tirto.id - Sebuah gundukan tanah dalam kondisi separuh digali memperlihatkan bongkahan-bongkahan batu bata merah ukuran besar. Bongkahan batu di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur itu diduga berasal dari peninggalan Kerjaan Majapahit.
Alih-alih ikut dalam pelestarian kebudayaan, penyewa lahan itu justru menjual tumpukan situs batu bata berukuran 35 x 20 cm seharga Rp3 ribu per buah. Setelah tersebar luas ke publik, aktivitas penggalian tanah pun dihentikan sementara dan kasus penjarahan situs ini ditangani Polres Mojokerto.
Kasus yang terjadi di Jawa Timur sebagai contoh bahwa masih ada kelompok masyarakat yang acuh terhadap jejak masa lalunya. Peran seperti inilah yang diharapkan dari Arkeologi Publik sebagai salah satu subdisiplin arkeologi. Dalam penerapannya, subdisiplin ilmu ini tak memerlukan beragam peralatan canggih cukup peran serta masyarakat secara aktif dan positif untuk melestarikan peninggalan sejarah.
Arkeologi publik biasanya tetap dimotori oleh arkeolog-arkeolog profesional. Namun, masyarakat awam sebagai arkeolog-arkeolog amatir justru lebih memiliki andil besar. Walau tak memiliki latar pendidikan arkeologi, mereka tetap dapat membantu pelestarian dengan wawasan yang diberikan para arkeolog profesional.
Banyak artefak dan situs purbakala dapat terselamatkan berkat kesadaran masa lalu dan pemantauan terus-menerus oleh masyarakat. Selama sepuluh tahun sejak awal pengenalannya, Arkeologi publik berhasil menyelamatkan sejumlah situs dari proyek-proyek pembangunan fisik. Hal ini juga lantaran kesadaran para pemilik proyek pembangunan yang mengalah demi kelestarian situs-situs arkeologi.
Djulianto Susantio, seorang arkeolog UI menuturkan kepada Tirto menjelaskan istilah arkeologi publik mulai diperkenalkan di barat pada 1970-an. Konsep dasarnya menekankan bahwa masa lalu adalah milik semua manusia, dan manusia tak boleh merusak serta harus menjaganya. Artinya siapa saja tak boleh mencemarkan warisan-warisan masa lalu. Termasuk ke dalam istilah mencemarkan antara lain mencuri, menyelundupkan, serta merusak artefak, bangunan, dan situs kuno. Di dunia barat keberadaan arkeologi publik berhasil berkat partisipasi masyarakat.
“Karena di sana, kesadaran sejarahnya sudah tinggi,” katanya.
Faktor wawasan, tingkat pendidikan, dan pola pikir masyarakat sangat menentukan suksesnya arkeologi publik. Lembaga pendidikan juga berperan besar, begitu pun lembaga-lembaga nirlaba, contohnya Heritage Society atau Heritage Foundation.
“Di Amerika, kalau ada pembangunan jalan yang bersentuhan dengan arkeologi, jalannya dibelokkan. Begitu pula di Italia, Inggris, dan Mesir, kalau di kita, pembangunan yang menang,” tambahnya.
Ia mencontohkan beberapa situs di Indonesia yang harus mengalah demi pembangunan. Misalnya, situs Prasasti Tugu di Jakarta yang terpotong pembangunan jalan raya, gedung-gedung tua di daerah Kota Jakarta juga turut terabaikan pelestariannya, serta penggusuran situs tua zaman prasejarah di tepian Sungai Ciliwung yang tergusur pembangunan perumahan Kalibata.
Masyarakat juga tak ragu bercocok tanam di area lokasi situs, seperti yang terjadi pada perkebunan kentang di areal situs percandian Dieng. Situs Rancamaya di daerah Bogor, yang sudah banyak disorot media massa sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran juga pada akhirnya dibangun berbagai perumahan mewah sehingga mengubur situs dari masa Sunda kuno. Tindakan semacam ini tentu melanggar aturan yang sudah ada.
Aturan di Indonesia
Penerapan arkeologi publik sudah tercantum dalam UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Pada pasal 5 disebutkan kriteria benda, bangunan, atau struktur yang dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya. Yakni ketika berusia lima puluh tahun atau lebih, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Dalam aturan ini juga dijelaskan hukuman bagi pihak yang menghilangkan atau merusak cagar budaya. Yakni dijatuhi hukuman pidana bagi mereka yang terbukti menghilangkan benda cagar budaya, dengan maksimal kurungan 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.
Arkeologi publik akan sangat membantu pelestarian situs sejarah di Indonesia. Sebab sebaran situs sejarah di Indonesia masih terlalu luas, dan kurang dapat dilestarikan jika hanya mengandalkan kekuatan pemerintah. Masih banyak situs berada di pekarangan penduduk, lereng bukit, biasanya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pembangunan di Indonesia selayaknya sudah harus mengacu kepada Arkeologi Publik, artinya menaati Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Studi Kelayakan Arkeologi (SKA). Sejatinya, pemberdayaan masyarakat Indonesia dalam arkeologi publik sudah mulai dikembangkan tahun 1980-an.
Awalnya berupa berbagai acara di stasiun televisi (TVRI) dan pameran-pameran kepurbakalaan di seluruh Indonesia. Ironisnya, upaya keras itu sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terbukti pencemaran terhadap peninggalan-peninggalan purbakala terus terjadi.
“Amdal ini yang nggak jalan. Pernah dipakai pada kasus Waduk Cirata. Karena tergantung menterinya, waktu itu Emil Salim cukup memperhatikan masalah situs sejarah, belakangan rasanya ditinggalkan,” tambah Djulianto.
Inilah letak kesukaran melaksanakan arkeologi publik, di satu sisi, pola pikir masyarakat masih bersifat konsumtif dan ekonomis. Masyarakat lebih rela menjual bangunan-bangunan bersejarah kepada pihak investor yang kemudian mengubahnya menjadi bangunan komersial.
Di lain sisi, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk mendukung penuh arkeologi. Seperti memberikan subsidi biaya perawatan atau pemugaran bangunan cagar budaya. Termasuk juga tidak mampu memberikan ganti rugi yang sesuai untuk merelokasi masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan situs-situs arkeologi.
Jejak kebudayaan masa lalu bukan hanya tanggung jawab pihak akademisi, pemerintah, tapi juga publik atau masyarakat luas. Ini terjadi bila masyarakat merasa jadi bagian dari artefak-artefak kuno yang tak ternilai harganya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra