tirto.id - Pada awal Desember 2019, virus corona baru, 2019-nCoV, teridentifikasi di kota Wuhan, Cina. Laporan berjudul “Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China,” yang ditulis Prof. Chaolin Huang, kemudian menyebut bahwa hingga 2 Januari 2020, 41 orang terbukti secara laboratorium terjangkit virus yang melahirkan gejala mirip pneumonia.
Memasuki Februari 2010, sebagaimana dicatat The New York Times, 1.016 jiwa asal Cina meregang nyawa selepas terinfeksi 2019-cCoV.
Kota Wuhan di Cina adalah ground zero 2019-nCoV. Banyak negara lain yang terjangkit. Amerika Serikat misalnya. Menurut “First Case of 2019 Novel Coronavirus in the United States” yang disusun Michelle L. Holshue, kasus pertama virus corona di negeri Paman Sam muncul pada 20 Januari 2020. Kini, tercatat ada 12 orang di Amerika yang positif terkena corona. Lalu, ada 5 orang di Kanada, 12 orang di Jerman, 2 orang di Inggris, dan 2 orang di Rusia.
Di Asia, selain Cina, 35 kasus positif corona menimpa Jepang, 28 kasus di Singapura, 25 kasus di Thailand, 19 kasus di Korea Selatan, 12 kasus di Malaysia, 11 kasus di Taiwan, 10 kasus di Vietnam, tiga kasus di India, dua kasus di Filipina, dan masing-masing satu kasus positif corona di Kamboja, Sri Lanka, serta Nepal.
Salah satu alasan mengapa virus corona cepat menyebar ke banyak negara adalah posisi Wuhan sebagai kota yang tengah berkembang pesat dengan tingkat mobilitas keluar-masuk yang besar. Wuhan adalah ibukota provinsi Hubei, yang terletak di titik temu sungai Han dan Yangtze. Dalam laporan yang dimuat Komisi Perdagangan Kanada pada 2009 lalu, Pemerintah Cina menyatakan bahwa Hubei direncanakan sebagai tempat berkembangnya ekonomi di wilayah tengah Cina. Kota ini juga disebut sebagai salah satu titik utama proyek “Jalur Sutra Baru” Cina.
Sebagai ibukota provinsi, Wuhan termasuk kota tersibuk di Cina. Tak hanya itu, terdapat 96 institusi penelitian dan pengembangan yang berlokasi di Wuhan serta 21 laboratorium vital milik negara.
Dari posisi yang cukup tinggi ini, banyak orang bepergian dari dan menuju Wuhan. Laporan berjudul “Nowcasting and forecasting the potential domestic and international spread of the 2019-nCoV outbreak originating in Wuhan, China: a modelling study,” yang disusun Joseph T. Wu menyebut jumlah penumpang udara internasional di Wuhan terbilang tinggi. Untuk satu bulan saja, rata-rata 16.202 penumpang internasional di bandara Wuhan menuju Bangkok, Thailand. Laporan yang sama menyebur 2.504 penumpang asal bandara Wuhan yang menuju London, Inggris.
Sejauh ini Indonesia--yang cukup terkoneksi dengan Wuhan--belum melaporkan adanya kasus positif virus corona. Padahal rata-rata ada 2.432 penumpang asal Wuhan yang terbang ke Denpasar, Indonesia tiap bulannya. Bandingkan, misalnya, dengan data penumpang asal Wuhan yang terbang ke Thailand di atas. Hingga kini, masih merujuk laporan The New York Times, terdapat 32 kasus positif virus corona di Thailand. Lalu, Korea Selatan yang memperoleh kunjungan 5.982 penumpang asal Wuhan per bulan melaporkan terdapat 28 kasus positif virus corona.
Keanehan hubungan Wuhan-Indonesia yang tidak menghasilkan kasus positif virus corona tidak hanya terjadi kali ini saja. Jika ditilik dari persebaran wabah penyakit global seperti SARS, MERS, hingga ebola, Indonesia memang kerap tak terjangkit atau mengalami jeda yang cukup lama untuk terjangkit.
SARS alias Severe Acute Respiratory Syndrome yang disebabkan oleh virus corona SARS (SARS-CoV), mewabah pada 2003. Kasus pertama wabah ini muncul pada 16 November 2002 di Foshan, Guangdong, Cina. Tiga bulan berselang, pada 10 Februari 2003, sebagaimana dirilis laman resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), muncul kasus besar di Guangdong yang mengakibatkan lebih dari 100 orang meninggal.
Wabah kemudian menyeberang ke Hongkong tujuh hari berikutnya. Seorang pria berusia 33 tahun dikabarkan meninggal dunia. Pada 23 Februari, wanita berusia 78 tahun di Kanada positif terjangkit SARS-CoV. SARS positif diidap beberapa orang berturut-turut di Vietnam, Filipina, Taiwan, Thailand, dan Singapura.
Pada pertengahan Maret di tahun yang sama, seorang dokter asal Singapura sekaligus salah satu penanggap pertama (first responder) SARS, tengah dalam penerbangan New York-Singapura. Ia terpaksa berlabuh di Frankfurt, Jerman, karena positif terinfeksi virus SARS. Sang dokter adalah kasus pertama SARS di Jerman. Lima hari berselang, Paman Sam mengkonfirmasi adanya kasus positif SARS.
WHO menyebut, sejak pertama kali teridentifikasi hingga akhir 2003, SARS menjangkiti orang-orang di 26 negara, dengan total 8.000 kasus. Tidak ada kasus positif SARS yang terkonfirmasi di Indonesia.
MERS alias Middle East respiratory syndrome, yang disebabkan virus corona MERS (MERS-CoV), mewabah pada 2012. Kasus pertama terjadi pada September 2012 di Riyadh, Arab Saudi. Namun, terdapat klaim yang menyatakan bahwa kasus pertama terjadi lima bulan sebelumnya dan bukan terjadi di Arab Saudi, melainkan di Yordania.
Menurut laporan WHO, MERS menyebar ke 27 negara, termasuk Austria, Cina, Mesir, Perancis, Jerman, Malaysia, Filipina, Thailand, Turki, Inggris, hingga Amerika Serikat sejak 2012. Delapan puluh persen kasus MERS muncul di Arab Saudi, dengan kasus-kasus berjumlah besar lainnya di Uni Emirat Arab dan Korea Selatan.
Namun, meskipun banyak warga Indonesia pulang-pergi ke Arab Saudi tiap tahun untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, tidak ada laporan kasus positif MERS di Indonesia dalam rentang setahun virus selepas virus itu ditemukan. Kasus MERS hanya menimpa orang Indonesia di tanah suci dan ditangani otoritas setempat, misalnya kasus yang menimpa Jumallang Kaneng Lejja, jamaah umrah asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang dirawat di Rumah Sakit King Fahd, Jeddah. Kasus ini terjadi pada 2014.
Satu tahun selepas dunia ketiban MERS, Ebola pun menyerang. Ebola alias Ebola Virus Disease (EVD) yang disebabkan oleh virus Ebola mewabah pada tahun 2014. Kasus pertama Ebola terjadi pada 28 Desember 2013, di sebuah desa bernama Gueckedou, di Guinea, Afrika Barat. Virus yang sama pernah mewabah pada dekade 1970-an. Kala itu Ebola mewabah di Afrika dari Kongo pada 1976.
Sebagaimana MERS, Ebola cepat menyebar ke berbagai tempat di belahan dunia. Pada 2014, Ebola telah menjangkiti beberapa orang di Inggris, Amerika Serikat, hingga Spanyol.
Wabah penyakit global yang tercatat cukup cepat menyebar (tak lebih dari tiga bulan) dan sampai di Indonesia adalah H5N1 atau flu burung. WHO menyebut, H5N1 kali pertama ditemukan pada peternakan unggas di Guangdong, Cina, pada 1996. Setahun berikutnya, teridentifikasi H5N1 yang menyebar ke manusia, dengan 18 kasus dan enam orang meninggal di Hongkong. Pada 25 November 2003, seorang pemuda berusia 24 tahun di Beijing terkena virus ini. Selepas menyebar ke Vietnam, Thailand, dan Kamboja, pada 21 Juli 2005, kasus orang positif terinfeksi H5N1 terjadi di Indonesia.
Hingga wabah H5N1 berakhir, menurut catatan WHO, ada 197 laporan positif H5N1 di Indonesia antara 2003 dan 2014.
Tapi, yang perlu dicatat, tidak ditemukan bukti yang cukup kuat bahwa H5N1 menyebar dari manusia ke manusia. Yang terjadi, H5N1 menyebar dari hewan ke manusia.
Dari beberapa kasus wabah dunia itu, penyebaran ke Indonesia dapat dikatakan telat dan bahkan tidak ada. Situasi ini menimbulkan pertanyaan. The Sydney Morning Herald dan The Age menyebut tidak adanya laporan positif corona di Indonesia disebabkan oleh ketiadaan peralatan laboratorium medis yang memadai yang mampu mendeteksi virus corona. Menurut laporan Sydney Morning Herald, bahan kimia peraksi khusus yang dipakai untuk mendeteksi corona belum ada di Indonesia hingga laporan dimuat.
Laboratorium di Indonesia, masih dari The Sydney Morning Herald, hanya memiliki pereaksi kimia yang hanya sanggup mendeteksi MERS dan SARS, penyakit yang sama-sama disebabkan keluarga virus corona.
Selain soal ketiadaan pereaksi kimia, jawaban lain yang mungkin bisa menjelaskan mengapa wabah dunia telat dan bahkan tidak masuk ke Indonesia adalah konektivitas global Indonesia, khususnya yang bersifat langsung. Konektivitas global Indonesia ini relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang terkena wabah.
Pada 2018, hubungan antara Cina dan negara-negara Eropa tengah manis-manisnya, setidaknya jika dilihat dari jumlah penerbangan. Menurut laporan Komisi Perjalanan Eropa (ETC), hingga akhir 2018, tercatat ada 17,72 juta kursi pesawat pulang-pergi antara Cina dan negara-negara Eropa yang terisi, lebih banyak 1,73 juta kursi dibandingkan setahun sebelumnya.
Konektivitas yang relatif tinggi pun terlihat antara Cina dan Amerika Serikat. Tiap pekan sejak 2011, terdapat 249 penerbangan langsung antara Tirai Bambu dan Paman Sam. Angka itu meningkat dari hanya 54 penerbangan langsung sebelum 2011.
Konektivitas yang relatif tinggi tersebut, sialnya, berkorelasi dengan kasus mewabahnya virus corona yang bersumber dari Wuhan, Cina. Di Eropa, ada 43 kasus positif corona. Lalu, di Amerika, terdapat 13 kasus positif corona dilaporkan.
Indonesia, konektivitasnya dengan Cina dan negara-negara lain di dunia sedikit lebih rendah. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan mengapa wabah penyakit dunia terhitung lambat masuk Indonesia.
Negeri Transit
Selepas hanya memiliki satu rute ke Eropa, ke kota Amsterdam di Belanda melalui penerbangan berkode GA88, Garuda Indonesia, pada 2014, membuka rute ke London, ke bandara Gatwick, dengan terlebih dahulu singgah di Amsterdam. Setahun berselang, pada 2015, Garuda membeli slot parkir di bandara Heathrow, untuk mewujudkan penerbangan langsung Jakarta-London.
Melalui pesawat Boeing 777 (dan kemudian diganti Airbus A330) Garuda membuka rute Jakarta-London langsung, tanpa transit. Pada Oktober 2018, rute ini ditutup. Namun, rute ke London kembali dibuka pada akhir 2018 dengan jalur yang diubah, bukan Jakarta-London, melainkan Denpasar-London, dengan transit di Kualanamu, Medan. Penerbangan berkode GA86 terbang tiga kali seminggu.
Maret kelak rute Denpasar-London akan ditutup, sehingga Garuda kembali mengoperasikan satu penerbangan langsung ke Eropa, yakni ke Amsterdam, Belanda.
Secara umum, hanya sedikit penerbangan langsung tanpa transit dari Indonesia ke negara-negara dunia. Penerbangan langsung hanya disediakan untuk rute menuju kota-kota di Asia Tenggara, Australia, Korea Selatan, Jepang, Cina, Arab Saudi, Turki, dan Belanda. Untuk menuju India, Rusia, Jerman, Inggris, hingga negara-negara di benua Amerika dan Afrika, warga Indonesia harus transit di Kuala Lumpur, Singapura, Bangkok, Abu Dhabi, Qatar, hingga Hongkong.
Tercatat, Lion Air Group melayani 44 rute internasional, dengan tujuan utamanya di Singapura, Malaysia, Cina, dan Arab Saudi. Garuda sendiri, sebagai maskapai plat merah, hanya menyediakan 21 rute internasional, yang tersebar ke Australia (3 rute), Asia (11 rute), Asia Tenggara (3 rute), Eropa (2 rute), dan Timur Tengah (2 rute). Lalu, Citilink dan Sriwijaya Air, hanya memiliki sedikit rute internasional, dengan fokus di Malaysia, Cina, Australia, hingga Timor Leste.
Konektivitas langsung Indonesia ke dunia lebih rendah, misalnya jika dibandingkan dengan Cina. Pada 2018, terdapat 61 penerbangan langsung dari Cina ke Amerika Serikat, yang dioperasikan empat maskapai AS, yakni United, American, Delta, dan Hawaii, serta enam maskapai Cina, yaitu Air China, China Eastern, China Southern, Hainan, Xiamen, dan Sichuan Airlines.
Di kawasan Asia Tenggara sendiri, konektivitas Indonesia dan dunia kalah dibandingkan Thailand dan Malaysia. Data organisasi penerbangan sipil internasional ICAO menyebut pendapatan dari penumpang internasionaluntuk Indonesia hanya berjumlah $34,8 miliar pada 2017. Kalah jauh dibandingkan Malaysia dengan pendapatan yang menyentuh $85 miliar, dan Thailand yang memperoleh pendapatan $93 miliar dari penumpang internasional.
Lebih sedikitnya rute penerbangan langsung dari Indonesia ke dunia internasional memang terasa sedikit aneh. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah ekonomi terbesar. Di dunia startup, Indonesia menyumbang empat unicorn, alias yang terbanyak di Asia Tenggara. Lalu, Budi Hartono, dengan kekayaan $20,2 miliar, selain yang terkaya di Indonesia, juga terkaya di Asia Tenggara.
Namun, jika melihat produk domestik bruto per kapita, Indonesia memang kalah dibandingkan Singapura, bahkan Thailand. Tercatat, PDB per kapita Indonesia hanya berada di angka $3.846,86 pada 2017. Sementara itu, PDB per kapita Singapura tercatat di angka $57.714,30 dan Thailand di angka $6.593,82 di tahun yang sama.
Hub atau pusat konektivitas udara di kawasan Asia Tenggara justru ada di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan untuk terbang ke Papua Nugini, “tetangga nempel” Indonesia, seseorang harus terlebih dahulu transit ke Bandar Udara Changi di Singapura.
Editor: Windu Jusuf