tirto.id - Energi menghidupkan peradaban industrial yang menjadi jalan tol bagi negara berkembang dan tertinggal untuk dapat digolongkan sebagai negara maju. Namun, ketika menyadari bahwa kuota negara maju hanya seperlima dari negara berkembang, kita tersadar bahwa energi tak pernah cukup untuk menginklusifkan kemajuan.
Sejarah Penguasaan Energi dan Konflik di Dunia
Refleksi sejarah memvalidasi dugaan tersebut ketika energi justru memotivasi konflik yang tak berkesudahan. Kita bisa melihat persaingan antara Inggris dan Jerman yang mengawali Perang Dunia I berkorelasi erat dengan penguasaan energi.
Langkah Inggris untuk mengamankan hak konsesi lapangan minyak di Teluk Persia selama 60 tahun diikuti dengan strategi Jerman membangun infrastruktur kereta api dari Berlin ke Baghdad sebagai jalur distribusi energi.
Selain itu, penghentian jalur minyak Amerika Serikat ke Jepang juga menjadi faktor keterdesakan penyerangan Pearl Harbour dalam Perang Dunia II sehingga Jepang melanjutkan invasi ke selatan untuk mencari pasokan besar energi.
Potret invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu juga menunjukkan hegemoni energi sebagai alat ekonomi dan politik strategis dalam konflik. Uni Eropa merespons invasi tersebut melalui embargo penuh atas impor minyak, batu bara, nuklir, dan gas dari Rusia.
Konsekuensi embargo cukup efektif dalam menurunkan nilai ekspor Uni Eropa ke Rusia sebesar 61% dan nilai impor Uni Eropa dari Rusia turun sebesar 81% selama Februari 2022 hingga Juni 2023. Namun, fakta yang tak terbantahkan adalah perang masih tetap berlangsung hingga saat ini.
Perang yang sewajarnya dapat dimitigasi cepat melalui intervensi organ multilateral justru semakin berkobar menuju tahun keduanya. Uni Eropa seakan tersandera dengan tingginya ketergantungan pada LNG dan Gas dari Rusia. Bahkan pasca embargo, Rusia masih menjadi mitra utama Eropa dengan memasok 33% impor gas alam, 23% minyak bumi, dan 30% batubara.
Terlepas dari pasar Eropa, Rusia juga bermitra erat dengan Cina dan India sebagai pengimpor utama batu bara (berurutan 44% dan 19%) dan minyak mentah (43% dan 36%) serta Turki yang mendominasi impor LPG (33%) dan produk olahan minyak (24%). Pada titik ini kita menyadari bahwa vitalitas energi tak sebatas pencetak devisa ekspor dan penyuplai keamanan domestik tetapi juga bernilai strategis sebagai daya tawar politik kawasan.
Kuasa Energi Fosil dan Risiko Konflik
Tak bisa dipungkiri bahwa dunia hari ini masih sangat bergantung pada energi fosil. Sepanjang tahun 2022, produksi minyak telah mencapai 4,407 miliar ton, gas alam sebesar 4.043 miliar m², dan batubara dihasilkan 8.803 juta ton.
Amerika Serikat menjadi aktor sentral sebagai produsen minyak dan gas terbesar di dunia meskipun mayoritas digunakan untuk konsumsi domestik. Besaran minyak AS berkontribusi terhadap 17,2% produksi global yang melampaui Saudi Arabia (13%) dan Rusia (12,4%). Selain itu, produksi gas alam AS setara 24,2% produksi global yang mengungguli Rusia dengan proporsinya sebesar 15,3%.
Sementara pada sektor batu bara, Cina mendominasi dengan kontribusi terhadap 50,6% produksi batu bara dunia dan disusul India sekitar 10%, serta Indonesia sebesar 7,5%.
Risiko energi fosil terletak pada kerentanan konflik yang berakar dari dominasi penguasaan oleh segelintir negara produsen (petrostate). Pemetaan atas penguasaan energi fosil menunjukkan bahwa sekitar 90% sumber batu bara dunia hanya dikuasai oleh 11 negara, hampir mendekati 100% sumber minyak bumi dimonopoli oleh 37 negara, dan lebih dari 90% sumber gas alam hanya menjadi milik 39 negara.
Penguasaan energi fosil yang bercorak sentralistik justru memperdalam ketimpangan konsumsi energi global. Konsumsi energi dunia per kapita pada 2022 hanya sebesar 75,7 Gigajoule. Konsumsi tersebut terlihat timpang dibandingkan tingkat konsumsi tinggi pada kawasan Amerika Utara (sebesar 235,6 Gj/a), CIS (154,9 Gj/a), Timur Tengah (140,4 Gj/a), dan Eropa (118 Gj/a).
Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kawasan Asia Pasifik (64,4 Gj/a), Amerika Tengah dan Selatan (56,5 Gj/a), serta Afrika (14,2 Gj/a) yang memiliki konsumsi per kapita sangat rendah. Kesenjangan konsumsi energi Afrika memperjelas posisinya sebagai kawasan dengan konflik tertinggi, 16 dari 33 konflik bersenjata dunia terjadi di benua hitam.
Urgensi Transisi Energi
Refleksi yang dapat kita catat adalah sentralisasi penguasaan energi fosil telah memproduksi ketimpangan konsumsi energi sehingga menjadi akar konflik antara kawasan berlimpah energi dan ketergantungan tinggi. Pada titik ini, urgensi transisi energi sudah tak terbantahkan.
Gerakan keberlanjutan tidak hanya menuntut kompensasi layak atas eksternalitas negatif ekologi tetapi juga energi yang berkeadilan. Transisi energi mengartikan pergeseran substansial dari sentralisasi fosil ke arah desentralisasi terbarukan sehingga mendorong terwujudnya swasembada energi yang lebih inklusif dan merata.
Energi terbarukan menawarkan penguasaan energi yang lebih merata dibandingkan fosil. Temuan menunjukkan bahwa hanya 12 negara yang menguasai lebih dari 90% energi fosil meliputi batu bara, minyak, dan gas. Kesetaraan lebih mungkin dicapai dengan energi terbarukan sebab penguasaan 70% energi hidro, surya, dan angin setidaknya tersebar luas pada 58 negara.
Porsi kue yang tak merata akan menciptakan ketergantungan pada hubungan jarak jauh sehingga lamanya waktu dan tingginya biaya distribusi membuat energi semakin tidak terjangkau. Kondisi tersebut semakin memperdalam kecurigaan antar negara tetangga dan memperkeruh konflik di Selat Hormuz, Selat Malaka, dan sepanjang Laut China Selatan.
Bukankah dunia dapat tumbuh lebih adil dan inklusif jika anggaran yang membiayai konflik selama ini teralokasi pada sektor kemanusiaan, pendidikan, dan kesehatan bagi kelompok masyarakat paling rentan.
Sayangnya, perhitungan keekonomian fosil tak pernah menginternalisasikan biaya konflik dalam persaingan energi yang tak setara. Oleh karenanya, transisi energi menjadi gugatan rasional negara-negara yang selama ini tersisihkan dan terjerat hegemoni produsen fosil.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.