tirto.id - وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” Demikian QS. al-Anbiya’ ayat 35. Ujian yang dimaksud di sini mencakup kewajiban keagamaan, bencana, atau kenikmatan.
Ayat di atas menggunakan bentuk pasif yuftanun. Pelakunya tidak disebut. Atas dasar itu pula ulama berbeda pendapat tentang maksudnya. Ada yang memahaminya dalam arti siksaan dan dengan demikian pelakunya adalah kaum musyrikin Mekkah, dan kata yutraku/ditinggalkan dalam arti dibiarkan melaksanakan ajaran agama dengan bebas merdeka. Yakni “Apakah mereka menduga akan dibiarkan oleh lawan-lawan Islam melaksanakan ajaran agama dengan bebas tanpa disiksa?”
Ada juga yang memahami kata yuftanun dalam arti diuji dengan aneka ujian, seperti kewajiban keagamaan atau kondisi positif dan negatif. Pendapat ini dikuatkan oleh lanjutan ayat yang menegaskan bahwa Allah pun telah menguji generasi-generasi yang lalu.
Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa pelaku fitnah/penyiksaan itu adalah kaum musyirikIn Mekkah. Dia menguatkan pendapat ini dengan penutup ayat 3 dari surat Al-Ankabut yang menyatakan bahwa: maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui (pula) para pembohong.
Hemat penulis, pendapat pertama lebih kuat karena secara jelas dan tegas pelaku yang memberikan ujian disebutkan, yakni Kami (Allah SWT). Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa kata fatanna, walau menunjuk kepada Allah SWT., maksudnya adalah orang-orang kafir itu. Keterlibatan Allah di sini, menurutnya, hanya pada penciptaan sunnatullah dan sebab-sebab yang digunakan oleh orang-orang kafir melakukan penyiksaan itu.
Perlu diingat bahwa yang dikemukakan Ibn ‘Asyur adalah pengalihan makna, sedang pendapat yang penulis kukuhkan tanpa penakwilan dan pengalihan makna. Sehingga, sekali lagi, itu lebih dapat diterima ketimbang pendapat yang berdasar pengalihan makna.
Sayyid Quthub secara panjang lebar mengemukakan aneka fitnah/ujian yang merupakan sunnatullah terhadap keimanan kaum beriman. Menurutnya, ujian itu bisa dalam bentuk menghadapi gangguan kebatilan dan para pelaku kebatilan, lalu sang mukmin tidak mendapatkan pelindung yang dapat membelanya, tidak juga kekuatan untuk menghadapinya.
Menurut Sayyid Quthub, inilah makna yang paling menonjol dari fitnah dan yang muncul seketika dalam benak jika kata tersebut terucapkan. Tetapi, bukan itu fitnah yang paling dahsyat. Masih banyak bentuk lain yang boleh jadi lebih sulit dan lebih parah. Ada fitnah keluarga dan teman-teman, yang seseorang takut jangan sampai mereka ditimpa kesulitan itu. Mereka boleh jadi bermohon agar ia mengalah dan menyerah dengan memperatasnamakan cinta dan kekerabatan. Fitnah semacam ini disinggung pada surat ini yaitu yang berkaitan dengan kedua ibu bapak yang memaksa anaknya murtad.
Ada lagi fitnah dalam bentuk kemegahan hidup dan hiasan duniawi yang melimpah, sukses dalam masyarakat, nama harum dan kekaguman, tetapi itu tercurah kepada para pendurhaka dan dilihat dengan jelas oleh yang beriman dan yang hidup dalam kemiskinan atau kesederhanaan. Ada juga fitnah dalam bentuk keterasingan dalam masyarakat akibat mempertahankan akidah, sedang yang berada di sekeliling tenggelam dalam kesesatan.
Ada lagi fitnah yang telihat dengan jelas dewasa ini, yaitu apa yang dijumpai oleh seorang mukmin pada keadaan bangsa-bangsa dan negara yang tenggelam dalam kebobrokan moral, kendati dari segi material mereka maju dan berperadaban. Selanjutnya, fitnah yang paling besar lagi paling dahsyat adalah fitnah hawa nafsu dan syahwat serta daya tarik dunia, kekuatan daging dan darah serta keinginan nafsu untuk meraih kelezatan dan kekuasaan, atau kenyamanan dan leha-leha. Semakin lama itu berlangsung, serta semakin lambat datangnya bantuan Allah, semakin berat pula fitnah itu dipikul. Ketika itu, tidak ada yang dapat bertahan kecuali yang dipelihara oleh Allah SWT., dan mereka itulah yang membuktikan hakikat iman pada diri mereka. Itulah ujian dan fitnah.
Allah menetapkannya sebagai keniscayaan, bukanlah untuk menyiksa manusia, tetapi untuk mendidik dan mempersiapkan mereka memikul amanah. Amanah membangun dunia ini, amanah membimbing manusia menuju jalan Allah serta menegakkan kalimat-Nya di pentas hidup ini. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub menjelaskan makna fitnah dalam berbagai bentuknya.
Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja masa lampau, yakni alladzina shadaqu ketika menunjuk orang-orang yang benar dan menggunakan bentuk ism fa’ill/active participle yaitu al-kadzibin ketika menunjuk para pembohong. Penggunaan kata kerja tersebut mengandung makna terjadinya apa yang ditunjuk walau sekali, sedang penggunaan bentuk ism fa’il berarti berulang-ulang serta mantapnya sifat tersebut pada siapa yang dimaksud.
Di sisi lain, penggabungan dua bentuk tersebut dalam redaksi ayat di atas mengisyaratkan adanya apa yang dinamai ihtibak, yaitu tidak menyebut satu kata/kalimat karena telah diisyaratkan oleh kata/kalimat sebelum atau sesudahnya. Dalam konteks ayat di atas, yang tidak disebut adalah kata ash-shadiqin/orang-orang yang sangat mantap dan berulang-ulang kebenarannya karena telah disebut sesudahnya yaitu kata al-kadzibin/para pembohong yang sangat mantap dan berulang-ulang kebohongannya. Di sisi lain, tidak juga disebut kalimat alladzina kadzabu/orang-orang yang berbohong walau sekali karena telah disebut sebelumnya kalimat alladzina shadaqu/orang-orang yang benar dalam sikap ucapan dan perbuatannya walau kebenarannya hanya sekali.
Firman-Nya: falaya’lamanna Allah/maka sesungguhnya Allah mengetahui menggunakan redaksi persona ketiga setelah sebelumnya menggunakan redaksi pesona pertama fatanna/Kami telah menguji. Pengalihan gaya redaksi itu untuk menekankan dan menanamkan rasa keagungan dalam jiwa pendengar sekaligus untuk menegaskan bahwa pengetahuan tentang hakikat iman atau kekufuran seseorang hanya diketahui oleh Allah semata. Karena itu, Allah melarang memuji dan menyucikan diri dengan sifat keimanan dan ketakwaan (baca QS. an-Najm [53]: 32), sebagaimana Nabi SAW. melarang mengkafirkan orang lain.
Nabi SAW. bersabda: “Apabila salah seorang berkata kepada sesamanya wahai kafir, salah satu dari keduanya pasti demikian. Kalau yang diucapkannya benar (maka dialah yang kafir), kalau tidak, ucapannya itu kembali mengenainya (yakni pengucapanyalah yang kafir)” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn ‘Umarra).
Pengetahuan Allah yang dimaksud, di samping makna yang penulis kemukakan sebelum ini, dapat juga berarti lahirnya kebenaran atau kebohongan dalam aktivitas manusia di alam nyata akibat fitnah/ujian dimaksud. Atau kata mengetahui yang dimaksud adalah dampak pengetahuan-Nya, yakni memberi balasan dan ganjaran kepada masing-masing.
=====
*) Naskah diambil dari buku "Tafsir al-Mishbah Vol. 10" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS