Menuju konten utama

Melihat Tangan Besi Alex Ferguson Menyulap Aberdeen

Cerita-cerita menarik yang jarang diketahui tentang Alex Ferguson selama menukangi St. Mirren dan terutama Aberdeen.

Melihat Tangan Besi Alex Ferguson Menyulap Aberdeen
Alex Ferguson sebagai pelatih Aberdeen FC. FOTO/afc.co.uk

tirto.id - Sudah pasti suporter Manchester United bersedih mendengar Alex Ferguson mengalami pendarahan di otak. Nostalgia segera berhamburan, tapi suara dari Aberdeen agak lain. Nostalgianya lebih pahit karena kesuksesan yang diberikan Fergie kepada Aberdeen FC sudah terlalu lama sekaligus tak pernah lagi bisa disamai manajer-manajer berikutnya hingga hari ini.

1978 hingga 1986 adalah masa keemasan Aberdeen sepanjang sejarah. Puncaknya terjadi pada 1983 saat mereka memenangkan Piala Winners Eropa dan Piala Super Eropa. Itu bukan hanya menjadi momen terakhir klub Skotlandia meraih trofi Eropa, melainkan satu-satunya bagi sejarah sepakbola Skotlandia bisa mengawinkan dua trofi Eropa. Semuanya terjadi saat Fergie memimpin Aberdeen.

Saat kabar Fergie masuk ICU meledak, sejumlah pendukung Aberdeen di media sosial mengutarakan betapa beruntungnya masa kecil atau masa remaja mereka karena diisi pengalaman menyaksikan klub kesayangan berjaya bukan hanya di tanah air tapi juga di benua. Salah seorang di antaranya, Jonathan Northcroft, menulis artikel dengan nada nyaris seperti elegi untuk The Sunday Times.

Northcroft, yang berusia 15 tahun saat Fergie meninggalkan Aberdeen menuju Man United, membuka artikel berjudul "Sir Alex Ferguson: A Born Fighter" dengan melankolis: "Anda tak pernah berpikir pahlawan saya akan menua dan Sir Alex Ferguson seperti masih mengendap-ngendap di garis tepi masa kanak-kanak saya..."

Aberdeen empat kali menjuarai Liga Skotlandia, tiga di antaranya diraih bersama Fergie. Aberdeen tujuh kali menjuarai Piala Skotlandia, empat di antaranya dicapai di era Fergie. Aberdeen enam kali menjuarai Piala Liga, dua di antaranya bersama Fergie. Puncaknya mereka meraih dua gelar Eropa (Piala Winners dan Piala Super Eropa), semuanya bersama Fergie.

Bagi Aberdeen, Ferguson tak ubahnya -- mengutip dua frase yang dipakai Northcraft -- "pencipta keajaiban" (the miracle maker) yang sanggup "membuat hal musykil menjadi mungkin" (he made the impossible the probable).

Dimulai dengan Menaklukkan Celtic

April, 1979. Aberdeen terpaut tujuh angka dari pemuncak klasemen Liga Primer Skotlandia saat itu, Glasgow Celtic. Itu jarak yang cukup jauh kendati masih ada lima laga lain melawan St Mirren, Dundee United, Hibernian, dan Partick Thistle. Termasuk pula laga tandang ke Celtic Park di Parkhead.

Aberdeen tentu dalam situasi terjepit dan memenangi liga terasa sulit. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Alex Ferguson.

Fergie, yang masih berusia 37 tahun saat itu, melatih Aberdeen selayaknya komandan tentara. Ia menganggap pertandingan sepakbola seperti peperangan dan lapangan hijau adalah medan laga penentu hidup dan mati. Fergie ogah kompromi dengan keadaan. Terdesak atau tidak, baginya hanya ada satu kata: menang. Dan itulah yang terus menerus ia katakan kepada skuat Aberdeen saat itu: mereka pasti mampu menjadi juara.

23 April 1979, laga Aberdeen kontra Celtic digelar. Sekitar 60.000 orang memadati Celtic Park. Ada satu sudut tribun yang paling ditakuti pihak lawan dan dikenal dengan nama The Jungle. Di sanalah tempat para suporter garis keras Celtic memberi dukungan kepada timnya sembari mengintimidasi lawan sepanjang pertandingan.

Diceritakan ulang dengan hidup oleh Thore Haugstad dalam artikel "Furious Fergie" yang tayang di Timeontheball.net, beginilah cara Aberdeen menaklukkan Celtic:

Aberdeen menyambut The Jungle dengan melakukan provokasi sejak tim baru melakukan pemanasan. Douglas Rougvie pelakunya. Persis di depan kerumunan suporter yang memadati The Jungle, Rougvie berulang kali melakukan sprint dan gerakan seolah-olah sedang menyundul bola. Suporter Celtic terpancing dan meneriaki Rougvie: “Awas kau, bangsat!”

Rougvie malah ketawa cekikikan setelahnya. Pesan yang ditunjukkan lewat provokasi Rougvie jelas: nyali Aberdeen tak akan ciut hanya karena intimidasi suporter. Dan benar saja, lewat gol-gol dari Steve Archibald (8), Mark McGhee (45), dan Gordon Strachan (64), The Dons menang 3-1 atas tuan rumah.

Strachan merayakan golnya dengan mengepalkan tinju persis di depan tribun The Jungle. Perlu diketahui: perayaan tersebut memang permintaan khusus Fergie: “Biar seluruh Celtic paham bahwa kami berada di sana untuk menang.”

Trek perburuan gelar pun berubah sejak laga tersebut. Aberdeen, yang punya keunggulan satu laga dari Celtic, terus melaju. Dalam laga tandang kontra Hibernian, The Dons memastikan gelar juara liga dengan cara sempurna: menang telak 5-0. Sementara Celtic yang melakoni laga terakhirnya, hanya mampu bermain imbang 0-0 melawan St. Mirren, klub yang sebelumnya dilatih Fergie.

Saat peluit panjang dibunyikan, seluruh skuat dan staf pelatih Aberdeen berhamburan ke lapangan. Ferguson, dengan jas hitam panjang yang teruntai ke belakang, memeluk erat dan menjabat tangan siapa saja yang dilihatnya. Adapun Strachan, karena saking senangnya, ia justru sakit perut dan mesti bolak-balik ke toilet.

Itu hanyalah permulaan. Setelah membongkar dominasi duo Glasgow, misi Fergie selanjutnya adalah: menaklukkan Eropa. Kelak, dalam perjalanannya, ia membuktikan semua itu bukan hanya bualan.

Hari-Hari di St Mirren

Tak ada yang menyangsikan kebesaran Alexander Chapman Ferguson sebagai pelatih. Meski begitu, ia bukannya tak pernah merasakan pemecatan. Pada Mei 1978, Fergie muda mengalami pemecatan pertama (sekaligus yang terakhir) kala melatih St. Mirren. Ironisnya, tak pernah benar-benar ada keterangan jelas mengapa ia dipecat.

Versi St. Mirren, sebagaimana ditulis Billy Adams dalam artikel di Sunday Herald, Fergie telah melakukan banyak pelanggaran kontrak kerja. Sementara Nicky Campbell di The Guardian menulis si pelatih pernah kedapatan mengintimidasi sekretaris direksi agar para pemain muda (yang di cerita lain diduga akan diajak Fergie ke klub barunya) bebas pajak.

Fergie yang merasa tidak terima dengan perlakuan St. Mirren membawa kasus tersebut ke pengadilan hubungan industrial. Ia kalah dan juga tidak diberi izin untuk naik banding.

Chairman St. Mirren ketika itu, Willie Todd, dalam tulisannya di The Guardian, menyebut pemecatan Fergie bukanlah seperti yang disebutkan di atas. Melainkan Fergie sendiri yang ingin pindah klub dan mengakibatkan kisruh klub.

“Empat hari sebelum ia pergi, saya tahu ia berbicara kepada semua pegawai bahwa ia akan pindah ke Aberdeen. Salah seorang wartawan ternama ketika itu, Jim Rodger dari Daily Mirror, memberitahu kami bahwa Alex telah meminta setidaknya satu pemain dari skuat untuk ikut ke Aberdeen.”

Todd melanjutkan: “Hal tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap kontrak (kerjanya), sebab Alex masih terikat kontrak dengan St. Mirren dan Aberdeen pun tidak menghubungi kami untuk mendiskusikan kompensasi. Ada banyak isu lain yang berkembang ketika itu, salah satunya Alex ingin pemain yang ia boyong dari St. Mirren terbebas dari biaya pajak. Tetapi itu semua tak benar. Yang benar adalah kondisi St. Mirren menjadi tidak stabil karena sang manajer ingin pergi.”

Todd tidak merasa baik-baik saja karena kepergian Fergie itu. Ia merasa hal tersebut seharusnya tidak terjadi.

“Saya tentu menyesal. Selama ini semua berjalan baik-baik saja. Sangat disayangkan Aberdeen tidak pernah datang kepada kami untuk membicarakan dengan jelas bahwa mereka menginginkan manajer kami, karena dengan begitu kami dapat melakukan semuanya dengan cara yang lebih baik.”

Selama empat musim di sana (1974-1978), Fergie berhasil menyulap St Mirren yang sebelumnya berkutat di papan bawah Divisi 2 menembus Divisi 1 liga sepakbola Skotlandia. Todd membayangkan hal-hal bagus andai Fergie bertahan. Namun Fergie memang pergi.

Fergie tiba di Aberdeen dengan mematok dua target tinggi: menembus barikade dominasi duo Glasgow (Rangers dan Celtic) dan membuat klub barunya tersebut tampil apik di kompetisi Eropa. Kelak, sejarah akan mencatat bahwa Fergie tak asal bacot

Jejak Langkah Fergie di Aberdeen

Saat mulai melatih Aberdeen, usianya baru 37 tahun. Tak mudah baginya mendapatkan hormat dengan usia yang tak berjarak jauh dari para pemain. Fergie kemudian merekrut Archie Knox dari Forfar sebagai asisten. Sebagaimana dirinya, Knox juga pria galak yang hanya tahu dua metode melatih: disiplin dan kerja keras. Sejak rezim Fergie dan Knox bekerja, teror pun dimulai.

Alex McLeish, mantan pemain Aberdeen, selalu mendengar kata “ulangi, ulangi, ulangi” tiap latihan, seperti propaganda. Sementara Peter Weir menyebut betapa manajer selalu membuatnya takut. Begitu kuat tekanan mental yang dihadirkan Fergie dan Knox, sampai-sampai Eric Black, yang juga bekas pemain bertahan The Dons, mengira hal tersebut lumrah belaka.

“Saya tumbuh dewasa dengan mengira adalah normal jika ruang ganti seperti itu.”

Jika Anda pernah mendengar istilah Alex Ferguson's hairdryer treatment, sejak di Aberdeen hal itu mulai diterapkan secara metodologis. Salah satu korban pertama semprotan Fergie adalah Gordon Strachan. Bukan hanya kena semprot, bekas pelatih Skotlandia tersebut juga nyaris diguyur air panas oleh Si Opa.

Hal itu terjadi ketika Aberdeen tengah bertanding melawan tim dari Rumania. Aberdeen sudah unggul 3-0 di leg pertama, tapi di leg kedua semua berubah.

“Suatu hari kami bermain di Rumania dan dia (Fergie) mengubah sistem (bermain). Kami menang 3-0 di leg pertama dan untuk mengamankan hasil, dia memainkan 4-3-3. Kami kalah 0-2 dalam 20 menit. Jadi, ya, jelas, sistemnya tak berjalan dengan baik. Tapi dia terus menerus menyalahkanku atas semuanya,” ungkap Strachan dikutip dari The Sun.

“Saat ada jeda sebentar, saya nyeletuk kepadanya di pinggir lapangan, ‘Taktikmu sampah’. Semua orang di bench panik, ‘Oh, tidak’.”

Ketika babak pertama usai, Strachan mengira Fergie telah melupakan ucapannya tersebut. Namun, tentu saja, itu harapan yang bodoh.

“Pada istirahat babak pertama, saya berpikir ia telah melupakan apa yang saya bilang tadi, karena dimarahi dia itu nggak enak banget. Tapi kamu tahu kamu sedang berada dalam masalah ketika kamu tengah duduk di ruang ganti, dua orang lain di sampingmu mendadak pergi begitu saja.”

Apa yang akan dikisahkan Strachan selanjutnya bisa jadi salah satu momen paling menyeramkan, sekaligus paling lucu, dalam sejarah kepelatihan Fergie.

“Dia biasanya memakai sepatu hitam yang mengkilat. Sepatu ini selalu mencari seseorang untuk dimarahi. Saat itu, sepatu tersebut berhenti di hadapanku dan seolah berkata: ‘Oh, tidak, ini dia’.”

Strachan melanjutkan: “Di meja ada samovar -- semacam teko -- dari Rusia yang berisikan air panas. Dia mencoba menyiramkannya kepadaku tapi karena isinya terlalu penuh, air panas itu justru tumpah ke sepatunya. Saya tak bisa menahan tawa. Ia kembali mencoba menyiram saya, kali ini dengan cangkir, tapi malah mengenai kepala Miller dan Alec McLeish. Saya tambah ngakak.”

Di babak kedua, Fergie mengubah formasi tim dan memainkan 4-4-2. Ketika pertandingan berjalan 20 menit, Aberdeen mendapatkan penalti. Sial bagi Strachan, dia mendengar Fergie berteriak dari pinggir lapangan: "Strachan sialan!"

Artinya: Fergie menginginkan Strachan untuk mengeksekusi. "Saya berhasil menendang penalti tersebut setelah berhadapan dengan kiper terbesar di dunia. Saya gantian meledek Fergie: ‘Makan, tuh, bangsat!’

Fergie makin muntab. “Dia mencoba masuk ke lapangan untuk mengejarku. (Tapi) pemain lain keburu mencegahnya.”

Strachan memang pemain bengal yang terhitung cukup sering mendapatkan hairdryer treatment dari Fergie, baik di Aberdeen maupun saat keduanya bertemu kembali di Manchester United. Kendati demikian, hormat Strachan kepada bekas pelatihnya tersebut tak pernah sirna, bahkan walau pun keduanya kembali berseteru saat Strachan sudah meniti karier sebagai pelatih.

“Dia pria sejati. Orang gila tapi juga salah satu pelatih terbaik yang pernah kau miliki," kenang Strachan kepada The Sun. Kali lain, kepada Daily Mirror, Strachan menyebut Fergie sebagai "manajer dengan pikiran terkuat di dunia".

Knox juga mengakui atmosfer Aberdeen saat itu memang tidak dirancang agar pemain dapat menemukan “pundak untuk menangis”. Mereka diharapkan jadi semakin tangguh justru setelah mendapat caci maki. Selain itu, tiap pemain juga selalu didoktrin bahwa semua orang, dari wasit hingga pers, sangat membenci mereka.

“Saya punya tongkat baseball. Terkadang saya masuk ke ruang ganti dengan tongkat tersebut dan melemparkannya ke arah mereka,” ucap Knox, dikutip dari BBC.

Pernyataan yang tak jauh berbeda juga diungkapkan Willie Miller, salah satu penggawa Aberdeen saat itu. Menurutnya, apa yang dilakukan Fergie dan Knox demi mengeluarkan puncak kehebatan para pemainnya.

“Sir Alex tahu bahwa dia memiliki pemain-pemain yang jujur dan dapat dipercaya, tapi dia harus mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Ia menggunakan taktik berbeda untuk tiap pemain. Jika sebuah cangkir dapat melayang, maka, ya, apa boleh bikin. Biasanya hal tersebut berguna, kok.”

Musim pertama Fergie di Aberdeen belum bisa dikatakan cemerlang: mencapai babak semifinal Piala Skotlandia, semifinal Piala Liga Skotlandia, dan finish di urutan empat di liga. Barulah di musim kedua, setelah ketambahan beberapa pemain baru di bursa transfer musim panas dan memaksimalkan para pemain bintang Aberdeen kala itu seperti Jim Leighton, Alex McLeish, dan Gordon Strachan, kerja Fergie mulai membuahkan hasil.

Kendati memulai musim dengan tidak meyakinkan, Aberdeen akhirnya berhasil menjadi juara Liga Skotlandia pada musim itu. Ini adalah gelar pertama Aberdeen sejak 15 tahun terakhir. Selain itu, Fergie juga membawa Aberdeen melaju ke final Piala Liga Skotlandia, namun takluk dari Dundee United. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas kekalahan tersebut karena tidak mengubah komposisi tim.

Tapi kisah terbaik Fergie di Aberdeen terjadi pada 1983, ketika ia membawa The Dons mengalahkan Real Madrid di final Piala Winners.

Malam Terhebat di Pittodrie

Fergie selalu ingat saat menyaksikan Real Madrid membantai Eintracht Frankfurt 7-3 di final Piala Champions 1960. Bersama sekitar 127.000 orang yang memadati stadion Hampden Park, Fergie yang baru tiga tahun mencicipi status sebagai pemain profesional dibuat terpukau dengan kehebatan Alfredo di Stefano yang mencetak trigol dalam laga tersebut. Kesan tersebut menancap betul dalam ingatannya.

“Dia punya keseimbangan dan ketenangan yang fantastis. Jika Anda melihat salah satu golnya yang ia cetak saat melawan Frankfurt, itulah yang saya maksud – keseimbangan yang luar biasa,” ucap Fergie kepada Sky Sports.

Siapa yang menyangka 20 tahun kemudian Fergie dan Di Stefano justru saling berhadapan?

Pada saat itu, Fergie mulai menemukan stabilitas di Aberdeen. Para pemain, fans, dan juga direksi bukan saja sudah mempercayainya, tetapi juga mulai mempercayai bahwa Fergie dapat memberikan lebih dari pencapaiannya sejauh ini. Namun itu hanya terjadi dalam tingkat lokal. Sementara di kancah Eropa, nama Fergie masih kelewat asing untuk diketahui.

Kegelimangan Aberdeen di kejuaraan Piala Winners pun bukan jenis keberuntungan khas tim-tim kuda hitam. Sejak awal babak penyisihan, The Dons sudah menunjukkan tajinya dengan menyingkirkan Sion. Tak tanggung-tanggung, dalam dua leg, Aberdeen menang dengan agregat 11-1.

Di babak perempat final, Aberdeen kembali mendemonstrasikan ketangguhannya kala menyingkirkan salah satu raksasa Eropa, Bayern Munich. Setelah bermain imbang 0-0 di Olympic Stadium, The Dons, berhasil mengalahkan Die Roten lewat pertandingan dramatis yang berujung dengan skor skor 3-2.

Aberdeen memenangkan laga itu dengan cara yang kelak akan menjadi khas Ferguson: membalikkan keadaan. Dua kali mereka tertinggal: 1-0 lewat gol Klaus Augenthaler, kemudian 2-1 setelah Hans Pflügler mencetal gol. Memasuki 15 menit terakhir, Aberdeen membalikkan keadaan dengan cara spektakuler: mencetak dua gol dalam rentang waktu kurang dari dua menit. Alex McLeish mencetak gol menit 77, skor menjadi 2-2. Pada menit 78, pemain cadangan yang baru masuk, John Hewitt, mencetak gol. Skor 3-2 bertahan hingga akhir laga.

Para suporter Aberdeen menyebut pertandingan itu sebagai "Pittodrie's greatest night".

Namun yang terhebat masih akan terjadi beberapa waktu kemudian, dan itu tidak terjadi di Stadion Pittodrie, kandang Aberdeen.

Wiski untuk Di Stefano

Kendati berhasil menang atas Munich dan di semifinal juga mengandaskan perlawanan Waterschei dengan agregat meyakinkan 5-2, Aberdeen, toh, tetap dianggap underdog. Maklum saja, di final mereka akan bertemu Real Madrid yang ketika itu dilatih Alfredo Di Stefano. Mengandalkan pemain-pemain seperti Jose Antonio Camacho, Ricardo Gallego, Uli Stielike, Juanito Gonzalez, hingga Carlos Santillana, Los Blancos pantas diunggulkan.

Fergie menyambut laga tersebut dengan antusias, terutama karena ia akan berhadapan dengan idolanya. Sejak sehari sebelumnya, ketika kedua tim baru selesai pemanasan, Fergie sudah menunjukkan hal tersebut.

“Jujur saja, saya agak gugup ketika bertemu pria hebat ini. Pada sesi latihan malam sebelumnya, sebagai bentuk penghormatan, saya membawakan sebotol wiski Scottish Malt dan dia cukup terkejut. Dia tidak berbicara bahasa Inggris, saya pun tidak bisa bahasa Spanyol, tapi sikapnya menunjukkan bahwa ia terkesan dengan pemberian tersebut,” kata Fergie kepada BBC.

Ide memberi Di Stefano hadiah berasal dari Jock Stein, manajer legendaris dalam sejarah Skotlandia, yang berhasil membawa Glasgow Celtic menjuarai Piala Champions Eropa pada 1967. Fergie memang sangat menghormati Stein, ia bahkan bisa dianggap mentornya. Ide Stein sederhana: berusaha membuat Di Stefano lengah.

"Biarkan dia merasa penting. [Biar dia merasa] seolah-olah kau sudah cukup senang hanya dengan masuk final," kata Stein pada Fergie.

Selain hadiah wiski itu, Fergie juga melakukan beberapa persiapan tak biasa. Salah satunya adalah mengumpulkan para istri pemain sebelum keberangkatan ke Swedia. Dalam otobiografinya, Managing My Life, yang dikutip Daily Record, Fergie sempat bernostalgia tentang laga ini.

“Saya merasa dukungan dari keluarga kepada para pemain sungguh penting dalam partai final ini. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengundang para istri mereka ke tempat latihan. Ketika itu para istri mereka justru bercanda dengan memberikan seperangkat peralatan kepada para suaminya, seperti dua buah cangkir, pisau, garpu, kantung tidur, dan peralatan untuk berkemah lainnya. Rupanya guyonan itu lebih ampuh dari apa yang saya harapkan.”

Laga ini memang begitu spesial bagi para fans Aberdeen. Mereka menuju Gothenburg, Swedia, dengan segala cara. Sebagian terbanyak pergi dengan naik kapal feri St Clair. Sisanya naik pesawat bahkan membawa mobil sendiri. Para fans Aberdeen itu akan menjadi saksi malam terhebat sepanjang sejarah Aberdeen, yang kelak terbukti tak akan pernah tertandingi hingga ribuan malam yang lain setelah itu.

Bahkan istri Fergie sendiri, Cathy, yang biasanya cuek dengan sepakbola, ikut merayakannya. “Bahkan Cathy, yang selama ini tak pernah tertarik kepada sepakbola, juga ikut hiruk pikuk di Aberdeen. Sampai-sampai ia kesulitan menjaga anak-anak kami agar fokus di sekolah.”

Lalu bagaimana dengan para pemain? Kesaksian Strachan soal atsmofir kamar ganti menjelang pertandingan final itu bisa menggambarkan secara plastis bagaimana Fergie membangun suasana: "Energi alami di ruang ganti sangat mengerikan. Jika Anda bisa mengubahnya menjadi listrik, Anda bisa menyalakan seluruh bagian utara Skotlandia."

Infografik Karier alex Ferguson

Menaklukkan Eropa

Di bawah guyuran hujan, Aberdeen memasuki pertandingan bukan dengan mentalitas underdog. Baru berjalan tujuh menit, Aberdeen sudah unggul 1-0 melalui aksi Eric Black. Si pemain bahkan bisa saja mencetak gol lebih cepat jika tendangan volinya di menit keempat tidak membentur mistar gawang.

Madrid menyamakan kedudukan di menit ke-15. Berawal dari kesalahan operan Alex McLeish kepada kiper Jim Leighton, bola kemudian direbut oleh penyerang Madrid, Santilana. Leighton yang coba menghalau penetrasi Santilana justru membuat lawannya jatuh di dalam kotak 16.

Wasit Gianfranco Menegali cepat meniup peluit: penalti untuk Madrid. Juanito, yang menjadi eksekutor Madrid, sukses menceploskan bola. Skor 1-1 bertahan hingga babak perpanjangan waktu.

Sebelum babak kedua berakhir, Ferguson melakukan pergantian pemain pertama sekaligus terakhir di laga ini. Lagi-lagi ia memasukkan John Hewitt, penentu kemenangan atas Bayern, untuk menggantikan Eric Black. Terbukti: pergantian pemain itu menentukan sejarah.

Pada menit ke-112, berawal dari operan Peter Weir kepada Mark McGhee di sisi kiri. Dengan posisi tengah dibayangi Juan Jose, bek kanan Madrid, McGhee berhasil mengirim umpan silang ke kotak penalti. Di sana sudah ada John Hewitt di akhir babak kedua. Sambil menjatuhkan badan, ia menyundul bola tersebut, dan gol! Aberdeen 2-1 Madrid.

Skor pun bertahan hingga laga usai. Aberdeen mencetak sejarah. Inilah trofi pertama mereka di kancah Eropa.

Para pemain Madrid mengeluhkan kondisi lapangan yang becek membuat permainan mereka tak berkembang. Tetapi, sang pelatih, Di Stefano, justru memberi selamat kepada Aberdeen.

"Setelah pertandingan, Di Stefano bersikap sangat murah hati dan dia mengatakan Aberdeen adalah tim yang tak bisa dibeli dengan uang, karena memiliki jiwa dan semangat keluarga," kenang Ferguson.

Kemenangan atas Madrid menjadi salah satu faktor krusial dalam karier Fergie. Terlebih setelahnya Fergie juga sukses membawa Aberdeen meraih trofi bergengsi lain: Piala Super Eropa. Dalam laga yang mempertemukan Juara Piala Winners dan Juara Piala Champions Eropa itu, Aberdeen mengalahkan Hamburger SV dengan agregat 2-0 (0-0 di leg pertama dan 2-0 di leg kedua di kandang sendiri pada 20 Desember 1983).

Kendati berhasil mengalahkan Madrid sebelumnya, namun masih banyak yang menganggap keberhasilan Aberdeen di Piala Winners semata kebetulan. Laga melawan Hamburg pun masih saja Aberdeen diposisikan sebagai underdog. Piala Super Cup membuktikan bahwa segalanya memang bukan kebetulan. Strachan menyebutnya sebagai "hiasan yang menyempurnakan kue".

"[Sejak itu] tak ada yang bisa mendebat betapa kami adalah tim terbaik Eropa pada 1983," kata Strachan, pemain yang dua tahun lebih dulu pindah ke Manchester United dibandingkan Fergie itu.

Satu-satunya Kesempatan Adalah Bersama Fergie

Pada 6 November 1986 atau tiga tahun sejak musim monumental tersebut, Ferguson memutuskan berlabuh ke Manchester United.

Setelah kepergian Fergie, tahun demi tahun Aberdeen diisi dengan hal-hal biasa: menyaksikan Old Firm (Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers) bergantian menjadi juara liga. Sesekali The Dons menjuarai Piala Liga atau Piala Skotlandia, tapi tak pernah lagi mereka menjuarai liga, apalagi meraih trofi Eropa.

Tentang hal itu, ucapan Mark McGhee, pencetak gol kedua Aberdeen ke gawang Hamburg di leg kedua Piala Super Eropa, bisa memberikan gambaran. Kepada Sky Sports, ia mengungkapkan apa yang berkecamuk di kepalanya saat menghadapi laga melawan Hamburg SV.

"Saya ingin mengambil keuntungan dari kesuksesan yang kami miliki [di musim 1983] karena Aberdeen bukanlah tempat di mana kami bisa mendapat hasil cemerlang selain saat Ferguson berada di sana."

Baca juga artikel terkait MANCHESTER UNITED atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Reporter: Eddward S Kennedy
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS