tirto.id - House of Om, Ubud, Bali, bukan satu-satunya institusi yoga dan meditasi yang menyelenggarakan perkumpulan dan melanggar kebijakan penjarakan fisik pada masa pandemi. Ada ruang yoga dan meditasi lain berskala kecil yang masih menyelenggarakan praktik meditasi bersama secara langsung beberapa waktu setelah kasus pelanggaran House of Om ramai diangkat oleh media.
Kesaksian tersebut saya dapat dari seorang kawan, seorang perantau yang tinggal di Ubud selama tujuh tahun terakhir dan bekerja di sektor industri kreatif. Ia yang menolak disebut namanya--sebut saja R--mengaku mendengar sekumpulan orang sedang melakukan chanting di sebuah villa. Aktivitas itu kemudian mendapat teguran dari penjaga desa setempat. Selain itu R masih menemukan kasus serupa di tempat dan waktu berbeda. Namun, saat itu ia tidak melihat adanya teguran dari penjaga desa setempat.
“Beberapa orang dari kelompok new age di sekitar saya masih percaya bahwa Covid-19 ini hanyalah perkara ketakutan dan cara pandang jadi tidak perlu dianggap serius. Mereka menganggap pandemi ini bagian dari narasi konspirasi,” katanya via telepon pada Selasa (30/6).
Menurut R, keputusan pemerintah mendeportasi pemilik House of Om adalah langkah terbesar yang dilakukan dalam memerangi pelanggaran pembatasan jarak di Ubud. Tetapi di mata R penjarakan fisik (physical distancing) di Bali akan sulit diterapkan bila pemerintah setempat tidak membuat dan menjaga ketat aturan terkait hal itu.
Ia pun melihat masyarakat lokal Bali masih berkumpul dalam upacara pernikahan maupun pemakaman dan tidak semua dari mereka menaati prosedur keamanan selama pandemi. “Orang masih lebih takut terkena hukuman sosial dari kelompoknya ketimbang mematuhi hal yang disarankan,” katanya.
“Bali sesungguhnya kan sudah new age dari kapan tau, namun sekarang hal itu seolah-olah di-elevate sama orang asing, dijadikan komoditas, daily activity, dan memunculkan hirarki kuasa antara turis yang merasa statusnya lebih tinggi dan warga lokal yang secara langsung atau tidak langsung mendapat keuntungan uang dari aktivitas tersebut. Misal dengan menyediakan rumah/vila yang dimiliki untuk disewakan. Orang Bali sendiri punya cara sendiri buat meditasi sebenernya,” lanjut R.
Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Bali sesungguhnya sudah jadi daya tarik para wisatawan sejak Bali mulai dikenal sebagai destinasi wisata seratus tahun lalu.
Alasan Bali dan Ubud Menarik Bagi Turis
Dalam Bali: A Paradise Created (1989), sejarawan Adrian Vickers menyebut ketertarikan wisatawan asing terhadap Bali terjadi sejak kolonialisme Belanda. Pada zaman kolonial, orang-orang Belanda yang ada di Indonesia saat itu sudah membangun citra Bali sebagai 'surga'--tempat eksotis, memiliki unsur budaya dan seni yang kental, serta ritual-ritual keagamaan yang masih rutin dipraktikkan.
Para wisatawan asing, terutama dari Eropa, mulai datang pada 1920-1930an. Kebetulan pada masa itu, orang-orang di Eropa sedang terobsesi untuk pergi keluar negaranya untuk membuka wawasan terhadap realita yang berbeda dari tempat asal. Penyebabnya, orang-orang Eropa saat itu ingin menghilangkan kepedihan pasca perang.
Bali pun dipandang sebagai destinasi populer karena menyajikan sesuatu yang sangat berbeda dengan kota-kota di Eropa. Turis-turis yang datang ke Bali pada saat itu kemudian menulis pengalaman berliburnya di berbagai media lokal di negaranya. Mereka menulis Bali sebagai "pulau dewata", "surga alamiah", "pulau yang diberkahi", "pulaunya kuil dan tarian", hingga "Bali yang molek".
Menurut Vickers, salah satu karya yang paling berpengaruh dalam mendatangkan wisatawan asing ke Bali adalah buku Gregor Krause berjudul Bali 1912 yang terbit pada 1920. Buku itu merupakan esai foto yang berisi lanskap serta keseharian orang-orang Bali. Bukan hanya Krause, seniman Walter Spies juga membuat film-film yang akhirnya berjasa mempromosikan Bali.
Turis-turis pada dekade itu umumnya datang ke area Denpasar. Namun seiring waktu, mereka mengeksplorasi daerah lain termasuk Ubud.
Pandangan menarik lain diungkap Paul Green dalam studi "Racial hierarchies and contradictory moral regimes in lifestyle destinations: Older, Western residents in Ubud, Bali" (2017). Di sana ia menyebut bahwa Ubud menarik perhatian para turis asing yang ingin menghabiskan masa pensiun/hari tua dengan hidup tenang dan nyaman. Para turis paruh baya itu biasanya berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas, pernah memiliki karier baik dan juga latar pendidikan yang tinggi.
Merekalah yang pada akhirnya menempati villa-villa gedongan--di tengah sawah atau dikelilingi pemandangan hijau khas Ubud--serta membangun berbagai jenis usaha perhotelan, restoran, tempat yoga/meditasi, demi menunjang ketenangan hidup yang mereka harapkan.
Menurut Green, fenomena orang kulit putih yang sudah pensiun dan memutuskan pindah ke negara lain guna mencari ketenangan hidup adalah hal wajar. Destinasi selain Bali adalah Maroko dan Meksiko.
Para turis asing ini percaya imajinasi masa lalu soal Bali yang dimunculkan seniman seperti Miguel Covarrubias dan Walter Spies dalam karyanya. Mereka juga yakin bisa hidup di Ubud karena tempat tersebut pun sudah dipadati turis asing sejak 1930-an. Terlebih lagi pada masa itu anggota kerajaan Ubud sudah gencar mempromosikan pura-pura, karya seni, dan hotel di Ubud. Walhasil, sejak dekade 1990-an, orang-orang barat yakin bahwa Ubud adalah pusat budaya dan spiritual Bali.
Para turis membangun ekosistem yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi finansial mereka. Inilah yang menyebabkan standar harga restoran dan hotel di Ubud tergolong tinggi bagi mayoritas turis dalam negeri. Ini pula yang menyebabkan lahirnya restoran-restoran dengan pangan organik atau vegetarian, serta berbagai jenis kelas yoga/meditasi. Itu semua dibangun berdasarkan logika turis asing untuk mencapai kenyamanan hidup.
Namun, menurut Green, ekosistem tersebut membuat turis asing jadi golongan yang lebih berkuasa dibanding orang lokal bali. Di tempat yang terkenal dengan kerajaan serta pura-pura itu, warga lokal terutama yang berada di bawah kelas menengah jadi pekerja di rumah atau properti lain milik turis asing. Para turis mengaku menganggap warga lokal sebagai kolaborator dan menggaji mereka dengan upah yang cukup tinggi ketimbang di tempat lain.
I Ngurah Suryawan, dosen Universitas Warmadewa, Bali dan penulis Saru Gremeng Bali: Sepilihan Esai Kritik Kebudayaan (2020) melihat bahwa di Ubud, para 'pesaing' turis asing adalah kaum aristokrat lokal.
“Mereka pemilik akomodasi pariwisata yang besar. Di samping itu ada juga para ‘pemain lokal’ yaitu masyarakat lokal Ubud yang menggerakkan pariwisata dengan mendirikan home stay, art shop, dan pasar-pasar seni. Masuk dalam kelompok ini saya kira adalah para pekerja pariwisata seperti guide, pegawai hotel villa, dan home stay,” katanya via surel kepada Tirto.
Ngurah menganggap orang Bali adalah sumber penghasilan dan penghidupan mereka. Tetapi kini pandangan tersebut berdampak pada keutuhan komunitas masyarakat lokal Bali terutama mereka yang tinggal di perdesaan. Bagi Ngurah, ekowisata yang mengedepankan jargon ramah lingkungan dan niat konservasi hanyalah ucapan manis belaka. Sepengamatannya ekspansi modal asing terus menerus terjadi.
“Saya lebih setuju dengan terminologi desa mandiri untuk menunjukkan bahwa desa--113 desa di Bali--bisa mandiri, dengan cara sendiri tanpa tergantung dengan investasi besar, untuk mengelola potensi alam dan budayanya untuk kesejahteraan warganya. Generasi Bali pasca-pariwisata adalah orang Bali yang kritis dan mandiri untuk menegakkan martabat dan jati dirinya di Tanah Bali ini,” sambungnya.
Editor: Windu Jusuf