punya pengalaman tak mengenakkan: mereka kesulitan menemukan tulisan berkualitas tentang olahraga. Yang mereka sering temukan adalah tulisan buruk yang dipenuhi iklan.
Menurut Kevin Draper dari New York Times, mereka berdua sadar bahwa di balik karya-karya buruk itu ada cara kerja jurnalistik yang bermasalah. Media-media tersebut sering bekerja di bawah tekanan keuangan yang mengerikan, sehingga selalu menuntut para jurnalisnya menghasilkan konten dalam jumlah banyak tanpa memikirkan kelayakan upah dan kualitas.
Padahal, menurut Draper, jika jurnalis diberi waktu cukup untuk menggarap sesuatu yang benar-benar diketahui, mereka sebetulnya bisa bikin karya dahsyat.
The Athletic dimaksudkan sebagai antitesis itu. Keduanya berani membayar para jurnalis ternama dengan upah besar. Keduanya percaya ada ratusan ribu atau bahkan jutaan pembaca yang tak keberatan membayar 60 dolar AS selama setahun untuk mendapatkan konten olahraga bermutu.
Mereka juga berani merekrut para jurnalis yang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai perkembangan olahraga tingkat sekolahan. Para jurnalis tersebut nantinya tidak harus menghasilkan karya rutin setiap hari.
"Kami akan merekrut talenta terbaik mereka (media-media lokal maupun regional) setiap saat. Kami akan membuat bisnis ini menjadi sangat sulit bagi mereka," kata Mather.
Keputusan itu berbuah manis. The Athletic berkembang pesat. Menurut laporan New York Times, pada 2017, selain mulai dikenal para penggemar dan atlet, mereka sudah memiliki 65 editorial yang bekerja di 10 pasar. Setahun setelahnya meningkat jadi 300 editorial yang fokus di 38 pasar.
Selain itu, jika pada 2016 mereka hanya mempunyai modal 8 juta dolar AS, tahun lalu angkanya sudah berlipat jadi 28 juta dolar AS.
Konten Berkualitas
John Kosner, mantan eksekutif media digital ESPN, mengatakan pelanggan pertama The Athletic ialah penggemar berat olahraga yang barangkali sudah menghabiskan ribuan dolar setiap tahun untuk mendapatkan konten terbaik. Untuk mendapatkan pelanggan lebih banyak, Kosner berpendapat "The Athetic harus mampu menarik pengggemar biasa" yang barangkali tak menggilai olahraga.
Karena itu Kosner tidak yakin TheAthletic bisa meraih keuntungan sesudah bakar uang besar-besaran. Namun Daniel Leff, investor The Atlhetic, menampiknya dengan penjelasan masuk akal.
"Meskipun Netflix sudah mulai meningkatkan judul film orisinil, mereka dan Spotify masih merupakan perusahaan yang sangat bergantung terhadap lisensi. Artinya, mereka harus mengeluarkan miliaran dolar untuk mendapatkan servis yang mereka sediakan. The Athletic berbeda. Kami 100 persen menciptakan konten kami sendiri," kata Leff.
Model bisnis ini bikin The Athletic bisa fokus mengkreasikan konten sebaik mungkin. Singkat kata, saat mereka menambah jumlah pekerja, konten berkualitas mereka juga bisa ikut bertambah. Itu artinya, peluang mereka untuk mendapatkan pelanggan baru pun menjadi semakin besar.
Pada sisi lain, The Athletic juga tidak mau berurusan dengan iklan. Saat media-media besar biasanya menjadikan iklan sebagai tulang punggung meraih penghasilan, Alex Mather justru berkata "model bisnis periklanan tidak akan pernah selaras dengan kualitas."
Katanya lagi, "model bisnis itu sangat panas. Model bisnis periklanan adalah model bisnis jangka pendek, bukan jangka panjang. Itu hanya melayani pengiklan bukan para pembaca. Itu hanya tentang berpikir hebat, bukan tentang berpikir besar."
Dan Alex Mather mampu memberi bukti.
Pada pertengahan 2018, Wall Street Journal melaporkan Steph Curry, bintang basket Golden State Warriors, dibuat bingung saat editor The Atlhetic wilayah San Francisco, Tim Kawakami, mengenalkan diri kepadanya. Ia bertanya balik untuk memastikan apa yang baru ia dengar.
"Dari mana?" kata Curry kepada Kawakami. Kawakami kembali mengatakan bahwa ia dari The Athletic, dan ia menawarkan langganan gratis kepada Curry agar bisa mengenal lebih dalam media tempatnya bekerja itu.
Setelah itu bukan hanya Curry yang tahu tentang The Athletic. Karena terus berkembang--pelanggan mereka sudah berada di kisaran 100 ribu--The Athletic berhasil menjadi pembicaraan rutin di kalangan penggemar serta pelaku olahraga di Amerika.
Dan kini mereka bahkan sudah mulai "menjajah" media-media Inggris untuk semakin menancapkan eksistensinya.
Editor: Rio Apinino