tirto.id - “Akhirnya para pemimpin G20 menyepakati isi deklarasi yaitu condemnation perang di Ukraina karena telah melanggar batas wilayah, melanggar integritas wilayah,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi), di akhir perhelatan G20 di Bali, Rabu (16/11/2022).
Duduk diapit Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jokowi pede saja mengeluarkan kalimat itu saat membacakan G20 Leaders’ Declaration—yang diklaim sebagai kesepakatan bersama seluruh pemimpin negara.
Padahal, kalimat yang diucap politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini berbeda dari teks asli deklarasi. Jika dibaca lebih teliti, poin nomor tiga tertulis, “Most members strongly condemned the war in Ukraine.”
Itu artinya, hanya “sebagian besar pemimpin negara” yang mengecam penyerangan Rusia, dan bukannya “para pemimpin negara”— yang bisa dipukulkan rata ke semua pemimpin negara yang hadir.
Ini belum termasuk soal bagaimana poin tersebut diduga merupakan paragraf yang sama dengan poin nomor tujuh dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang juga sedang berlangsung di Thailand.
Dari perkembangan geopolitik tersebut, Rusia memang tersudutkan: Presiden Vladimir Putin tak datang ke G20, Rusia dikecam karena serangan militernya terhadap Ukraina, hingga embargo yang dilancarkan Uni Eropa.
Satu hari sebelum pidato deklarasi Jokowi itu, rudal Rusia dikabarkan menghantam Polandia dan memakan korban. Kejadian ini jadi pergunjingan di forum G20 meski belakangan diketahui bahwa rudal tersebut ternyata ditembakkan oleh Ukraina.
Dinamika politik inilah yang mempengaruhi sikap G20 terkait dengan geopolitik energi sekarang—yang efeknya terasa hingga ke Indonesia.
Batu Bara Kian Dicari karena Perang
Sejak melancarkan operasi militer untuk membebaskan Donbass, wilayah Ukraina yang dihuni keturunan Rusia dan menurut Putin mengalami genosida yang dilancarkan oleh rezim Kiev sejak 2014, dunia mulai terbelah.
Perdebatan panjang soal serangan militer itu tak menghentikan kecaman terhadap negara seluas 17 juta kilometer persegi itu karena melakukan aksi militer sepihak.
Pada April lalu, Uni Eropa mengambil langkah tegas: memberi sanksi ekonomi dan mengembargo Rusia. Semua negara di bawah Uni Eropa dilarang untuk impor dari maupun ekspor ke negara dengan populasi 143 juta jiwa itu.
Contoh, negara-negara Uni Eropa tak boleh mengekspor barang elektronik, peralatan transportasi, alat penyulingan minyak, berbagai barang industri penerbangan, navigasi maritim, hingga barang-barang mewah—seperti mobil, jam, dan perhiasan—ke Rusia.
Sebaliknya, mereka juga menghentikan impor minyak mentah, baja, emas, kayu, minuman keras, rokok, semen, hingga batu bara—yang selama ini porsi impornya dari Rusia mencapai 70%—serta ragam bahan bakar fosil lainnya.
Harga batu bara pun melonjak. Sebulan setelah invasi itu, harga batu bara menyentuh angka US$446/ton dan pada September lalu mencapai level US$463/ton.
Tak butuh waktu lama, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mengklaim beberapa negara Eropa mulai menjajaki impor batu bara asal Indonesia April lalu. Kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia, Eropa kesulitan mendapat pasokan batu bara karena selama ini hanya mengandalkan impor dari Rusia.
Bahkan hingga Oktober lalu, muncul nama negara yang melakukan pembelian batu bara dari jaringan APBI atau dari perusahaan pelat merah yang fokus memproduksi batu bara—PT Bukit Asam Tbk: Italia, Jerman, Polandia, Belanda, hingga Yunani dan Slovenia.
Dosen hubungan internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Maharani Hapsari, yang meneliti perdagangan internasional dan politik lingkungan, menilai bahwa sanksi Uni Eropa kepada Rusia jelas berkonsekuensi besar.
Sebagai salah satu basis stabilitas ekonomi politik Uni Eropa, kata Rani—sapaan akrabnya, Rusia bikin negara-negara lain tergantung dengan produknya, salah satunya sumber energi.
“Uni Eropa jelas menghadapi tantangan untuk menata ulang relasi keenergiannya dan memobilisasi sumber-sumber energi dari negara-negara lain yang potensial untuk mengamankan kepentingan domestiknya,” katanya kepada Tirto, Jum’at (19/11/2022) malam lalu.
Sejak April, wartawan Tirto mencoba menghubungi empat negara Uni Eropa—Belanda, Jerman, Polandia, dan Italia—yang menurut APBI berpotensi membeli batu bara Indonesia, melalui kedutaan besar mereka di Indonesia. Hanya Kedutaan Besar Republik Federal Jerman yang memberi jawaban.
“Di Jerman pasar batu bara adalah swasta, pelaku pasar adalah perusahaan swasta. Pemerintah Jerman tidak mengomentari keputusan bisnis independen mereka,” kata Engin Gürpinar, Sekretaris Pertama Urusan ASEAN di kedutaan itu, kepada Tirto secara tertulis pada 29 April lalu.
Selain itu, ia juga mengklaim Jerman sedang mengurangi ketergantungan dan secara bertahap menghapus impor energi fosil dari Rusia. “Kami secara signifikan mengurangi keseluruhan permintaan kami akan energi fosil dan secara besar-besaran mempercepat perluasan energi terbarukan,” tambah Gürpinar.
Dosen hubungan internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Denny Indra Sukmawan, mengafirmasi fenomena itu. Akademisi yang fokus kajiannya pada geopolitik pangan dan energi menyebut bahwa Uni Eropa sudah rutin mengurangi batu bara.
“Mereka lebih serius dibandingkan negara-negara Asia-Pasifik,” kata Denny kepada wartawan Tirto, Jum’at kemarin. “G20 pun, negara-negara seperti Prancis, Jerman dan Italia termasuk kluster negara yang serius dengan agenda perubahan iklim. Uni Eropa pasti tetap mengimpor batu bara, tapi persentase dalam bauran energi nasional mereka tidak signifikan,” tambahnya.
Indonesia, Raja Batu Bara Asia Tenggara
Ragam manuver korporasi-korporasi multinasional Uni Eropa yang mulai memburu batu bara ke Indonesia memang tak bisa dihindari. Kekayaan sumber daya alam batu bara paling melimpah di Asia Tenggara, justru berada di Indonesia.
Hingga tahun lalu, cadangan batu bara Indonesia di angka 38,84 miliar ton dengan rerata produksi 600 juta ton/tahun. Dengan tingkat produksi sebesar itu, cadangan batu bara di Indonesia akan bertahan hingga 65 tahun ke depan—jika diasumsikan tak ada temuan cadangan baru.
Dari angka sebesar itu, lokasinya didominasi oleh dua pulau besar di Indonesia: 25,48 miliar ton cadangan di Kalimantan dan 12,96 miliar ton cadangan di Sumatera.
Dari realisasi produksi batu bara setiap tahunnya, sebagian besar memang diekspor. Pada 2020, misalnya, dari total produksi 558 juta ton, hanya 134 juta ton yang diserap di dalam negeri—untuk domestic market obligation (DMO).
Begitu juga pada 2021. Bahkan ketika angka produksinya naik menjadi 614 juta ton, yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri hanya 133 juta ton, mayoritas untuk sektor kelistrikan hingga 2025 mendatang.
Angka jumbo ekspor batu bara tersebut tidaklah mengherankan. Saat ini Indonesia menjadi satu dari tiga eksportir batu bara terbesar dunia selain Rusia dan Australia, dan menjadi eksportir murni (net exporter) terbesar batu bara termal dunia.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), dari 10 besar negara yang mengimpor batu bara Indonesia sepanjang 2020-2021, empat besar ditempati China, India, Filipina, dan Malaysia.
Dari 10 besar negara itu, satu-satunya negara Uni Eropa yang impor dari Indonesia cuma Spanyol—di urutan paling bawah. Sejauh ini, tak ada catatan negara-negara Eropa tergantung pada batu bara Indonesia.
Sampai di situ, Rani mewanti-wanti pemerintah untuk tidak tergiur godaan booming batu bara yang berpotensi semakin masif. Pasalnya, Indonesia akan terjebak dalam reproduksi sistem energi kotor global jika hanya mengikuti logika pasar.
“Ini yang harus dilawan. Indonesia harus membangun diri untuk menjadi bagian dari rasionalitas baru kelola energi global sebagaimana yang sudah divisikan dalam upaya global mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata dia.
Meskipun situasi sekarang menyediakan insentif bagi Indonesia untuk mengejar ceruk pasar alternatif bagi Uni Eropa, lanjut Rani, ada lintasan isu lain yang membuat Indonesia harus “berpikir lebih progresif mengenai perannya dalam transisi energi global.”
Di sisi lain, industri pertambangan batu bara di Indonesia bukan tanpa masalah, sebagaimana terpotret dalam laporan “Hungry Coal: Pertambangan Batu Bara dan Dampaknya Ketahanan Pangan Indonesia.”
Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ini mencatat setidaknya ada 17,5 juta hektare lahan tambang dan eksplorasi batu bara di Indonesia. Sebagian besar berpengaruh ke lahan produktif dan mengancam sumber ketahanan pangan warga.
“Kami memperkirakan bahwa sekitar 1,7 juta ton beras per tahun hilang akibat pertambangan batu bara. Selain itu, 6 juta ton produksi beras per tahun di tanah garapan terancam hilang per tahun,” tulis mereka.
Jika terjadi penambangan batu bara di tanah yang diidentifikasi mampu dimanfaatkan untuk cocok tanam beras, Jatam menilai akan ada tambahan 11 juta ton beras per tahun yang hilang.
Tak hanya itu, praktik penambangan di Indonesia meninggalkan lubang yang mengancam nyawa warga. Dari 2014 hingga 2020, JATAM mencatat ada 168 korban tewas akibat lubang tambang batu bara. Per 2021, jumlahnya mencapai 3.092 lubang.
Ragam kenyataan pahit semakin terasa ironis karena industri pertambangan batu bara di Indonesia ternyata hanya dikuasai segelintir pemodal. Laporan Project Multatuli pada awal tahun menemukan di bawah dua periode rezim Jokowi, koneksi bisnis dan politik praktik tambang batu bara di Indonesia hanya mengerucut ke 10 nama.
Dua di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Transisi Energi Indonesia Bakal Jalan di Tempat?
Salah satu tema utama dari perhelatan megah G20—yang menghabiskan dana hingga Rp 678 miliar—adalah transisi energi. Namun, justru di situ letak paradoksnya.
Mengacu pada teks deklarasi G20, di poin 11, ada deklarasi soal melanjutkan transisi energi yang berjalan inklusif, murah, adil, investasinya berkelanjutan, dan mengejar emisi nol bersih (net zero).
Namun, upaya-upaya itu dijalankan sembari “taking into account the latest scientific developments and different national circumstances.” Frasa ini menunjukkan bahwa kebijakan transisi dilakukan sembari memperhatikan kondisi masing-masing negara.
Artinya, komitmen tersebut memiliki aspek kondisionalitas yang besar, karena dijalankan tidak secara konsisten dan full throttle melainkan dijalankan sembari memperhatikan situasi masing-masing negara.
Hal ini membuka peluang terciptanya paradoks, di mana upaya transisi energi menuju energi terbarukan digenjot sembari mengekspor batu bara (khususnya ke negara-negara Eropa).
Belum lagi jika kita bicara soal Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM)—dua proyek pendanaan energi terbarukan yang diresmikan saat Presidensi G20 kemarin—yang ternyata bukan investasi murni, melainkan utang.
Di sisi lain, Denny mengingatkan publik agar tidak terjebak dalam fenomena negara-negara Eropa yang mulai meminta batu baru ke Indonesia, yang menurut dia hanya bersifat sementara.
Dia lebih khawatir dengan China, India, atau Jepang—negara-negara yang masih 10 besar terbesar impor batu bara dari Indonesia—yang justru bikin transisi energi Indonesia terhambat.
“Jika permintaan [negara-negara Asia Pasifik] ini tidak berkurang signifikan, saya bisa tegaskan, agenda transisi energi akan sulit dicapai,” kata dia.
Di mata Denny, ada dua cara menyikapi batu bara Indonesia: lewat jalur reformis atau revisionis. Reformasi artinya menggunakan batu bara—yang jelas merupakan energi kotor—tetapi diproses menjadi Dimethyl Eter (DME) yang emisinya lebih rendah.
“Namun dampak berupa pencemaran lingkungan, bekas lubang tambang dan kriminalisasi warga yang menolak tetap berlangsung—karena eksploitasi batubara sebagai bahan baku juga terus dilakukan,” katanya.
Cara kedua adalah revisionis: batu bara, apapun packaging dan turunannya, harus ditinggalkan. Itu artinya, kata Denny, Indonesia harus secara penuh beralih ke energi terbarukan seperti angin, surya, gas, hingga panas bumi.
“Namun untuk saat ini, saya pikir pemerintah belum punya nyali untuk menjadi yang kedua,” tutup Denny.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono