Menuju konten utama

Memberantas Rentenir di TPI

Pemerintah akan "memaksa" nelayan menjual hasil tangkapannya ke TPI. Kebijakan ini ditujukan untuk memutus rantai rente dalam distribusi ikan dan juga melacak tangkapan ikan. Sayangnya, infrastruktur untuk TPI ini masih belum memadai.

Memberantas Rentenir di TPI
Aktivitas bongkar-muat ikan hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Kendari, Sulawesi Tenggara. [Antara Foto/Jojon]

tirto.id - Saat mendengar kata “TPI” atau “Tempat Pelelangan Ikan,” memori kita akan langsung membayangkan tumpukan ikan, timbangan, kios berjejeran, pedagang, bau amis, dan kumuh. Gambaran tersebut lumrah disematkan pada TPI yang ada di Tanah Air.

Namun, kesan kumuh dan bau anyir tersebut tidak berlaku bagi pasar lelang ikan Tsukiji, di Jepang. Seperti dilansir japanvisitor.com, Tsukiji merupakan pasar ikan terbesar di dunia dan diperkirakan sekitar 17 persen dari total tangkapan ikan dunia masuk ke pasar yang terletak sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Tokyo.

Selain pasar ikan, Tsukiji juga dikenal sebagai pusat grosir berbagai macam dagangan, seperti sayur dan buah. Berbagai warung di pinggir pasar yang menyediakan bermacam makanan juga sangat menggoda selera. Tak heran, jika Tsukiji menjadi salah satu objek pariwisata di Negeri Sakura itu.

Tempat pelelangan ikan seperti Tsukiji itu menarik perhatian Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Ia pun berencana meniru pasar ikan ala Tsukiji. Susi akan menerapkan konsep ideal pasar ikan tersebut dalam pengembangan tempat pelelangan ikan di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.

Pasar Ikan Terintegrasi

Keinginan Susi ini, bukan semata-mata karena kesan kumuh dan bau amis yang disematkan pada TPI selama ini. Ada pertimbangan jangka panjang dan merupakan bagian dari rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2015-2019. Salah satunya adalah larangan transhipment di laut dan rencana pembangunan pasar ikan terintegrasi.

Rencana tersebut, kembali ditegaskan Susi dalam forum South-East Asia and Pacific Regional Fisheries Summit, akhir Juni lalu. Susi berharap, kementerian yang dipimpinnya segera merealisasikan kebijakan semua nelayan menjual ikan di TPI resmi. Artinya, jika program ini telah diterapkan, maka semua nelayan dilarang mendaratkan ikan tangkapannya di luar penampungan ikan yang telah ditetapkan.

“Kita akan atur. Nanti ada TPI, pemilik kapal harus di situ. Ikan dibongkar dan ditimbang di situ. Jadi semuanya tercatat,” kata Susi, seperti dilansir laman resmi kementerian.

Selama ini, salah satu problem yang dihadapi pemerintah adalah sejumlah nelayan yang tidak mau menjual ikan hasil tangkapannya di TPI. Salah satu alasan nelayan karena minimnya fasilitas. Akibatnya, TPI sulit untuk maju dan berkembang karena pengelola tidak bisa mengambil retrebusi.

Selain persoalan fasilitas, adanya tengkulak yang bermain juga menjadi faktor. Pada umumnya, para tengkulak membayar hasil tangkapan nelayan ketika mereka akan melaut. ”Sistem ijon atau permodalan yang ditalangi tengkulak kepada nelayan ini sudah berlangsung turun temurun. Di satu sisi nelayan butuh modal besar untuk melaut, tapi di lain sisi mereka belum dipercaya pihak perbankan,” kata Kepala TPI Morodemak, Sunardi seperti dilansir suaramerdeka.com.

Padahal, kata Sunardi, kebutuhan nelayan sekali melaut bisa mencapai Rp1,5 juta sampai Rp2 juta. Biaya operasional itu paling besar untuk pembelian BBM sekitar 200 sampai 300 liter. Namun, persoalan ini sudah menjadi salah satu fokus pemerintah melalui KKP.

Karena itu, Ketua Induk Koperasi Perikanan Indonesia, Ono Surono meminta agar pemerintah bertindak tegas membuat dan menerapkan regulasi yang mengatur masalah TPI ini sebagai tempat wajib yang digunakan nelayan untuk menjual ikan.

Selama ini, banyak TPI yang kurang aktif karena sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapan ikan kepada tengkulak karena tidak ada sanksi pidana dari regulasi yang telah dibuat dan tidak ada keterikatan antara pengelola TPI dengan para nelayan.

Kini, pemerintah melalui KKP akan mewajibkan para nelayan agar menjual hasil tangkapannya di TPI. Dengan sistem baru ini, diharapkan tidak ada lagi penangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan semua terdata oleh kementerian. Diharapkan, dengan pengembangan dan pengaturan pelelangan ikan yang lebih baik, maka akan menambah pemasukan bagi pemerintah seperti meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sayangnya, rencana ini baru dapat direalisasikan setelah pembangunan pasar ikan selesai. Sebagai informasi, KKP sampai saat ini masih dalam proses membangun TPI resmi di seluruh wilayah strategis Indonesia, termasuk wilayah Muara Baru, Jakarta Utara.

Sebelum pemerintah berencana mewajibkan para nelayan menjual ikan di TPI, sejumlah asosiasi nelayan sudah berupaya melakukannya, misalnya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap, Jawa Tengah.

Ketua HNSI Cilacap, Indon Tjahjono mengatakan, pihaknya akan mendorong dan berusaha meningkatkan produksi yang dijual melalui TPI agar lebih berperan dan berfungsi sebagaimana mestinya.

“Yang jelas harus banyak pendekatan dan sosialisasi dengan nelayan lewat rapat-rapat rukun nelayan untuk mendorong mereka agar suka jual ikan lewat TPI. TPI nantinya juga akan kita benahi,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Pemberantasan Illegal Fishing

Rencana KKP mewajibkan semua nelayan menjual ikan di tempat penampungan ikan sejalan dengan upaya pemerintah menerapkan sistem transparansi dalam penanggulangan praktik illegal fishing yang selama ini marak terjadi.

Dalam konteks ini, KKP akan menggandeng menteri perikanan negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk menjegal kejahatan penangkapan ikan secara ilegal. Pemantauan ikan dan produk perikanan berperan sangat penting dalam memutus mata rantai illegal fishing secara global. Karena itu, sangat penting melibatkan berbagai negara untuk bekerja sama dan bertukar data sektor kelautan dan perikanan sebagai upaya mengembangkan transparansi di sektor tersebut.

Pemerintah Indonesia, juga akan terbuka berbagi daftar kapal-kapal yang memiliki izin untuk menangkap ikan di kawasan perairan Indonesia. Transparansi data dan produk ikan ini sebagai bagian dari aksi nyata bentuk pemberantasan penangkapan ikan ilegal secara berkelanjutan.

Artinya, dalam penanggulangan penangkapan ikan secara ilegal ini, tidak hanya menenggelamkan kapal saja, tapi juga dimulai dengan penelusuran data, dan memastikan ikan yang ditangkap tersebut di wilayah mana, oleh siapa, berapa jumlahnya, dijual ke mana, dan diproses di mana.

Saat pertemuan South-East Asia and Pacific Regional Fisheries Summit, akhir Juni lalu, sejumlah negara telah mendukung pertukaran data untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal ini. Salah satu yang mendukung rencana tersebut adalah Menteri Kelautan dan Kehutanan Fiji, Osea Naiqamu. Menurut dia, pertukaran data dapat mempermudah identifikasi kapal yang masuk di kedua wilayah, dan kapal yang melanggar aturan juga dengan mudah dapat dihukum.

Selain kerja sama pertukaran data tersebut, KKP juga akan melakukan penelusuran dengan cara memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Penelusuran dengan teknologi informasi dilakukan dengan memasang Vessel Monitoring System (VMS) di kapal penangkap ikan.

Dengan sistem pelacak tersebut, maka ikan yang ditangkap bisa ditelusuri asalnya, siapa penangkapnya, hingga jumlah ikan yang ditangkapnya. Pelacakan ini akan mencegah penangkapan ikan secara ilegal, baik yang menyalahi aturan lokasi penangkapan maupun jumlah ikan yang ditangkap.

Baca juga artikel terkait NELAYAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti