Menuju konten utama

Memang Kampanye Lewat Stiker Masih Efektif?

Stiker masih marak digunakan dalam kampanye politik. Selain dibatasi peraturan, stiker yang dipasang sembarangan bisa memicu antipati.

Memang Kampanye Lewat Stiker Masih Efektif?
Pekerja menyelesaikan pemasangan stiker calon gubernur dan calon bupati pada mobil di Desa Gampong Jalan, Aceh Timur, Aceh, Selasa (22/11). Menjelang Pilkada 2017 permintaan pembuatan dan pemasangan stiker kampanye seharga Rp1,5 juta sampai Rp4,5 juta meningkat hingga 100 persen dan diperkirakan terus meningkat pada Januari. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc/16.

tirto.id - Selama kampanye Pilkada serentak 2017 di DKI Jakarta, hampir semua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur berlomba-lomba menggunakan pelbagai media kampanye untuk mempromosikan diri. Selain visi-misi yang sudah didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum, mereka juga memproduksi sejumlah slogan dan jargon di pelbagai medium, dari kaos, topi, hingga stiker.

Penggunaan pelbagai materi untuk kepentingan kampanye sebenarnya sah-sah saja. Itu tercantum dalam Peraturan KPU No 12 Tahun 2016 pasal 26 yang menyebutkan bahwa kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, pena, payung, dan stiker (paling besar ukuran 10 x 5 cm), bisa digunakan untuk kepentingan kampanye.

Bunyi lengkap peraturan itu: “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat membuat dan mencetak Bahan Kampanye selain yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota dan yang dibiayai oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), meliputi: kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan/atau stiker paling besar ukuran 10 x 5 cm.”

Namun dari sekian banyak materi kampanye itu, yang paling banyak mencuri perhatian adalah penggunaan stiker. Merujuk peraturan di atas, stiker tidak boleh ditempel di tempat-tempat umum seperti tempat ibadah, rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan lain seperti gedung atau fasilitas milik pemerintah, lembaga pendidikan, jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, hingga tanaman atau pepohonan.

Namun larangan itu tidak benar-benar diindahkan. Menurut laporan Kompas.com, stiker pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno masih banyak ditemukan di tiang-tiang listrik, terutama di Kawasan Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Tiang listrik, sebagaimana yang kita tahu, adalah salah satu sarana dan prasarana publik.

Padahal menurut Ketua Bawaslu DKI Jakarta, Mimah Susanti, pemasangan stiker di tiang listrik sangat tidak diperbolehkan karena tempat umum. Untuk mencegahnya, Mimah mengatakan Bawaslu akan mengidentifikasi dan meminta tim cagub-cawagub untuk melepaskan stiker dalam waktu 1 x 24 jam. Namun, jika tidak direspons, pihaknya akan meminta Satpol PP yang mencopotnya.

Mimah meminta masyarakat untuk ikut melaporkan jika masih melihat stiker-stiker pasangan calon bertebaran di tempat-tempat umum, terutama yang tidak sesuai dengan aturan.

Tak tertibnya tim kampanye pasangan calon peserta Pilkada bukan kali ini saja terjadi. Setahun lalu, dilaporkan Antara, Pawaslu Kabupaten Jember juga pernah mencopot stiker pasangan calon bupati dan wakil bupati di beberapa angkutan kota dan kendaraan pribadi.

Menurut anggota Panwaslu Jember, Nur Elya Anggraeni, sah-sah saja jika calon kepala daerah membuat stiker sebagai bahan kampanye. Namun ukuran stiker itu harus sesuai aturan yang ditetapkan yakni berukuran 10 x 5 cm.

"Stiker yang terpasang di kaca belakang angkutan umum dan mobil pribadi tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga atribut kampanye tersebut melanggar aturan dan harus ditertibkan," tuturnya kepada Antara.

Larangan ini juga dipertegas Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Jember, Siswanto, yang mengatakan penempelan stiker yang menutupi seluruh kaca belakang mobil adalah tindakan yang sangat keliru.

"Seharusnya seluruh kaca tidak ditutup karena penutupan seluruh kaca akan mengganggu pandangan sopir ke belakang yang berdasarkan aturan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 dan PP Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Pengemudi," kata Siswanto dikutip Antara.

Menurut infomasi, sopir yang memasang stiker calon kepala daerah di angkutan kota akan diberi uang sebesar Rp50 ribu oleh tim sukses pasangan calon tersebut. Wajar saja jika para sopir tak keberatan melakukan tindakan konyol itu.

Selain Jember, Bawaslu Provinsi Papua juga pernah melakukan penertiban alat peraga kampanye, terutama stiker dan poster, pada April 2016 lalu karena diduga melanggar kampanye Pilkada 2017. Penertiban dilakukan dengan cara menyurati pemerintah daerah baik di Kabupaten maupun di Kota Jayapura.

"Sejumlah warga ini sudah mulai memasang poster dan spanduk di tempat-tempat umum, mulai dari Sentani hingga Kota Jayapura padahal tahapan pelaksanaan pilkada serentak belum dimulai," kata Komisi Divisi Pencegahan, Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Provinsi Papua, Anugrah Pata, dikutip dari Antara.

Sanksi untuk Pelanggaran Stiker Kampanye

Seperti tertera dalam Pasal 72, pelanggaran atas larangan ketentuan pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan ayat (4) akan dikenai sanksi peringatan tertulis atau perintah penurunan Alat Peraga Kampanye dalam waktu 1 x 24 jam.

Pelanggaran kampanye yang marak lewat stiker sangat mungkin bikin kita bertanya: Apa benar stiker mampu menarik massa untuk memilih pasangan calon?

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengatakan sampai saat ini belum ada kasus yang dapat membuktikan bahwa stiker-stiker para kandidat yang tersebar di tempat-tempat umum itu mampu memberikan kontribusi signifikan untuk pemenangan mereka.

Ia justu mengatakan stiker-stiker itu bisa mengurangi simpati masyarakat. “Sebaliknya, terdapat indikasi kuat bahwa pemasangan stiker yang liar seperti ini menyebabkan masyarakat tidak simpati dengan calon yang ada di stiker tersebut,” katanya kepada Tirto.

Dia juga mengatakan, penempelan stiker di fasilitas-fasilitas publik adalah bentuk pelanggaran regulasi karena tidak sesuai dengan etika kampanye dan hanya akan memperbanyak sampah visual.

Praktik pemasangan stiker, katanya, sebenarnya sekadar hura-hura dalam pesta demokrasi. Ini sangat tak sesuai dengan kesadaran pemilih yang semakin rasional dan lebih mengharapkan model kampanye dialogis antara calon kepala dan pemilih.

Hal ini dipertegas Sumbo Tinarbuko, dosen Desain Komunikasi Visual dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Menurutnya, penempelan stiker-stiker kampanye tak sesuai tempat yang hanya akan menurunkan pamor kandidat.

“Mereka yang melakukan kampanye dengan cara-cara yang tidak disepakati, sejatinya sedang bunuh diri lewat media komunikasi visual berbentuk APK,” kata Sumbo kepada Tirto.

Menurutnya, ruang publik harus dimiliki oleh siapa pun karena ruang publik itu esensinya adalah kemerdekaan visual.

“Saya katakan bunuh diri, orang yang sudah tidak suka, merasa terganggu kebebasan visualnya, kemudian entah dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, memainkan telepon pintarnya itu di potret dan diunggah ke media sosial, jadilah viral,” lanjutnya.

Infografik Stiker Kampanye

Sejarah Stiker dan Kampanye Politik

Penggunaan stiker sebagai media berkampanye sudah berlangsung lama. Di Amerika, misalnya, penggunaan stiker sudah muncul setengah abad silam. Perusahaan stiker bernama Gill Line yang didirikan Mark Gilman pernah mendapat pesanan sebanyak 20 juta stiker untuk kebutuhan kampanye calon presiden George Wallace pada 1968.

Gilman kemudian mengatakan stiker lebih sering digunakan oleh kandidat Partai Demokrat. “Kami membuat banyak stiker Bernie Sanders tahun ini [2016],” katanya dikutip dari The Atlantic.

Bernie Sanders adalah politisi Partai Demokrat yang sempat bertarung melawan Hillary Clinton untuk memperebutkan pencalonan presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat pada 2016.

Wallace dan Sanders tidak sendiri. Politikus yang menandai awal menggunakan stiker untuk slogan-slogan kampanye adalah Presiden Amerika ke-34 Dwight Eisenhower. Seperti dilansir dari Stickermule.com, pria yang akrab disapa Ike ini mulai memakai stiker pada pemilihan 1953.

Saat itu timnya meletakkan stiker di bumper mobil Ford Model A keluaran 1927 dengan kalimat “I Like Ike”. Melihat keampuhan stiker dalam menggerakkan alam bawah sadar masyarakat, ia pun kembali menggunakan cara ini dalam pemilihannya kembali pada 1956. Sejak itu hampir setiap pasangan calon presiden AS menggunakan stiker untuk strategi kampanye mereka.

Tidak hanya pasangan calon saja, stiker juga terbukti jadi alat yang langgeng dan efektif dalam retorika politik serta berperan penting dalam politik Amerika, terutama untuk mengajak orang mencoblos salah satu kandidat di bilik suara. Dimulai 1980-an, Ketua Dewan Kota mulai membagi-bagikan stiker bertuliskan “I Voted” untuk mengajak masyarakat mencoblos pasangan calon mereka.

Namun cara-cara ini tenggelam memasuki era 2000-an. Orang-orang mulai berswafoto (selfie) tak lama setelah mereka keluar dari bilik suara, lalu mengunggah foto itu ke media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter dengan membuat caption “I Voted”.

Hal ini juga dirasakan Gill Line. Meski pada 2016 lalu perusahaannya mampu menghasilkan lebih dari 2 juta dolar AS dari penjualan stiker, tapi Gilman harus mengakui penjualan stiker untuk kampanye sudah jauh menurun. Pasangan calon telah berpindah ke iklan digital dan media sosial sebagai sarana berkampanye.

Baca juga artikel terkait KAMPANYE atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Hukum
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Zen RS