tirto.id - “Suatu waktu,” tutur CEO Kodak George Fisher, “Cina akan menjadi pasar fotografi terbesar di dunia.”
Pada Maret 1998 silam, di bawah kepemimpinan Fisher, Kodak mengucurkan uang senilai $1 miliar guna mendirikan dua perusahaan fotografi baru di Cina; Kodak China Co. Ltd. dan Kodak Wuxi Co. Ltd. Kedua perusahaan lokal Cina milik Kodak itu rencananya akan fokus menciptakan produk-produk kamera mumpuni di ranah fotografi film, bukan digital. Alasan pendirian dua perusahaan adalah potensi yang besar: kurang dari 1 di setiap 10 rumah tangga Cina memiliki kamera pada dekade 1990-an.
Lambat laun, prediksi Fisher benar. Sebagaimana dipublikasikan Statista, Cina adalah pasar fotografi terbesar di dunia saat ini. Pada 2020 ini, total pendapatan penjualan produk kamera digital di Cina diprediksi akan menyentuh nilai $5,6 miliar, alias yang paling besar di seluruh dunia.
Prediksinya memang benar. Namun, karena Kodak memilih berinvestasi untuk fotografi film seluloid dan bukan digital, investasi besar Kodak di Cina menguap begitu saja seiring menguapnya bisnis fotografi Kodak secara keseluruhan. Yang lebih ironis, besarnya pasar fotografi Cina tidak ditangkap pemain-pemain lokal, tetapi dinikmati oleh Canon, Nikon, Sony, dan perusahaan-perusahaan non-Cina lainnya. Meskipun tidak ada data komprehensif soal pangsa pasar kamera di Cina, pasar Asia Pasifik (termasuk Cina di dalamnya) menyumbang 22,5 persen total pendapatan Canon, menurut Laporan Keuangan Canon 2019. Canon mendulang 466,3 miliar Yen dari bisnis berjualan kamera digital.
Keniscayaan ini berbanding terbalik dengan pasar produk teknologi lain. Ponsel contohnya. Merujuk Statista, bisnis ponsel di Cina diperkirakan mendulang pendapatan hingga $118 miliar di tahun 2020 ini alias yang terbesar di dunia. Data Statista lain menyebut bahwa besarnya pundi-pundi bisnis ponsel di Cina dinikmati pemain-pemain lokal. Dari lima produsen ponsel peraih pangsa pasar terbesar di Cina, empat diduduki pemain lokal, dengan Huawei sebagai jawaranya yang mendulang 42,6 persen pangsa pasar pada kuartal 1-2020. Pemain asing yang sukses hanya Apple.
Kembali ke soal kamera, mengapa Cina gagal?
Dunia yang Dikuasai Jepang
Pada tahun 1920, George Eastman, pendiri Kodak, mengunjungi Jepang atas undangan Baron Mitsui, salah satu konglomerat Jepang kala itu. Di Jepang, sebagaimana diceritakan Kerry Ross dalam bukunya berjudul “Photography For Everyone: The Cultural Lives of Cameras and Consumers In Early Twentieth-Century Japan,” Eastman terkesima dengan antusiasme masyarakat Jepang terhadap fotografi. “Orang-orang Jepang memiliki kecanduan terhadap fotografi yang sama tingginya dengan (orang-orang) Kodak,” ujarnya.
Pada tahun ketika Eastman berkunjung Jepang, toko-toko yang menjual segala keperluan terkait fotografi, entah kamera, film seluloid, atau produk apapun, dalam kondisi baru maupun bekas mudah ditemui. Namun, yang tidak diketahui Eastman, sebagaimana dituturkan Ross, toko fotografi di Jepang telah eksis lebih dari lima dekade sebelum kunjungan Eastman.
Landon Carter, dalam studinya yang berjudul “The History of the Japanese Optical Industry and Relationship to World Events,” menegaskan bahwa dunia fotografi Jepang dapat ditarik hingga abad ke-20. Kala itu, tatkala Kaisar Mutsuhito menggulirkan Restorasi Meiji (1868-1912) demi kejayaan Jepang, ia berusaha menangkap pengetahun-pengetahuan asing masuk ke Jepang. Selain mendatangkan orang-orang pintar, Jepang juga mengirimkan pemuda-pemudanya belajar ke luar negeri. Salah satu bidang yang digarap adalah fotografi.
Pada 1906, institusi riset optik pertama Jepang lahir di Tokyo. Satu dekade kemudian, lahirlah salah satu perusahaan yang paling kesohor di bidang fotografi, Nikon. Bisnis ini menggabungkan perusahaan-perusahaan optik sebelumnya, yakni Nippon Kōgaku Kōgyō Kabushikigaisha, Iwaki Glass Seisaku-sho, Fujii Lens Seizo-sho, dan Tokyo Keiki Seisaku-sho. Menurut Carter, karena militer Jepang butuh produk-produk optik, perusahaan seperti Nikon mendulang uang yang besar sehingga mampu melakukan riset lebih dalam di dunia fotografi, Mereka bahkan membajak insinyur-insinyur luar yang hebat untuk bekerjasama, misalnya mendatangkan delapan ahli optik Leica pada 1919.
Ya, Jepang memang sangat berminat terhadap dunia fotografi, dan peminat terbesarnya tak lain adalah pihak yang memiliki duit tak terbatas: militer. Selain membutuhkan binokular untuk meneropong musuh, militer juga butuh kamera untuk propaganda.
Kembali merujuk Ross, fotografi adalah jantung propaganda Jepang, khususnya di Perang Dunia II. Fotografi menjadi “sarana penting untuk mengkomunikasikan kegiatan masa perang Jepang kepada para penonton di depan rumah”. Kamera membantu rakyat Jepang bahwa segala tindakan Jepang berperang, menjajah, adalah benar semata.
Setelah perang usai, muncul majalah-majalah fotografi yang memantik minat masyarakat untuk jatuh hati pada foto, misalnya Nihon Kobo, FRONT, dan Koga--semacam LIFE Magazine-nya Jepang.
Dengan minat fotografi yang begitu besar khususnya sejak lahirnya Allied General Headquarters, Jepang gila-gilaan mengekspor (sekaligus mengamankan pasar domestik) produk fotografi ke seluruh dunia.
Pundi-pundi perusahaan-perusahaan fotografi Jepang cemerlang. Riset fotografi digalakkan lebih masif. Pada 1971, misalnya, NASA memilih menggunakan kamera Nikon F dalam misi Apollo mereka. Lagi-lagi, inilah salah satu bukti superioritas fotografi Jepang.
Singkat cerita, Cina tidak memiliki keunggulan sejarah ini. Kamera pada dasarnya bukan ponsel dan hanya menyediakan segmen yang relatif lebih kecil untuk pengembangan. Soal ponsel, pengembangan dapat dilihat dari kekuatan prosesor, desain, layar, dan sistem operasi. Ketika ponsel hanya sebatas fasilitas untuk telepon dan SMS, perusahaan baru dapat menyalip dengan merilis ponsel Java. Ketika Java dianggap ketinggalan, perusahaan lain dapat melahirkan ponsel Symbian. Dan ketika Symbian sudah tak sanggup mengakomodasi penggunanya, lahirlah Android yang diusung perusahaan lain. Fotografi punya ceruk lebih kecil, yang membuat pemain-pemain lama lebih bisa bertahan.
Tak heran Nikon, Canon, Sony, Fujifilm, Pentax, hingga Olympus dapat bertahan.
Lalu, apa yang kini dilakukan Cina? Menyasar segmen yang lebih spesifik. Segmen-segmen yang terasa dihiraukan pemain-pemain fotografi lama.
Pada 2006, misalnya, Frank Wang mendirikan DJI, perusahaan yang fokus menggarap drone (pesawat nir-awak) aerial photography/videography (fotografi/videografi udara) dan kamera aksi. Pada 2014, didirikan oleh Sean Da, Yi Technology lahir menggarap segmen kamera-kamera yang berhubungan dengan smart home.
Untuk pasar kamera umum, Cina menapaki jalan terjalnya melalui Meike, Viltrox, Neewee, dan 7Artisans, perusahaan-perusahaan yang menggarap lensa kamera.
Editor: Windu Jusuf