tirto.id - "Dalam serial ini, kami membawa Anda dari permulaan primitif kita, melalui kebangkitan spiritual, ledakan budaya, dan terobosan ilmiah besar," ujar Philomena Cunk, presenter Cunk on Earth.
Selepas berbagai perjalanannya, Cunk mengajukan sederet pertanyaan mendalam:
Akankah komputer belajar menghapus kita?
Bisakah umat manusia belajar hidup damai dengan dirinya sendiri?
Atau apakah kita semua saat ini hidup pada jam, menit, dan detik terakhir peradaban?
Penuh kata-kata dan pertanyaan besar, memang. Superserius.
Namun, segala kesungguhan itu sebetulnya justru dibawakan dengan intensi mencemooh. Ini tak lain lantaran Cunk on Earth rekaan Charlie Brooker (juga dikenal sebagai kreator Black Mirror) ialah sebuah mockumentary.
Cunk on Earth adalah sebuah parodi untuk dokumenter betulan dan Philomena Cunk jelas bukan David Attenborough. Karakter yang dimainkan Diane Morgan ini lebih cenderung menyerupai Nathan Fielder (Nathan for You, The Rehearsal) atau bahkan Borat serta karakter-karakter rekaan Sacha Baron Cohen lain.
Karakter Cunk berawal dari serial rekaan Brooker lainnya, Charlie Brooker's Weekly Wipe. Baru kemudian Cunk memperoleh serialnya sendiri, Cunk on Britain, yang mencemooh sejarah negerinya sendiri.
Serial terbarunya kini, Cunk on Earth, berangkat dari BBC Two dan menjangkau lebih banyak penonton di Netflix. Usai mengorek Britania, Cunk kini membahas dunia, peradaban manusia, dan progresnya. Masih dengan keisengan yang sama.
Mengencingi Signifikansi Peradaban
Cunk on Earth menggunakan formula serupa dokumenter investigatif. Sang reporter Philomena Cunk bakal berkelana melihat-lihat peninggalan dunia kuno, juga menemui pakar dan akademisi dari berbagai disiplin. Bedanya, pertanyaan yang dia ajukan seringkali konyol, tidak nyambung, hingga anakronistis dengan melihat masa lalu dari kacamata manusia modern.
"Apakah orang-orang Mesopotamia memiliki hal yang sama dengan yang kita miliki saat ini?"
Saat sang akademisi memaparkan benda-benda yang sama-sama dimiliki orang Mesopotamia dan orang modern, ternyata maksud pertanyaan Cunk adalah apakah orang masa lalu juga punya kaki, alis, dan jumlah lubang di tubuh yang sama.
Sekonyol apa pun pertanyaannya, Cunk bakal melontarkannya dengan ekspresi datar berikut gestur serius laiknya presenter dokumenter ilmiah.
Sebagai narator, dia tak kalah serius dalam urusan “mengencingi” banyak hal. Menurut dia, matematika merupakan penemuan tragis, penulisan itu membosankan, olahraga tak ubahnya teater untuk orang dungu, dan filsafat jelas buang-buang waktu.
Sebagian durasi serial bahkan sama sekali tidak penting. Misalnya, Cunk kadang menjelaskan cara roda bekerja atau menjelaskan patung filsuf bukanlah filsuf betulan.
Kelucuannya sering kali ditumpukan pada respons para pakar yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Cunk—atau respons sang presenter sendiri usai mendapati jawaban. Reaksi dan raut sungguh-sungguh mereka seringkali memperkuat poin humor dalam wawancara. Namun dalam waktu yang sama, ia tak menempatkan para narasumber sebagai pantatnya komedi.
Selain pembawaan deadpan dari Cunk dan respons serius para narasumber, Cunk on Earth jugabertumpu pada skrip yang tak hanya iseng, tapi juga cukup memantik perenungan lebih lanjut.
Signifikansi peristiwa besar dalam sejarah beberapa kali dipertanyakan ulang. Misalnya, soal penemuan sistem aksara yang mungkin sama pentingnya dengan kemunculan rap, metal, dan acid jazz. Juga terobosan perspektif lukisan zaman Renaisansyang disejajarkan dengan gim Crash Bandicoot. Atau menyetarakan AS dan Rusia saat Perang Dingin dengan pemain gim Street Fighter.
Rentang waktu acapkali diukur dengan Pump Up the Jam, lagu milik grup musik elektronik asal Belgia, Technotronics, yang dirilis pada 1989. Eksplanasi juga disertai fun fact yang mengada-ada, kemunculan klip lagu tersebut setiap episode berlaku sebagai running gag, bisa jadi komparasi untuk signifikansi peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah.
Sekilas pandang, kadar insensitivitasnya nyaris seperti menomorduakan etika. Ambil contoh ketika Cunk mencandai Pompeii yang rata disapu erupsi Vesuvius--yang sudah lama berlalu dan sebetulnya kerap dibercandai pula di internet. Toh, dia cukup paham untuk tak membanyol soal tragedi Chernobyl yang belum begitu lama berlalu.
Dari Pompeii ke Chernobyl, peradaban manusia gua sampai Perang Dingin dan media sosial. Hanya dalam waktu singkat, Cunk on Earth melompat sekenanya dalam kronik peradaban manusia. Sekali waktu, Cunk malah lebih sibuk membahas dan merekomendasikan resor mewah tempatnya menginap ketimbang peradaban Maya, seolah mencemooh konten-konten edukatif di internet yang sulit berlanjut tanpa menyertakan iklan.
“Sudah lama sekali terjadi. Mengapa saya harus peduli?” tanya Cunk perihal kegemaran orang Yunani kuno akan tragedi.
Cunk digambarkan tak betul-betul peduli pada subjek pembahasan ataupun respons dari para narasumber. Dia kerap menuding pertanyaan-pertanyaan bodohnya maupun typodalam skrip yang ditulis produser. (Dia setidaknya cukup bijak untuk mematuhi sang produser saat membahas soal agama.)
Dalam satu episode menyoal agama (yang pastinya melompat-lompat, tak sepenuhnya membahas soal agama), serial ini menyelipkan kritik terhadap agama yang semestinya membawa kedamaian, alih-alih perang. Di waktu lain, Cunk mengkritisi Amerika terkait ilusi dan ide negara itu soal kebebasan, menyenggol kapitalisme dan konsumerisme, menganggap perakitan mobil sebagai "revolusi dalam kebosanan di tempat kerja dan ketidakberdayaan manusia".
Kendati hampir seluruh pertanyaannya ngawur, bahkan kadang menempatkan diri sebagai pemercaya teori-teori konspirasi, para ahli yang ditemui Cunk terkadang menyimpulkan bahwa itu cukup penting untuk ditanyakan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mungkin bikin Senku Ishigami pikir-pikir ulang guna mengejar peradaban.
Tak jarang, Cunk menyelipkan pertanyaan kontemplati di antara pertanyaan-pertanyaan konyol.
"Mengapa umat manusia merasa perlu menciptakan mesin pembunuh seperti ini?" tanya Cunk, mengacu pada senjata api.
"Karena kita manusia, mungkin?" jawab seorang narasumber. "Tampaknya kita diciptakan punya motivasi untuk merebut sumber daya, untuk melawan manusia lain."
Jawaban untuk pertanyaan macam itu kadang bikin Cunk balik terhenyak.
"Aku hanya berpikir kita memang gila."
Mungkin Memang Bukan Apa-apa
Kemanusiaan butuh waktu lama untuk menyadari bahwa budak sejatinya juga manusia. Butuh waktu yang tak sebentar pula untuk spesies kita menyadari bahwa perempuan bisa melakukan hal yang sama dengan laki-laki.
Cunk mungkin akan tetap digambarkan sebagaimana dirinya, tanpa perkembangan karakter, tapi itu tak menghalanginya terpapar fakta-fakta menyentak tatkala menyisir jejak progres manusia.
"Peradaban modern telah tiba, tapi benturan pandangan dunia berarti ancaman konflik habis-habisan tidak pernah jauh," ujarnya merenung ditingkahiscoring dramatis—yang gara-gara sifat serial ini lantas jadi terdengar sok dramatis.
Kesabaran sederet narasumbernya tentu perlu diapresiasi. Sebagian dari mereka juga dilibatkan dalam Cunk on Britain, yang menunjukkan bahwa mereka rela berdiskusi tanpa juntrungan bersama Diane Morgan. Tentu akan lebih lucu bila memercayai seluruh dialog mereka tak pernah tertera sepenuhnya dalam skenario sebagaimana mockumentary mestinya; bukan akting.
Cunk masih dengan gimik berjalan sempoyongan, tersandung, hingga terguling saat mencoba melangkah elegan layaknya presenter dokumenter serius. Dia memperlakukan mikrochip layaknya serangga langka.
Namun dengan upaya untuk melucu, minimal mocking, setiap waktu, tentu tak semua humornya bisa mendarat sempurna. Secara isi, Cunk on Earth pun terasa hanya sedikit lebih mendalam saja ketimbang “konten internet” semisal video history of the entire world, i guess oleh Bill Wurtz.
Dengan hanya setengah jam per episode, satu tema besar berpindah kelewat cepat menuju tema besar lainnya. Sepertinya, itu pun memang dimaksudkan demikian karena Cunk on Earth tak betul-betul menyasar efek apa pun selain kelucuan.
Sebagian orang mungkin saja tersinggung tatkala Cunk dan serial ini mencemooh kepercayaan, prinsip, atau bila kau orang Amerika. Dan bila itu menjadi reaksimu, Cunk on Earth bisa dikatakan berhasil dalam misinya memprovokasi banyak pihak, sukses melanjutkan Cunk on Britain dengan acuan-acuan lelucon yang lebih universal.
Bila pun tak ada perkataan Cunk yang cukup mengganggumu, setidaknya dia tetap bisa dinilai sebagai komedi ringan. Kau mungkin tidak belajar apa-apa, tak mendapati apa pun darinya. Tidak masalah juga.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi