tirto.id - Jenderal senior Myanmar sekaligus dalang kudeta Min Aung Hlaing akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta pada 24 April. Informasi ini dikonfirmasi juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, Sabtu (17/4/2021) waktu setempat.
Jika terealisasi, itu kunjungan luar negeri pertamanya sejak kudeta pada 1 Februari lalu.
Rencana kedatangannya dikritisi oleh kelompok masyarakat sipil hingga aktivis hak asasi manusia (HAM). Asia Justice and Rights (AJAR), misalnya, menilai kehadiran Hlaing perlu dikritisi lantaran manuver berdarahnya telah menelan banyak korban. Kudeta Hlaing terhadap pemerintahan terpilih yang dipimpin kelompok pro-demokrasi Aung San Suu Kyi setidaknya telah mengakibatkan 737 warga tewas per Senin kemarin, menurut Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) Burma.
Belum lagi kejahatan kemanusiaan terhadap kelompok etnis di Myanmar seperti Kachin dan Rohingya.
AJAR mendesak negara-negara ASEAN mengambil sikap tegas untuk menekan junta militer Myanmar menghormati nilai demokrasi sebagaimana tujuan Piagam ASEAN.
"Kami juga meminta Indonesia untuk mengambil langkah mendorong tekanan lebih berarti terhadap pemerintahan junta," kata anggota AJAR, Aghniadi.
Peneliti dari Human Rights Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan ada beberapa langkah alternatif yang dapat dan perlu dilakukan pemerintah Indonesia dalam merespons kedatangan Hlaing—apalagi Indonesia termasuk yang mengecam kudeta bersama Malaysia.
Salah satunya mengeluarkan targeted sanctionkepada perusahaan-perusahaan Indonesia yang beroperasi di Myanmar untuk tidak bekerja sama dengan perusahaan yang terafiliasi dengan militer.
"Itu akan menekan para jenderal. Ada kelompok-kelompok bisnis Indonesia yang beroperasi di Myanmar, termasuk Astra dan Indofood. Mereka diminta untuk tidak kerja sama dengan perusahaan militer mana pun di dalam Myanmar. Banyak sekali bisnis militer di sana," kata Andreas. "Bukan dilarang bekerja di Myanmar, tapi dilarang bekerja sama dengan bisnis militer."
Ini penting karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ekonomi Myanmar bergantung pada bisnis-bisnis yang dikuasai militer. Bahkan, salah satu ambisi Hlaing melakukan kudeta adalah melanggengkan bisnis militer. Mereka takut pendapatannya menurun jika negara dikuasai pemerintahan sipil.
Cara lain lebih konvensional adalah mendorong ASEAN berbuat lebih konkret, ujar Andreas. "Ini akan memperumit posisi antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Kalau ASEAN enggak mau bertindak terhadap Myanmar, berarti memilih ke garis Beijing. Sedangkan Amerika Serikat jelas melakukan sanksi, sementara Beijing enggak mau."
Andreas juga mendesak pemerintah Indonesia menekan junta untuk membebaskan para tahanan politik.
Indonesia juga harus mendesak Myanmar membuka akses PBB ke negara bagian Rakhine—tempat para etnis Rohingya direpresi. "Bukan untuk membandingkan, tapi memang peristiwa pembantaian Rohingya itu lebih besar korbannya ketimbang kudeta. Dan ini pelakunya sama: militer Myanmar. Jangan lupa masih ada persoalan Rohingya. Bebal sekali militer Myanmar," kata dia.
Pada akhirnya, dia meminta pemerintah Indonesia sama sekali tidak memberi izin Min Aung Hlaing menginjakkan kaki ke Jakarta.
"Delegasi Myanmar lain boleh masuk, tapi bukan jenderal-jenderal senior tersebut, termasuk Ming Aing Hlaing. Dia bertanggung jawab bukan saja terhadap kudeta tapi pembantaian orang-orang Rohingya."
KTT pada 24 April cukup unik karena khusus membahas masalah dalam negeri anggotanya, kata pengajar hubungan internasional Univeritas Pelita Harapan (UPH) Yosef Djakababa. Disebut unik karena ASEAN mengakui prinsip non-interference dan consensus building yang memberi batas pembahasan khusus sebuah negara agar tidak dianggap intervensi.
"Hampir tidak pernah ada masalah dalam negeri anggota ASEAN yang kemudian memicu KTT secara khusus," kata Yosef. "Kendati beberapa pihak menyebut cenderung intervensi dan menyalahi ‘ASEAN Way’, tapi di sisi lain perlu juga... karena Myanmar adalah anggota kita."
Terlepas dari keunikan tersebut, informasi kehadiran Hlaing untuk datang ke KTT ASEAN di Jakarta akhir pekan ini sebenarnya masih simpang siur karena sumbernya hanya dari pemerintah Thailand. "Kita enggak tahu betul dia mau datang atau enggak. Ketika dikonfirmasi mereka, mereka enggak menjawab," kata Yosef.
Para politisi pro-demokrasi dan anggota parlemen Myanmar, termasuk Suu Kyi dan para pemimpin protes anti-kudeta dan etnis minoritas, mengumumkan pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG). NUG menghendaki pengakuan internasional sebagai otoritas Myanmar yang sah dan karenanya mendesak ASEAN menolak kedatangan Min Aung Hlaing dan mengundang mereka dalam KTT.
Aksi 'Gowes for Democracy'
Reaksi lain datang dari sejumlah kelompok masyarakat yang menamakan diri Milk Tes Alliance. Mereka melakukan aksi yang cukup unik, yaitu menggelar 'Gowes for Democracy' sebagai bentuk solidaritas untuk rakyat Myanmar, termasuk ke depan Kedubes Myanmar di Jakarta beberapa hari lalu.
Beberapa organisasi HAM yang mendukung aksi ini meliputi Asia Democracy Network (ADN), AJAR, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Hakasasi.id, Human Rights Working Group (HRWG), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Aksi ini sekaligus merespons eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM oleh junta militer yang terus berlangsung di Myanmar.
"Kami masyarakat Indonesia mengecam kudeta ini dan menuntut agar militer Myanmar [Tatmadaw] segera mengakhiri kekerasan dan mengembalikan demokrasi sesuai dengan keinginan rakyat Myanmar," kata perwakilan massa Safina Maulida dalam keterangan tertulisnya.
Menurut mereka, militer Myanmar menggunakan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa prodemokrasi dan bahkan warga sipil yang tak terlibat demonstrasi. Banyak terjadi pelanggaran HAM seperti penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, pembatasan kebebasan berekspresi termasuk pemutusan akses internet. Baru-baru ini, kata Safina, ada indikasi pasukan Myanmar menggunakan persenjataan dan taktik militer di medan pertempuran untuk menangani para demonstran dan warga sipil.
Aksi 'Gowes for Democracy' turut mengimbau masyarakat Indonesia di mana pun untuk menunjukkan solidaritasnya dengan cara apa pun yang dapat dilakukan, baik daring maupun langsung.
"Koalisi mengajak masyarakat untuk bergabung dengan lebih banyak aksi solidaritas serta menggalang dukungan dengan mengirimkan surat, kartu pos ke kontak PBB atau ASEAN, atau kontak media melalui kampanye media sosial," pungkasnya.
==========
Adendum:
Naskah ini mengalami perubahan judul dari sebelumnnya: Mengecam Kedatangan Jenderal Pembunuh Kudeta Myanmar ke Jakarta. Kami mengubahnya agar tak membuat bingung pembaca.
Penulis: Riyan Setiawan & Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino