tirto.id - Seorang teman sempat kelimpungan mencari persediaan darah A rhesus negatif untuk ayahnya. Persediaan di rumah sakit habis. Untunglah jenis tersebut tersedia di Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat. Tapi, untuk menebus darah donor, ia harus menebus sebesar Rp 360 ribu per kantong.
“Kita kalau donor darah, kan, gratis, tapi kenapa saat membutuhkan harus bayar?” ia bertanya.
Pemrosesan Darah
Sejatinya, uang sebesar Rp 360 ribu yang dibebankan kepada penerima darah donor bukanlah “harga jual” darah seperti yang sering disematkan publik. Angka tersebut merupakan Biaya Pengganti Proses Pengolahan Darah (BPPD) yang meliputi biaya-biaya terkait proses pengolahan darah sebelum bisa didistribusikan ke pasien.
Sebab, darah tak bisa langsung digunakan begitu saja seperti saat pertama kali diambil dari pendonornya. Harus ada tahapan-tahapan proses yang dilalui untuk menjadikan darah tersebut aman digunakan. Selain itu, darah juga terdiri dari beberapa komponen yang tidak semuanya dibutuhkan pasien.
Sebelum darah bisa digunakan, alur pengolahannya dimulai dari proses pengambilan darah dari donor. Dari proses itu saja sudah dikeluarkan biaya guna formulir calon donor, kapas, alat untuk mengecek HB donor, selang, serta kantong penyimpanan darah.
“Jarumnya hanya boleh sekali pakai, lalu kantong darahnya kita [Indonesia] belum bisa buat sendiri, masih impor dari Singapura. Itu butuh biaya,” terang Loka Widjaya, Humas UTD PMI Pusat kepada Tirto.
Langkah mendonorkan darah dimulai dari pemeriksaan. Donor akan ditusuk jarinya, sampel darah yang keluar dimasukkan pada dua tabung. Tabung pertama untuk mengetahui golongan darah dan rhesus dan tabung kedua untuk tes parameter penyakit.
PMI menggunakan metode deteksi ELISA dan Nucleic Acid Testing (NAT) agar terhindar dari empat penyakit menular, yakni hepatitis, sifilis, HIV/AIDS, dan malaria. Salah satu siklus hidup virus yang disebut masa jendela membuat mereka menjadi tidak aktif dan sulit dideteksi.
Dengan NAT, siklus hidup ini dapat diperpendek masanya dari beberapa bulan menjadi hanya beberapa hari saja. Sehingga lebih akurat untuk mendeteksi virus dalam masa jendela. Dan PMI telah menjamin darah yang diberikan pasien dapat digunakan secara aman.
Setelah melewati tes parameter penyakit, donor akan diambil darahnya sebanyak satu kantong. Lalu disentrifugasi dan komponen darah akan terpisah otomatis menjadi plasma darah, sel darah merah, serta trombosit yang diletakkan pada masing-masing kantong terpisah.
“Jual-beli darah itu tidak ada, uang sebesar Rp 360 ribu per kantong darah untuk biaya ganti keseluruhan proses tersebut. Karena pasien butuh komponen darah yang beda-beda, bukan satu kantong darah utuh.”
Misalnya saja, pasien yang terkena DBD, maka darah yang diberikan adalah jenis trombosit. Sementara untuk pasien thalasemi, maka akan diberikan kantung sel darah merah. Darah tidak diberikan secara untuk karena tubuh akan memberikan reaksi penolakan.
Darah Lebih Mahal di RS
Selain dari PMI, pasien yang membutuhkan darah juga dapat mencari darah donor di Rumah Sakit yang memiliki unit transfusi darah atau bank darah RS. Namun, seringkali, darah yang didapatkan dari RS malah jauh lebih mahal dari pada yang didapatkan dari PMI. Mengapa?
Ternyata, walaupun darah yang diterima dari RS merupakan pasokan darah dari PMI dan sudah dijamin aman digunakan. Namun, pihak RS masih menerapkan standar ganda yakni dengan melakukan screening ulang darah.
Hal ini dilakukan lantaran SOP RS menjamin kualitas darah yang diberikan kepada pasien benar-benar terjaga. Biaya darah donor RS juga akan semakin mahal apabila pasien membutuhkan darah cepat, dan hanya mengambil komponen tertentu dari donor.
Pengambilan darah dengan cara tersebut dinamakan apheresis. Yakni penerapan teknologi medis berupa proses pengambilan salah satu komponen darah dari pendonor melalui suatu alat atau mesin apheresis. Pada prosedur donor apheresis, komponen darah yang diambil hanyalah komponen yang diperlukan, misalnya platelet atau trombosit.
Sementara komponen darah lainnya dikembalikan lagi kedalam tubuh donor saat itu juga. Dengan keadaan seperti itu, sekantung komponen darah bisa dibebankan biaya sebesar Rp 3-4 juta.
“Misal kita ambil trombosit, dari sekantung darah yang isinya 350 ml, hanya jadi hanya sekitar 10 ml, sedikit sekali. Apalagi trombosit juga perlu tempat penyimpanan khusus yang terus berputar agar tidak rusak dan umurnya hanya bertahan selama 4 jam.”
Jadi, semisal dalam waktu 4 jam trombosit donor tidak segera disalurkan maka komponen tersebut harus segera dimusnahkan. Perlu diketahui, setiap komponen darah juga memiliki umur pakai, jika darah sudah dianggap tidak layak maka dilakukan prosedur pemusnahan yang tidak sembarangan. Tentu dalam pemusnahan ini juga dibebankan biaya operasional.
“Ada perlakuan khusus pada sekantong darah, suhunya harus tetap terjaga. Tidak bisa sembarangan kita kasih ke pasien,” katanya.
Nah, jangan lagi berpikir PMI memperjualbelikan darah yang didapat secara gratis. Karena ada biaya pengolahan darah di dalamnya sebelum siap dipakai.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani