Menuju konten utama

Menag: Pembakaran Rumah Ibadah Tidak Dibenarkan Agama

Menteri Agama mengatakan tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan umatnya membakar rumah ibadah dan agama tidak bisa dijadikan alat pembenaran untuk melakukan tindakan seperti itu.

Menag: Pembakaran Rumah Ibadah Tidak Dibenarkan Agama
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Antara foto/Nova Wahyudi.

tirto.id - Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin merespon tindakan perusakan tempat ibadah yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Ia mengatakan tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan umatnya membakar rumah ibadah dan agama tidak bisa dijadikan alat pembenaran untuk melakukan tindakan seperti itu.

Hal tersebut disampaikan Menag usai menghadiri Wisuda dan Pelepasan Santri Putra-putri Penghafal Alquran Pesantren Sulaimaniyah di Auditorium HM Rasjidi, Gedung Kemenag Thamrin, Jakarta.

"Pembakaran rumah ibadah tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun, agama manapun tidak membenarkan itu. Pembakaran tersebut lebih karena dorongan emosional, kemarahan, kegusaran dan kegeraman pihak yang tidak bisa mengendalikan emosi," kata Lukman pada Selasa (2/8/2016).

Dia mengatakan umat Islam tidak sepatutnya terpancing oleh ungkapan-ungkapan yang memicu terjadinya konflik. Pernyataan-pernyataan provokatif harus ditelusuri kebenarannya sehingga tidak terjadi gesekan jika terjadi perbedaan di antara masyarakat.

Umat yang beragam di Indonesia, kata dia, tidak boleh mudah tersulut amarahnya sehingga melakukan tindakan-tindakan tidak produktif seperti merusak tempat ibadah karena memiliki perbedaan tertentu. Terlebih saat ini di dunia media sosial yang berkembang pesat memberi dampak orang mudah percaya terhadap informasi provokatif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Menurut Lukman, sudah seharusnya masyarakat menebarkan sikap-sikap toleransi. Toleransi itu bukan sekedar keinginan untuk dipahami oleh pihak lain tapi juga berupaya memahami orang lain. Sikap seperti itu penting diterapkan di Indonesia yang memiliki keragaman yang tinggi.

"Keduanya harus saling menghargai dan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Bagi mayoritas berkewajiban mengayomi dan melindungi minoritas sementara minoritas juga berkewajiban untuk menghormati yang mayoritas. Jadi keduanya saling memahami perbedaan pada diri yang lain agar kasus seperti di Tanjung Balai tidak terjadi lagi.

Alangkah eloknya, kata dia, golongan mayoritas dan minoritas saling menghormati. Karena jika tidak seperti itu maka perbedaan-perbedaan kecil di tengah masyarakat dapat mudah terpicu menuju perselisihan bahkan sampai pada benturan yang merugikan material dan moral.

Menag berharap agar aparat keamanan dapat mengusut tuntas kasus kekerasan agama di Tanjung Balai. Tindakan kekerasan tersebut harus diselesaikan sampai pada aktor di belakang konflik.

Aturan soal pengeras suara, kata dia, sudah diatur sejak 1978 di Indonesia agar penggunaannya sesuai peruntukkannya. Dengan begitu, pengeras suara dioperasikan sesuai fungsinya secara proporsional atau tidak berlebihan.

"Fungsi pengeras suara atau speaker itu panggilan untuk shalat berjamaah. Bagi non-Muslim anggaplah itu sebagai penanda pergantian waktu dan juga dipahami itu memiliki fungsi sosial yang sudah turun temurun sejak ratusan tahun di Indonesia. Sementara bagi pengelola masjid harus seksama menggunakan pengeras suaranya agar digunakan secara efisien dan efektif," kata Lukman.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN TANJUNGBALAI

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto