Menuju konten utama

Menangis dan Tertawa Itu Menular

Ada penjelasan ilmiah kenapa tangis dan tawa bisa menular.

Menangis dan Tertawa Itu Menular
Ilustrasi tangis bayi. FOTO/REUTERS

tirto.id - Seorang perempuan belia berkisah tentang pahitnya pengalaman bekerja sebagai asisten rumah tangga. Dia pernah dipukul di kepala, disiram air cabai, dan digantung dalam posisi terbalik oleh majikan. Sesaat berselang, seorang ibu dengan berurai air mata bercerita dengan parau soal anaknya yang diperkosa oleh suami sendiri.

Ratusan pasang mata di Goethe Haus menyimak sejumlah penyintas kekerasan yang tampil dalam pertunjukan Ode Tusuk Konde pada 10 Desember 2017 silam. Di antara ratusan pasang mata tersebut, banyak yang matanya basah saat mendengarkan kisah kekerasan itu. Tangisan hari itu tampak menular, dari satu mata ke mata yang lain.

Bukan cuma sebagian penonton Ode Tusuk Konde saja yang ikut menangis ketika melihat orang di hadapannya menangis. Ayu (24) juga pernah mengalami hal serupa ketika ia mendengarkan cerita teman kampusnya. “Waktu itu temenku lagi cerita soal dosennya yang divonis dokter mengalami gangguan jiwa dan jadi nggak bisa beraktivitas seperti biasa. Nah, pas cerita, temenku berkaca-kaca matanya, terus aku jadi ikutan nangis tiba-tiba,” kata perempuan yang bekerja di media ini.

Pengalaman seperti Ayu yang sering "latah" menangis juga diakui Ade (26). Laki-laki ini berujar, matanya kerap basah saat melihat orang yang diberitakan di televisi menangis. “Bagian pangkal hidungku suka menghangat waktu melihat orang menangis. Dari kecil, aku sudah sadari punya kecenderungan seperti ini. Karena itu, aku suka memalingkan muka kalau lihat orang asing menangis,” papar Ade.

Tangis Bisa Menular, Bahkan Pada Bayi

Beberapa pengalaman di atas menjelaskan bahwa emosi bisa menular, bahkan bila kedua pihak tidak saling mengenal. Elaine Hatfield et. al. (1993) mendefinisikan penularan emosi sebagai kecenderungan seseorang untuk secara otomatis meniru ekspresi, suara, postur, dan gerakan orang lain untuk merasakan emosi yang sama.

Soal menangis, Vingerhoets dan Randolph R. Cornelius dalam Adult Crying: A Biopsychosocial Approach (2001) mengatakan: penularan hal ini bisa terjadi karena seseorang telah mengetahui penyebab atau makna tangisan orang yang sedang disaksikannya. Bisa juga hal ini bergantung pada seberapa dekat relasi kedua belah pihak. Berdasarkan riset-riset sebelumnya, mereka menyatakan, perempuanlah yang sering mengalami penularan emosi macam ini.

Penularan tangis tak hanya terjadi pada orang dewasa. Penelitian Geangu et.al. (2010) yang dimuat di jurnal Infant Behavior & Development menunjukkan bahwa hal ini dapat ditemukan pada para bayi. Saat mendengar bayi lain menangis, bayi usia 1, 3, 6, dan 9 bulan yang mereka amati tak lama kemudian turut melakukan hal serupa. Geangu menulis, tangis yang menular pada bayi merupakan tanda berbagi emosi yang diperlihatkan manusia pada awal masa kehidupannya, dan ini berhubungan dengan empati.

Mulanya, Geangu et.al. menganggap seiring pertambahan usia, potensi seorang bayi tertular tangis bayi lainnya akan menurun. Namun, temuan mereka membuktikan hal yang berbeda: bayi pada semua tahap usia yang menjadi objek studi ternyata turut menangis ketika bayi lain menangis, dengan durasi dan intensitas yang sama. Lebih lanjut, bayi usia 6 dan 9 bulan lebih cepat turut menangis dibanding bayi usia 3 bulan. Ini artinya, penularan emosi lebih cepat berlangsung pada kelompok bayi yang lebih tua.

infografik emosi yang menular

Tawa Juga Bisa Menular

Selain tangis, tawa pun bisa menular. Hal yang mulanya dianggap biasa saja, bisa mendadak mendatangkan gelak tawa saat ada orang di sekitar yang tertawa lebih dahulu, seperti pengalaman Cherry (24).

“Saya sering ikut ketawa kalau teman kampus saya ketawa duluan waktu baca satu komik di Instagram. Padahal, kalau saya baca sendiri, saya nggak akan berekspresi apa pun,” ujarnya.

Tidak hanya saat melihat komik di media sosial, saat berbincang dengan teman-teman pun, begitu ada yang melontarkan lawakan garing, Cherry bisa ikut terbahak jika salah satu di antara mereka tergelak. “Mau nahan kayak apa pun, bakal tetep pecah tawanya,” imbuhnya.

Pengalaman tertular tawa yang dimiliki Cherry sejalan dengan pendapat neurosaintis dari University College London, Sophie Scott, “Sepertinya ucapan ‘tertawalah dan seluruh dunia akan tertawa bersamamu’ itu benar. Kadang, saat kita berbicara kepada seseorang, kita mengopi perilakunya, menyalin kata-kata yang mereka gunakan dan meniru gesturnya. Ini pun terjadi pada tawa.”

Dilansir LiveScience, Sophie dan koleganya meneliti respons sejumlah orang dengan pemindai MRI. Para subyek penelitian disuguhkan beberapa jenis suara: tawa dan sorak sorai yang diasosiasikan dengan hal positif, juga teriakan dan suara orang muntah yang diasosiasikan dengan hal negatif. Hasilnya, semua suara memicu aktivasi bagian otak yang menggerakkan otot wajah, tetapi suara positiflah yang memicu respons lebih tinggi dibanding suara negatif.

Sophie juga mengatakan, suara tawa juga setidaknya membuat objek penelitiannya tersenyum. Sementara saat diperdengarkan suata muntah, mereka tidak serta merta menjadi tersedak atau hendak muntah pula.

Banyak orang berpikir bahwa tangis atau tawa yang menular tak lebih dari suatu kebetulan. Namun sebenarnya, ada penjelasan dari perspektif evolusi untuk hal ini. Dalam Psychology Today, Ryan T. Howell, associate professor Psikologi dari San Francisco State University menulis, penularan emosi adalah hal penting untuk terus bertahan hidup. Ia mencontohkan, sekelompok mangsa akan menyebarkan rangsangan emosional kepada sesama spesiesnya saat predator mengintai mereka. Dengan begini, akan lebih banyak kawan satu spesies mereka yang selamat dari bahaya. Pendapat Howell ini seiring dengan pandangan Darwin bahwa ekspresi emosi berguna demi kepentingan bertahan hidup suatu makhluk.

Ketika manusia hidup berkelompok, penularan emosi lewat ekspresi-ekspresi tertentu membantu mereka membentuk ikatan yang kuat antarindividu dalam kelompok, demikian disampaikan oleh Scott. Di samping itu, penularan emosi ini dapat pula berimbas pada performa kerja seseorang. Menurut studi lain, hal ini bisa memompa mood orang-orang dalam bekerja serta mencegah mereka terlibat dalam konflik intragrup.

Baca juga artikel terkait EMOSI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono