tirto.id - Kebanyakan kasus perundungan yang diwartakan menyebut korban yang berusia muda, perempuan, atau kaum-kaum yang tidak mengamini norma-norma yang dianggap umum. Padahal, aksi kekerasan ini tak pernah mengenal latar belakang, termasuk usia. Mereka yang berusia lanjut pun kerap mengalami perundungan, tetapi jauh dari radar pemberitaan.
Lazimnya, orang-orang berusia senja mengidamkan sisa hidup mereka diisi dengan ketentraman dan penuh perhatian dari orang-orang terdekat. Namun sayang, tidak semua beruntung mengecap pengalaman seperti itu. Alih-alih memperoleh kasih sayang atau perawatan yang layak dari keluarga ketika performa fisik dan mental kian merosot, sebagian orang tua justru mengalami aneka bentuk perundungan. Diskriminasi, intimidasi, dan siksaan psikologis serta finansial tak luput menjamah mereka.
Berbeda dengan Hari Ibu atau Hari Ayah yang dirayakan di berbagai negeri, perbincangan mengenai perundungan orang-orang tua masih terdengar asing bagi kebanyakan orang. Banyak yang tak sadar bahwa tindakan-tindakan seperti pengabaian atau isolasi orang-orang tua adalah bagian dari perundungan terhadap mereka. Padahal, statistik yang dilansir WHO pada 14 Juni 2017 menunjukkan fenomena ini bukanlah hal yang baru dan tidak sedikit yang mengalaminya.
Setidaknya 1 dari 6 lansia mengalami perundungan. Dalam riset yang dipublikasikan di Lancet Global Health dinyatakan bahwa hampir 16% orang berusia lebih dari 60 tahun mengalami perlakuan buruk, baik dari segi psikologis (11,6%), finansial (6,8%), fisik (2,6%), maupun seksual (0,9%). Riset ini dikumpulkan dari bukti-bukti yang termaktub dalam 52 studi dari 28 negara.
Penasihat Kesehatan Senior dari Department of Ageing and Lifecourse, WHO, Alana Officer, menyatakan, “Perundungan terhadap orang lansia tengah menanjak; sekitar 141 juta lansia di seluruh dunia mengalami perlakuan buruk yang berdampak secara individual dan sosial.” Menurutnya, fakta ini menjadi dasar untuk memulai gerakan kesadaran akan perundungan terhadap lansia dan mengupayakan pencegahannya.
Pada 2050 mendatang, orang di atas usia 60 akan berlipat ganda hingga 2 miliar jiwa secara global dengan mayoritas tinggal di negara-negara dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah. Bila proporsi korban konstan, jumlah lansia yang mengalami perundungan akan meningkat tajam hingga 320 juta orang pada 2050.
Bentuk-Bentuk Perundungan Terhadap Lansia
Dalam banyak kebudayaan masyarakat, utamanya di Asia, hubungan kekerabatan dan ikatan anak-orang tua masih dianggap sebagai nilai yang dijunjung tinggi. Meski demikian, sejumlah berita menunjukkan bahwa tak selamanya nilai ini dipegang, terlebih saat kepentingan pribadi diletakkan di atas penghargaan terhadap orang-orang tua.
Pada April 2017 silam, Sigit Prihantoro (37) dari Sleman, Yogyakarta, dibekuk petugas setelah melakukan penganiayaan dan upaya pembakaran rumah mertuanya, Sukatman (60). Aksi kekerasan ini dibantu oleh Wahyu (36), istri pelaku, dan Agustina (32), tetangganya. Sukatman menderita luka bacok setelah Agustina menyerangnya. Pelaku melakukan tindakan nekat ini lantaran tidak mendapat jatah warisan rumah dari sang mertua.
Tindakan yang dilakukan Sigit ini tergolong perundungan terhadap lansia dari aspek fisik dan finansial berdasarkan penjelasan yang dikutip dari Health Service Executive. Luka yang dialami Sukatman jelas mengindikasikan kekerasan fisik anak terhadap orang tua. Sementara dari aspek finansial, seorang lansia dikatakan mengalami perundungan ketika ia mendapat tekanan dari orang lain untuk mengakses hartanya, tak mampu lagi mengontrol keuangannya sendiri, atau ketika orang lain tanpa sepengetahuan atau persetujuannya menggunakan dana miliknya untuk kepentingan pribadi.
Perundungan lain yang mungkin dialami para lansia adalah perundungan psikologis. Bentuk perundungan ini dapat melibatkan aksi verbal maupun nonverbal seperti ucapan intimidatif, mempermalukan di depan umum, pelecehan, dengan sengaja meninggalkan dan mengisolasi dari lingkungan pergaulan atau jaringan pendukung, serta penyalahan. Tindakan perundungan psikologis terhadap lansia menyebabkan timbulnya rasa takut berada di rumah sendiri, perasaan tak berdaya dan putus asa, kecenderungan menangis, hilangnya nafsu makan, dan gangguan tidur.
Ketidakpedulian keluarga terhadap orang tua juga termasuk bentuk perundungan terhadap lansia. Mereka yang dengan sengaja melalaikan pemenuhan kebutuhan kesehatan atau layanan sosial untuk orang-orang tua dapat disebut sebagai pelaku perundungan. Pemenuhan kebutuhan kesehatan juga mencakup makanan dengan nutrisi sesuai kondisi tubuh si lansia, alat bantu dengar, penglihatan, perawatan gigi, obat-obatan, atau kursi roda dan kasur khusus ketika si lansia mengalami keterbatasan fisik tertentu. Perundungan berbentuk pengabaian juga terjadi saat si lansia ditinggal dalam jangka panjang saat ia tak berdaya melakukan aktivitas sehari-hari.
Pembatasan akses terhadap hal-hal tertentu juga dapat dianggap sebagai perundungan terhadap lansia. Hal ini dikenal sebagai ageism. Beberapa contoh tindakan ageismadalah penetapan kebijakan pensiun pada usia tertentu sekalipun si lansia masih mampu bekerja dengan optimal, penolakan aplikasi kredit, asuransi, atau keanggotaan beberapa komunitas.
Tidak hanya anak saja yang dapat melakukan perundungan terhadap lansia. Mereka yang bekerja sebagai relawan atau pekerja yang merawat orang-orang tua, tetangga, atau kerabat pun dapat melakukan hal ini.
Mengapa Perundungan Terhadap Lansia Terjadi?
Tidak ada alasan tunggal yang mendasari terjadinya suatu perundungan. Setiap kasus senantiasa diiringi alasan-alasan unik dari pelaku. Kondisi pertama yang mungkin melatarbelakangi perlakuan buruk yang diterima para lansia adalah tindakan-tindakan kekerasan yang sempat diterima sang anak atau pelaku lainnya pada masa lalu. Perasaan kecewa yang terbawa hingga dewasa dapat membuat pelaku melampiaskan emosinya dengan merundung orang-orang lansia. Bak lingkaran setan, hal ini kembali diteruskan dari generasi ke generasi. Pelaku menjustifikasi diri dengan berpikir, “Dulu saya diperlakukan atau melihat hal tak baik seperti ini, mengapa saya tidak melakukan hal yang sama?” Tak mesti perlakuan buruk diterimanya langsung dari orangtua. Aksi kekerasan yang dilakukan ayah kepada ibu atau sebaliknya pun bisa mendorong pelaku untuk meniru perbuatan orangtuanya.
Kondisi kedua yang bisa memicu perilaku kekerasan terhadap orang-orang lansia adalah besarnya tekanan dalam hidup pelaku. Seiring bertambahnya umur, kebutuhan seseorang pun akan merangkak naik. Tak jarang tuntutan dalam hidup membuatnya depresi. Ditambah dependensi atau permintaan-permintaan dari orang-orang tua, pelaku pun dapat semakin terpicu untuk meledak dan melakukan perundungan terhadap mereka.
Ketiga, tidak semua anak atau pelaku memiliki kesadaran atau pengetahuan tentang situasi psikologis orang-orang tua. Ketiadaan kesadaran mengenai proses penuaan inilah yang memungkinkan terjadinya perlakuan buruk terhadap lansia, baik secara fisik maupun mental.
Dalam sejumlah studi juga ditemukan bahwa pelaku perundungan terhadap lansia sering kali menderita gangguan mental dan emosional, alkoholisme, ketergantungan obat-obatan, dan kesulitan finansial. Masalah-masalah tersebut membuat anak tak bisa lepas dari sokongan orangtua. Ketika orangtua memasuki usia senja dan tak lagi mampu menyokong mereka, kecenderungan memperlakukan orangtua dengan buruk pun dapat timbul karena anak-anak ini tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti