tirto.id - Pekan ini, bank sentral paling berpengaruh di dunia, Federal Reserve melakukan pertemuan. Ini merupakan pertemuan bank sentral yang paling diantisipasi oleh banyak pihak, mulai dari para investor, analis, ekonom, pejabat bank sentral dan lainnya.
Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve menggelar pertemuan Open Market Commitee pada 14-15 Maret mendatang. Pada pertemuan tersebut, Fed, nama singkat Federal Reserve, diyakini akan menaikkan tingkat suku bunganya dari 0,75% menjadi 1%.
Diihat dari data Bloomberg, probabilitas kenaikan suku bunga ini semakin meningkat. Dalam pekan lalu, selama beberapa hari probabilitas meningkat dari 92%,94% menjadi 100%. Artinya, para analis dan ekonom meyakini Fed segera menaikkan tingkat suku bunganya. Pelaku pasar rupanya sudah memasukkan faktor ini ke dalam keputusan investasi mereka.
Ada data-data perekonomian Amerika Serikat juga yang menunjang keyakinan tersebut. Dilihat dari sektor tenaga kerja: data tenaga kerja teranyar yang keluar pada Jumat lalu menunjukkan ada 235.000 tenaga kerja yang diserap pada Februari lalu. Tingkat pengangguran pun turun tipis menjadi 4,7% dan pendapatan rata-rata naik 0,2% pada bulan lalu.
Target inflasi Fed pun sudah mendekati. Fed menggunakan Personal Consumption Expenditure (PCE) untuk mengukur inflasinya. Saat ini angka PCE sudah 1,9%, sangat dekat dengan target Fed yang sebesar 2%.
Secara umum, perekonomian Amerika Serikat sudah membaik, ketimbang ketika krisis menerpa pada tahun 2008 lalu. Perbaikan ekonomi inilah yang membuat Fed bersiap menaikkan tingkat suku bunganya.
Salah satu dampak yang terlihat adalah penguatan dolar AS. Kurs dolar menguat seiring dengan pemulihan ekonominya. Indeks dolar menguat sejak 2014. Tidak terkecuali terhadap rupiah.
Janji pemerintahan baru untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS dengan pemangkasan pajak dan belanja infrastruktur pun memicu optimisme bahwa perekonomian AS sudah keluar dari “kamar ICU” dan dapat segera berlari lagi.
Pemulihan ekonomi AS juga berdampak pada pasar modal di negara maju. Perekonomian membuat perusahaan kembali berekspansi, janji pemangkasan pajak diharapkan terwujud sehingga labanya pun diharapkan mekar. Indeks Dow Jones terus menguat. Indeks ini naik 4,8% hanya pada Februari lalu.
Sentimen pelemahan terhadap mata uang di kawasan Asia sudah terlihat dari bulan lalu. Setelah ada komentar dari petinggi Fed yang menyatakan bahwa akan ada kenaikan suku bunga bulan ini. Kurs peso melorot 1,3% terhadap dolar AS dalam dua bulan ini.
Pasar Berkembang
Keadaan tidak terlalu mengkhawatirkan untuk pasar saham di negara berkembang jika Fed menaikkan tingkat suku bunga tahun ini. Negara berkembang sensitif terhadap perubahan suku bunga di AS karena banyak pemerintahan dan perusahaan yang meminjam dalam bentuk dolar AS. Kenaikan suku bunga membuat dolar AS menguat dan investor keluar dari negara berkembang karena mencari imbal hasil yang lebih tinggi.
Akan tetapi, hingga Februari lalu para investor asing masih tetap masuk ke pasar saham dan obligasi di negara berkembang. Menurut data dari ANZ, aliran dana asing yang masuk ke negara berkembang total mencapai 8,6 miliar dolar AS pada Februari, sementara dana yang masuk pada Januari sebesar 6,3 miliar dolar AS. Masuknya dana ini berlawanan dengan keadaan pada kuartal ketiga 2016, ketika ada dana sebesar 33 miliar dolar AS mengalir keluar dari negara berkembang.
Ketika Fed menaikkan tingkat suku bunga, ada kekhawatiran aliran dana dari bursa negara berkembang beralih ke bursa negara maju. Tetapi jika dilihat sejarah 10-15 tahun yang lalu, tetap saja pasar saham di Asia Pasifik dapat berkinerja baik.
Sejak terjadi krisis, Fed secara konstan menaikkan tingkat suku bunganya. Harga saham di negara berkembang naik 240% selama 2003-2007 ketika kurs dolar melemah. Sebaliknya ketika dolar menguat, setelah kemenangan Donald Trump, pasar saham negara berkembang melemah karena para pengelola saham global menarik dana sekitar 11 miliar dolar AS.
Di pasar obligasi, harga obligasi sempat turun pada tahun 2013. Tampaknya para investor obligasi peduli, atau tidak terlalu peduli. Para investor masih tetap memborong obligasi di negara berkembang. Menurut data Wells Fargo Securities seperti dikutip Bloomberg, pekan lalu saja ada dana segar sejumlah lebih dari 2 miliar dolar AS, merupakan aliran dana terbesar kedua pada tahun 2017 ini. Obligasi di negara berkembang memberikan imbal hasil lebih baik, setidaknya mirip dengan imbal hasil obligasi AS sejak 2013.
Sementara itu di pasar saham, dampak kenaikan suku bunga acuan Fed ini tidak merata, setidaknya demikian menurut kajian dari JPMorgan. Selain faktor kenaikan suku bunga Fed, ada pula faktor risiko lain yang gaya Presiden Trump yang diperkirakan proteksionis.
Namun demikian, para investor tetap tidak berpaling dari negara berkembang. Misalnya saja, pada pasar exchange traded fund (ETF), reksa dana yang diperdagangkan di bursa, pada iShares Core MSCI Emerging Market ETF terlihat ada dana masuk sebesar 1,7 miliar dolar AS pada Januari. Angka itu nomor empat di antara semua pasar ETF. Pasar berkembang masih menjanjikan, potensinya sebesar 17% pada tahun ini, masih lebih tinggi dibandingkan dengan 12% pada pasar keuangan di negara maju.
Kesempatan
Bagaimana dengan pasar modal dan pasar obligasi domestik?
Ekonom Bank Danamon Dian Ayu mengatakan, peluang tekanan terhadap kurs rupiah terbuka. “Sampai saat ini, pergerakan rupiah cukup stabil pada kisaran Rp 13.310-Rp 13.380 per dolar AS. Struktur pasar valuta asing diharapkan berada dalam kondisi yang lebih kuat dengan kebijakan Bank Indonesia yang efektif seperti penggunaan kewajiban rupiah untuk transaksi di dalam negeri dan kewajiban lindung nilai untuk utang luar negeri,” kata Dian.
Fluktuasi ekonomi global dan kemungkinan meningkatnya ancaman inflasi mengakibatkan Bank Indonesia cenderung mengambil bauran kebijakan ketat. Ruang pelonggaran moneter semakin terbatas.
Sementara itu, ekonom Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat melihat peluang lain. Kenaikan suku bunga Fed, menjadikan obligasi pemerintah Indonesia menarik.
Secara teoretis, kenaikan suku bunga akan membuat harga obligasi menurun atau yield obligasi meningkat. Kenaikan suku bunga acuan itu juga akan berimbas pada yield obligasi 10 tahun AS atau T-bond yang biasa dijadikan acuan.
Pekan lalu, yield T-bond 10 tahun naik 3 basis poin menjadi 2,583% setelah sempat menyentuh 2,589% yang merupakan posisi tertinggi sejak 20 Desember. Kenaikan yield membuat harga obligasi menurun. Pergerakan yield obligasi AS juga mempengaruhi yield obligasi domestik.
Selisih antara yield obligasi AS dengan yield obligasi Indonesia sekitar 500 basis poin. Saat ini, rata-rata yield untuk surat utang negara bertenor 10 tahun berada pada kisaran 7,64%.
Budi menjelaskan, secara global daya tarik obligasi negara akan menurun bila yield obligasi AS naik. Investor akan lebih memilih berinvestasi pada pasar negara maju. Salah satu faktor peluang yang dapat menarik investor asing adalah peluang Indonesia mendapatkan peningkatan peringkat Mei mendatang juga tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Sepanjang pekan lalu, yield obligasi bertenor 10 tahun yang dipakai sebagai acuan naik dari 7,5%menjadi 7,52%. Kenaikan yield menekan harga obligasi menjadi lebih rendah. Aliran dana investor asing mencapai Rp 3,25 triliun dalam satu pekan.
Di tengah kekhawatiran akan dampak kenaikan Fed, masih terbuka peluang untuk mendapatkan keuntungan dari pergerakan di pasar surat utang.
Walau pun ancang-ancang Fed sudah di depan mata, kita masih dapat memetik dampak positifnya, tidak melulu mendapatkan dampak negatif dari kebijakan bank sentral di negeri seberang.
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti