tirto.id - Sepanjang kekuasan Orde Baru, Golkar tak pernah terkalahkan. Semenjak debutnya pada Pemilu 1971, sumber kekuatan politik Soeharto ini hampir selalu mengantongi suara dominan. Sampai lengsernya Orde Baru pada Mei 1998, Golkar hampir selalu dipastikan memperoleh lebih dari 55% suara.
Dominasi politik partai berlambang pohon beringin ini tidak lain berkat senjata kampanye paling ampuh yang sudah digunakan sejak Pemilu 1971: artis-artis populer. Mereka hadir pada kampanye terbuka maupun kampanye di TVRI dan RRI yang mulai digagas sejak Pemilu 1992.
Menurut pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga dalam Kompas (15/8/1991), seiring media kampanye yang kian maju pada Pemilu 1992, partai-partai politik membutuhkan perubahan karakteristik kampanye dari pawai akbar ke lambang non-verbal (komunikasi yang dipraktikkan tanpa menggunakan Bahasa).
“Untuk itu, setiap partai perlu memilih juru kampanye (jurkam) yang mampu mengoptimalkan lambang non-verbal. Ini penting, karena berhasilnya jurkam tergantung sejauh mana ia mampu memanipulasi lambang non-verbal," tulis Ritonga.
Kendati demikian, artis atau seniman yang ditarik ke ranah politik untuk menjadi juru kampanye pemilu bukanlah produk Orde Baru. Jennifer Lindsay dalam “The Performance Factor in Indonesian Elections” yang terangkum dalam buku Elections as Popular Culture in Asia (2007) mencatat bahwa pemanfaatan tenaga artis dan seniman sudah lebih dahulu dilakukan selama masa pemerintahan Soekarno.
Saat itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dikenal sebagai tulang punggung aktivitas kampanye PKI, (Hlm. 61) jauh sebelum televisi dilirik sebagai media kampanye yang ampuh.
Tim Safari Golkar
Artis yang berpolitik nampaknya belum menjadi profesi yang populer di masa Orde Baru. Alih-alih mendulang suara, para artis lebih banyak berperan menggalang suara bagi para caleg-caleg Golkar di seluruh wilayah di Indonesia.
Menurut catatan Lindsay, pada 1971 dibentuklah Organisasi Artis Safari Golkar. Tim ini dibentuk oleh Edy Soed, Bing Slamet, dan Bucuk Soeharto dengan tujuan mengajak artis-artis keliling berkampanye. Sepanjang musim kampanye 1971, tim Safari berhasil merekrut 324 artis yang terdiri dari seniman, komedian, penyanyi dan musisi kondang dari Jakarta. Mereka dikumpulkan untuk mengkampanyekan ideologi politik Golkar ke seluruh provinsi.
Kelak, lewat tangan dingin Edy Soed pula, lahirlah program Aneka Ria Safari yang tayang di TVRI dan melambungkan nama-nama seperti Arie Wibowo hingga Meriam Bellina.
Tak tanggung-tanggung, dana kampanye yang besar digelontorkan untuk membiayai perjalanan artis-artis. Menurut laporan Tempo (9/4/1977), partai dengan warna identitas kuning itu bahkan pernah menyewa 14 pesawat khusus untuk memobilisasi artis-artis selama beberapa bulan berkampanye di luar Jawa.
Di daerah, biasanya tim Safari akan dibantu oleh artis-artis lokal untuk menghibur publik. Di penghujung pertunjukan, para politisi baru akan menyampaikan pidato-pidato yang berkaitan dengan pemilihan umum. Melalui langkah ini, Golkar berhasil menarik dukungan spontan dari para penonton.
Pengaruh tim Safari Golkar semakin masif beriringan dengan industri televisi dan perfilman yang kian maju. Didukung bujet yang besar, Golkar mampu membiayai artis-artisnya untuk muncul di acara-acara televisi dan radio selama musim Pemilu 1977, sementara rival-rival politiknya yang lain dilarang berkampanye di televisi.
Melanjutkan Organisasi Artis Safari, dikemudian hari turut dibentuk perusahaan film Safari Sinar Sakti dan sebuah acara TVRI bertajuk Aneka Ria Safari. Artis-artis yang tergabung ke dalam organisasi memiliki kemungkinan besar untuk diajak bermain film atau manggung di televisi.
Rhoma Irama: Dari PPP ke Golkar
Tim Safari Golar akhirnya mendapatkan lawan sepadan pada Pemilu 1977. PPP mulai meniru cara Golkar menggalang suara melalui hiburan, khususnya bagi masyarakat kelas bawah. Partai berhaluan Islam itu berhasil menggandeng Raja Dangdut Rhoma Irama sebagai juru kampanye.
“Dangdut, suatu bentuk musik populer yang memadukan unsur-unsur musik India, Timur Tengah, dan Barat, dapat bersifat religius (dalam bingkai Islam) […] bagus untuk bernyanyi dan menari bersama, dan juga dianggap sebagai milik kelas bawah,” tulis Lindsay.
Sayangnya, keikutsertaan Rhoma dalam kampanye PPP tak berlangsung lama. Menurut Andrew N. Weintraub dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music (2010), sejak tahun 1977 hingga 1988, Rhoma tidak diperbolehkan manggung di acara-acara televisi. Padahal, artis-artis dangdut lain yang tidak condong PPP secara berkala masih bernyanyi dalam acara Aneka Ria Safari di TVRI. (Hlm. 143-144).
Kembalinya Rhoma ke layar kaca, lanjut Weintraub, terjadi berkat mengendurnya pengaruh Orde Baru terhadap Islam. Politisi, khususnya yang berasal dari Golkar, mulai mendukung dangdut. Dari sinilah manuver kampanye Golkar juga bergerak ke arah yang sama dengan PPP. Semenjak tahun 1982, baik PPP maupun Golkar sama-sama menjadikan musik dangdut sebagai penarik suara dalam pemilu. (Hlm. 172)
Rhoma Irama kembali ke layar kaca di tahun 1988. Tak butuh waktu lama sampai ia dilirik Golkar menjadi juru kampanye di televisi. Bersama kepindahannya ke Partai Pemerintah, Rhoma berhasil mengalihkan dukungan dari PPP ke Golkar menjelang Pemilu 1992.
Tak hanya jadi juru kampanye, Rhoma akhirnya juga melaju menjadi anggota DPR sebagai Utusan Golongan mewakili seniman dalam Pemilu 1992. Artis lain yang turut melenggang ke Senayan di antaranya Sophan Sophiaan mewakili PDI.
Selain Rhoma Irama dan Sophan Sophiaan, masih banyak artis-artis lain yang terlibat pusaran politik Pemilu 1992. Sebagian besar di antara mereka berprofesi sebagai penyanyi, pelawak dan pemain film.
Seperti halnya pola mobilisasi artis dalam kampanye Pemilu 1971, tim artis Pemilu 1992 juga disebar ke dalam kelompok-kelompok untuk menghibur massa dalam perhelatan politik Golkar. Bahkan dalam struktur organisasi kampanye Golkar terdapat pula posisi Penanggung Jawab Tim Artis.
Menurut buku Pemilu 1992: Harapan dan Janji (1992), orang yang bertanggung jawab mengatur penyaluran tim artis ke provinsi lain kala itu ialah Ir. Harsojo. Dalam keterangannya kepada surat kabar Pembaruan, Harsojo menuturkan bahwa tim artis yang akan ditampilkan di Jawa Tengah pada Pemilu 1992 terdiri dari Titik Noer, Ceti Camira, Aya Soraya, Vonie Pemi Haryono. Mereka akan berkolaborasi dengan para pelawak dan sejumlah grup band lokal. (Hlm. 27)
Baik kampanye terbuka maupun kampanye Golkar di televisi, keduanya turut menyumbang perolehan suara dalam Pemilu 1992. Meskipun persentasenya menurun, Golkar berhasil memperoleh 66,5 juta suara atau 68,10 persen. Itu lebih tinggi 4 juta suara dibanding pemilu sebelumnya. Golkar kembali menjadi pemenang pemilihan umum untuk kelima kalinya dan mempertahankan Soeharto di tampuk kekuasaannya.
Editor: Nuran Wibisono