Menuju konten utama

Mengapa Nama-Nama Populer Terancam Gagal Masuk Parlemen?

Terdapat sejumlah faktor mengapa seorang tokoh populer bisa gagal ke parlemen. Salah satunya karena ketenaran seseorang kerap tak berbanding lurus dengan elektabilitas.

Mengapa Nama-Nama Populer Terancam Gagal Masuk Parlemen?
Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) menyegel amplop yang berisi surat suara sebelum didistribusikan ke kelurahan di gudang logistik KPU Jakarta Pusat, GOR Kemayoran, Jakarta, Selasa (16/4/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi.

tirto.id - Sejumlah nama populer diprediksi gagal di Pemilu 2019. Mereka yang sudah kadung tenar dan wara-wiri di media nasional belum tentu beruntung menuju parlemen, lantaran tak semua masyarakat sukarela memilih mereka.

Para pesohor yang nyaleg ini datang dari beragam latar belakang. Ada yang kader-kader murni partai politik, mahasiswa yang memulai debut di politik elektoral, atau bahkan para selebritas yang namanya sudah populer di masyarakat.

Salah satunya Maruarar Sirait dari PDI Perjuangan, yang maju sebagai caleg di Dapil Jawa Barat III. Kendati namanya tenar sebagai salah satu influencer Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, tapi ia terancam gagal melenggang ke Senayan.

Faktornya bisa saja karena ia berada di "dapil neraka" atau kudu berhadapan dengan sejumlah caleg lain yang juga punya nama tenar dan pengaruh. Sebut saja Ahmad Riza Patria dari Gerindra, Syarifuddin Hasan dari Partai Demokrat, atau Eddy Soeparno dari PAN.

Begitu juga dengan Budiman Sudjatmiko. Mantan aktivis PRD yang dua periode duduk di parlemen dari PDIP ini juga terancam gagal ke Senayan lewat Dapil Jawa Timur VII--yang meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi--karena beratnya persaingan. Mereka yang menjadi saingannya adalah Johan Budi S.P. (PDIP), Edhi Baskoro Yudhoyono (Demokrat), dan Jessica Herliani Tanoesoedibjo (Perindo).

Namun, Kepala Badan Saksi Pemilu Nasional (BSPN) DPP PDI Perjuangan, Arif Wibowo belum mau memberikan konfirmasi apakah Maruarar dan Budiman tidak lolos ke Senayan.

"Belum bisa disampaikan sebelum data memenuhi syarat untuk proporsionalitasnya dalam real count," kata Arif saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa sore (30/4/2019).

Debut perdana 'corong politik' Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga dan Partai Demokrat, Ferdianand Hutahean juga tak berjalan mulus. Ia berada di dapil Jawa Barat V, yang banyak pesaing keras: salah duanya adalah Fadli Zon (Gerindra) dan Andian Napitupulu (PDI).

Beberapa caleg lainnya yang berpotensi gagal adalah politikus Demokrat, Jansen Sitindaon di Dapil Sumatera Utara III, Tsamara Amany (PSI) di Dapil DKI Jakarta II, dan Faldo Maldini (PAN) di Dapil Jawa Barat V. Ketiga orang ini padahal sudah kerap muncul di media nasional selama gelaran Pemilu 2019.

Jansen mengatakan, pertarungan di dapilnya memang agak sulit. Sebab, selain karena termasuk 'dapil neraka', ada faktor lain yang membuat dirinya berpotensi kalah.

"Tapi ini, kan, masih suara sementara. Saya satu dapil, kan, dengan Bang Hinca [Pandjaitan]," kata Jansen kepada reporter Tirto.

Tak hanya yang murni sebagai kader partai, beberapa selebritas yang mencoba peruntungannya di Pemilu 2019 juga banyak yang kurang berutung dan berpotensi gagal berkantor di DPR RI.

Salah satu contohnya adalah Choky Sitohang dan Giring "Nidji" Ganesha di Dapil Jawa Barat I, Sultan Djorghi di Dapil Jawa Barat VIII, Charly Van Houten di Dapil Jawa Barat IX, dan Angel Lelga di Dapil Jawa Barat VII.

Mereka adalah nama-nama yang sudah moncer di televisi berkat bakat-bakat mereka sebagai penyanyi, aktor, hingga pembawa acara.

Ketua Bappilu PSI, Endang Tirtana mengatakan Giring dan Tsamara seharusnya bisa lolos ke DPR seandainya partai nomor urut 11 ini bisa melewati ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

"Kalau menurut QC [quick count] di semua dapil yang Anda tanyakan [Jawa Barat I dan DKI Jakarta II] itu, PSI lolos dan memperoleh kursi. [Tapi] Kami masih menunggu rekap kecamatan yang masih sedang berlangsung di tiap kecamatan," kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Mengapa Orang Tenar Bisa Kalah?

Pengajar ilmu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, melihat beberapa faktor jadi penentu seorang tokoh tenar bisa gagal ke parlemen. Salah satunya karena ketenaran seseorang kerap tak berbanding lurus dengan elektabilitas.

"Mungkin bisa karena elektabilitasnya rendah. Tingkat popularitas tidak berbanding lurus dengan elektabilitas," kata Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (30/4/2019).

Ujang menambahkan "jadi yang populer belum tentu terpilih. Elektabilitas rendah itu bisa saja karena faktor pindah dapil. Seperti Maruarar Sirait, yang biasanya selalu menjadi caleg di Dapil Jabar IX meliputi Subang, Majalengka, Sumedang, pada Pileg 2019 dipindah ke dapil lain."

Faktor lain, kata Ujang, bisa jadi karena para caleg tenar justru jarang menyapa rakyat di akar rumput. Mereka memang bisa dibilang populer karena media, tapi secara komunikasi sosial bisa saja kurang.

Ujang menambahkan, faktor lain adalah karena partai pengusung gagal menembus ambang batas parlemen sebesar 4 persen, seperti PSI.

"Artinya, caleg dari PSI seperti Giring Nidji, Tsamara Amani, dan lain-lainnya otomatis tidak lolos ke Senayan," kata Ujang.

Hal serupa juga diungkapkan pengajar politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arya Budi. Ia menilai keterkenalan seseorang lewat medium-medium besar tak serta merta bisa dikonversi menjadi suara elektoral di akar rumput.

"Kenapa demikian? Ada yang sebagian dikenal di media, tapi di akar rumput tidak, terutama di wilayah pedesaan dan media kurang penetrasi," kata Arya.

Faktor lainnya, menurut Arya, adalah ketidaksukaan. Ia menilai beberapa tokoh terkenal dan tenar belum tentu disukai orang banyak.

"Bisa saja masyarakat tidak suka meski terkenal, apalagi banyak masyarakat yang lebih preferensinya suka ke pengusaha atau tokoh agama," kata Arya.

Akar Rumput Tidak Mendukung

Salah satu caleg DPR RI Dapil Sumatera Utara III, Jansen Sitindaon bercerita kegagalan dirinya gagal masuk ke Senayan merupakan imbas dari Pilpres 2019 yang membikin sebuah dapil jadi menguat pada afiliasi politik tertentu.

"Kalau di dapil yang afiliasinya ke 01, jelas caleg 02 pasti kalah, padahal seharusnya masyarakat bisa membedakan mana Pilpres dan mana Pileg," kata Jansen.

Jansen mencontohkan dapilnya yang meliputi lima kabupaten dan punya basis suara terkuat untuk 01. Bahkan, kata Jansen, di kampung halaman dia sendiri di Sidikalang, lawan politiknya dari PDIP, yaitu Djarot Syaiful Hidayat, mendapat suara jauh lebih banyak dan melimpah ketimbang dirinya.

"Mungkin ini karena faktor aku lebih banyak jadi corong BPN dan 02 selama ini. Masyarakat yang dukung Jokowi jadi benci ke aku. Ada fanatisme sendiri di politik kita hari ini, padahal Pilpres dan Pileg adalah dua hal yang berbeda," kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz