tirto.id - Pagi itu, Lu Utu bin La Raali masih melaut seperti biasa. Kapal majikannya dengan model SskK00520F masih terapung di perairan Negeri Sabah, bersama anak buah kapal (ABK) Firman Sauli dan Rusli bin La Moundu.
Keadaan berubah menjadi menegangkan saat jarum jam menunjuk angka 10.00 WITA, tiba-tiba muncul speedboat warna abu-abu dengan lima orang, sebagian menggenggam senjata laras panjangm berpakaian corak loreng.
Kelompok bersenjata yang diduga dari Filipina ini dengan cekatan menaiki kapal La Utu dan mengancam semua penumpang. Mereka merampas semua barang berharga para nelayan Warga Negara Indonesia (WNI) asal Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sang nakhoda La Utu dipindahkan ke speedboat milik kelompok bersenjata.
Drama penculikan terhadap WNI di perairan Filipina sudah seperti langganan. Para perompak seolah ketagihan mencari mangsa sandera WNI. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bereaksi, ia menyesalkan terulangnya penculikan WNI di perairan Sabah yang berbatasan dengan Filipina.
Peristiwa 5 November 2016 lalu ini menambah daftar WNI yang diculik di perairan Asia Tenggara maupun di kawasan perairan lainnya. Menandakan bahwa bagi para nelayan asal Indonesia, perompak dan penculik dari kelompok ekstremis masih menjadi ancaman bagi para nelayan yang melaut.
Data yang dikumpulkan tim risert Tirto.id, sejak 2016 ada kurang lebih 53 kasus penculikan WNI di perairan laut oleh kelompok radikal bersenjata. Kelompok militan Abu Sayaf Filipina menjadi pelaku yang paling sering melakukan kejahatan ini, sekurang-kurangnya ada 5 kali penculikan dengan jumlah korban penculikan sebanyak 27 orang.
Pada periode 20 Juni 2016, misalnya, kelompok Abu Sayaf beraksi di Laut Sulu, Filipina, dan menculik 13 orang anak buah kapal warga negara Indonesia. Penyandera menahan 7 ABK dan melepaskan 6 ABK lainnya. Bertepatan dengan 17 Agustus 2016, 2 dari 7 WNI yang disandera berhasil meloloskan diri. Lalu akhirnya pada 7 Oktober, 3 WNI yang disandera berhasil dipulangkan di bawah Kementerian Koordinator Polhukam.
Dari kasus-kasus penculikan lain, rata-rata WNI yang diculik bisa diselamatkan dan kembali pulang ke tanah air. Jalan penyelesainnya pun macam-macam. Seringkali pemerintah Indonesia mengedepankan negosiasi, pertemuan trilateral, maupun memakai uang tebusan. Menlu Retno mendesak perusahaan tempat para WNI bekerja juga harus turut terlibat dalam upaya pembebasan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keselamatan pekerja dan tidak main-main dengan keselamatan nyawa WNI. Persoalan penculikan ini memang sudah menjadi konsen tiga negara tetangga di ASEAN.
Kerja Sama 3 Negara
Selain memberikan tekanan kepada para majikan kapal, pemerintah juga menjajaki kerjasama dengan otoritas negara tentangga seperti Malaysia. Indonesia meminta Malaysia untuk meningkatkan pengamanan di perairannya sehubungan terjadinya penculikan terhadap nelayan Indonesia yang terus terulang.
"Nelayan ini bekerja resmi di Malaysia karena itu diperlukan lagi pemantauan atau satu tindakan yang betul-betul konkret untuk menjamin keamanan perairan di Malaysia," ujar Retno usai bertemu Menlu Malaysia, Dato Seri Anifah Aman di Kuala Lumpur, Senin (7/11/2016).
Pertemuan dengan Malaysia ini lanjutan dari pertemuan pada Mei lalu yang berlangsung di Yogyakarta. Selanjutnya, Menlu Retno juga akan melakukan pertemuan trilateral dengan Presiden Filipina Duterte dan otoritas Malaysia pada 10 November di Malaysia. Pertemuan ini untuk memastikan solusi yang permanen agar kasus penculikan tak terulang. Perkara ini sudah menjadi perhatian internasional, termasuk beberapa saran pemerhati masalah perompakan.
Jacqueline Espenilla, seorang aktivis Pacific Forum sekaligus penerima beasiswa UN-Nippon Foundation di Division of Ocean Affairs and Law of the Sea di PBB, New York, menyarankan tiga strategi pengamanan laut oleh Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Dalam tulisan di The Diplomat strategi pertama yang bisa ditempuh dengan menetapkan sifat dan batasan tindakan kooperatif tiga negara dengan jelas. Selama ini hubungan antara Indonesia dan Filipina tekait kasus perompakan di lautan Asia Tenggara masih “terputus-putus” dan berjalan sendiri-sendiri.
Bila otoritas Filipina fokus untuk mengamankan jalur aman untuk kapal, Indonesia masih sibuk patroli bersama aparat keamanan laut Malaysia dan sebagian dari Filipina demi akses bebas ke masing-masing teritori. Jacqueline menilai isu ini memerlukan diskusi yang hati-hati sebab melibatkan wilayah Laut Cina Selatan dimana ketiga negara juga masih memperebutkannya. Artinya, jangan sampai isu perompak di lautan pecah dan beralih fokus menjadi masalah kedaulatan masing-masing negara.
Strategi kedua, ketiga negara mesti berkolaborasi untuk meningkatkan pencapaian Maritime Domain Awareness (MDA). Dalam pengertian International Maritime Organization (IMO), MDA adalah pemahaman efektif untuk segala hal terkait domain maritim yang dapat berimplikasi pada keamanan, keselamatan, ekonomi, atau lingkungan.
Pencapaian MDA di Asia Tenggara dalam catatan Jacqueline masih sangat rendah. Ketiga negara masih belum fokus pada usaha pengamanan warga negaranya dari kelompok radikal bersenjata yang menjadi musuh bersama. Ketiganya masih memprioritaskan kedaulatan wilayah dan sesekali bercekcok tentang teritori di kawasan Laut Cina Selatan. Hasilnya, kelompok bersenjata bisa lebih leluasa bergerak tanpa mempedulikan teritori negara dan rawan terjadi impunitas bagi pelaku.
Strategi ketiga, yakni perlunya Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk menjadi bagian dari jaringan berbagi informasi yang formal dan kokoh. Saat ini satu-satunya jaringan yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara terkait perompakan laut adalah Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP).
ReCAAP dibentuk pada 2006 lalu yang ditandatangani oleh 20 negara, yakni Australia, Cina, Denmark, India, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Norwegia, Sri Lanka, Inggris, Amerika Serikat, Banglades, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Sayangnya, Indonesia dan Malaysia tak ambil bagian dalam ReCAAP. Indonesia menolak untuk bergabung atas kekhawatiran bahwa perjanjian itu akan berpengaruh ke ranah kedaulatan. Di sisi lain, Malaysia keberatan atas kenyataan bahwa ReCAAP Information Sharing Center (ISC) dioperasionalkan dan akan berlokasi di Singapura.
Apa yang dikritik Jacqueline dari ketiga strategi itu lagi-lagi berakar pada persoalan kedaulatan. Sehingga pada kesimpulan akhir ia juga berwacana: selama kedaulatan masih menjadi prioritas, maka tragedi kemanusiaan atas kasus penculikan warga dari ketiga negara akan terus terjadi ke depannya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra