Menuju konten utama

Matinya Kopaszewski dan Lahirnya Legenda Raymond Kopa

Raymond Kopa menghembuskan napas terakhirnya pada usia 85 tahun.

Matinya Kopaszewski dan Lahirnya Legenda Raymond Kopa
Legenda Real Madrid, Raymond Kopa. FOTO/Eurosport

tirto.id - “Real Madrid bermain seperti pertunjukan kembang api yang fantastis dalam jangka waktu yang lama,” tulis reporter Prancis, Jean Eskanzi, saat mengomentari periode Real Madrid terhebat sepanjang masa.

Real Madrid era 1950 sampai 1960 adalah klub yang jauh lebih mengerikan daripada AC Milan-nya Arrigo Sacchi atau Barcelona-nya Josep Guardiola. Memenangkan Piala Champions 5 kali beruturt-turut, dan ditetapkan FIFA sebagai klub terbaik dunia abad 20. Pada era tersebut, Madrid adalah Los Galacticos sebenarnya—bahkan sebelum julukan itu ada. Alfredo Di Stefano, Farencs Puskas, dan dilengkapi dengan penyerang gaek: Raymond Kopa.

“Saat Anda punya bakat seperti Raymond Kopa, Farencs Puskas, dan Alfredo Di Stefano, Anda harus menempatkannya ke dalam tim yang bermain amat menyerang,” tutur Fransisco Gento, legenda Madrid yang bermain bersama ketiganya, “tak mengejutkan jika kami memenangkan banyak Piala Champions.”

Sekalipun bermain bersama pemain sehebat Farenc Puskas dan Alfredo di Stefano—salah satu pemain terbaik sepanjang masa—talenta Kopa tetap tidak tertutup. Dan itu bisa dibuktikan pemain berkewarganegaraan Prancis ini dengan tetap mampu meraih gelar Ballon d’Or 1958.

Tidak banyak yang tahu, pada Piala Dunia 1958 di Swedia, tempat di mana legenda bernama Pele pertama kali muncul, Kopa adalah pemain yang bermain begitu luar biasa meskipun dihajar habis-habisan oleh Brasil di semifinal. Hugh Dauncey menyebut Kopa dalam France and The 1998 World Cup: The National Impact of a World Sporting Event (Routledge, 1998 :48) adalah salah satu talenta terbaik yang pernah dimiliki Prancis sepanjang masa.

Dauncey menyebut karakter bermain Kopa membuatnya begitu mudah popular. Sebagai penyerang murni, Kopa tidak hanya mengandalkan umpan-umpan matang dari rekan-rekannya untuk mencetak gol. Kemampuannya menggiring bola yang hebat menempatkan Prancis menjadi skuad yang menakutkan saat Kopa diduetkan dengan Just Fontaine.

Sekalipun menjadi pemain luar biasa bagi negaranya, status Kopa yang merupakan keturunan imigran dari Polandia sempat jadi masalah. Hal yang semakin kencang saat Prancis menampilkan salah satu penampilan terburuknya pada Piala Dunia 1954 di Swiss. “Kopa, kembali ke tambang!” (1998:49) muncul sebagai kritikan yang bukan hanya menyerang permainan Kopa, tapi juga asal-usulnya.

Apalagi pada era tersebut, Polandia adalah negara yang masuk jadi bagian dari Soviet pasca-Perang Dunia II. Kopa mendapatkan dua bentuk sentimen. Pertama, soal ideologi negara kelahirannya yang berhaluan komunis (akibat dikuasai Soviet) dan kedua karena dalam sejarah Perang Dunia II, banyak warga Polandia yang ikut serta menjadi tentara Nazi Jerman. Pada akhirnya, layak untuk disebut bahwa Kopa adalah pahlawan bagi imigran-imigran Prancis yang sempat mendapatkan sentimen sosial soal asal-usulnya.

Untuk meninggalkan identitas Polandianya, nama belakang Raymond pun diubah. Dari awalnya; Kopaszewski, jadi Kopa. Dalam autobiografinya pada 1958, pada bagian akhir buku tertulis kalimat: “Kopaszewski est mort, vive Kopa!” (Kopaszewski sudah mati, panjang umur Kopa!).

Kopa menceritakan bagaimana rasanya menjadi imigran Polandia di Prancis. Ia mengaku mengubah nama bukan karena alasan rasial, namun justru karena ini merupakan salah satu cara “memaafkan” Prancis. Pada faktanya, Kopa memang membuktikan di mana sebenarnya identitas aslinya berada. Bukan di bendera Polandia, tapi di bendera Prancis. Tempat di mana ia kemudian menjadi legenda.

Infografik Raymon KopasZewski

Kopa disebut Gabriel Hanot, Jurnalis Olahraga French Football, sebagai representasi simbol “New France”. Seorang anak yang baru diakui identitas Prancisnya di usia 21 dan berhasil membuktikan kapasitasnya dengan—dalam bahasa Hanot: “penuh intregitas”.

Pada akhirnya Kopa dikenal lebih dari sekadar sosok idola olahraga bagi rakyat Prancis, namun juga dianggap sebagai simbol dari apa yang bisa Anda peroleh dari sistem ekonomi liberal Prancis. Di negara yang menganggapnya imigran, Kopa menunjukkan bahwa harga diri bisa dibayar dengan kerja keras.

Di Madrid, Kopa memang tidak sepopuler Puskas atau Di Stefano, namun di Prancis dia adalah pahlawan. Bukan seperti Michael Platini atau Zinedine Zidane yang diakui karena kapasitas sebagai pemain di atas lapangan yang memberi gelar internasional untuk Prancis, namun karena Kopa punya pengaruh luar biasa di luar lapangan.

Jumat 3 Maret 2017, dunia sepak bola pada umumnya dan perjuangan warga keturunan di Prancis pada khususnya kehilangan pahlawan mereka. Kopa menghembuskan napas terakhirnya pada usia 85 tahun. Setelah menderita sakit berkepanjangan, legenda Prancis dan Madrid ini harus menyusul dua kompatriotnya; Afredo di Stefano dan Farenc Puskas. Menuju ruang keabadian.

Tubuh Raymond Kopaszewski memang sudah mati, tapi tidak dengan semangat Raymond Kopa.

Vive, Kopa!

Baca juga artikel terkait LEGENDA SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi