Menuju konten utama

Masyarakat Adat Papua Desak Pencabutan PP Soal Freeport

Ketua Dewan Adat Papua Meepago John Gobai meminta pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 mengenai perubahan status kontrak Freeport karena telah menimbulkan efek domino bagi masyarakat adat Papua.

Masyarakat Adat Papua Desak Pencabutan PP Soal Freeport
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Perubahan status kontrak PT Freeport Indonesia (PT FI) telah membawa efek domino yang negatif bagi masyarakat adat Papua. Oleh karena itu, Ketua Dewan Adat Papua Meepago John Gobai meminta pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang perubahan itu.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan ini, pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia era Presiden Joko Widodo sebagai upaya mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Di PP itu juga membahas posisi PT Freeport Indonesia (PT FI) yang tidak bisa mengekspor konsentrat emas dan hasil tambang. Di samping aturan lain yang memberatkan PT FI adalah mewajibkan membayar bea keluar.

"Dari kami meminta pemerintah bijaksana sebelum menerapkan PP Nomor 1 tahun 2017, lebih baik dilakukan musyawarah terlebih dahulu terhadap PP ini," jelas John Gobai di kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (5/3/2017).

Menurut John, upaya pemerintahan Joko Widodo untuk melindungi aset sumber daya alam tanah Papua memang harus diacungi jempol. Sayangnya, John melihat kasus ini berimbas pada lapangan kerja yang berkurang setelah pengurangan seribu karyawan, dan tidak jarang berasal dari masyarakat adat sendiri.

John menuturkan dampak yang ditimbulkan sejak PP Nomor 1 tahun 2017 itu muncul. Salah satunya, PT FI mencabut 60 persen Corporate Social Responsibility (CSR) untuk masyarakat adat Papua.

Dicabutnya dana CSR PT FI berdampak pada pelajar Papua yang terancam putus sekolah karena dana itu menyokong kegiatan belajar mengajar mereka. Sementara hingga kini, dikatakan John, Pemerintah Indonesia belum memberi solusi mengenai nasib pelajar Papua yang berada di ujung tanduk.

"Memang saya percaya tindakan Pak Presiden Jokowi yang sayang pada kami. Tapi semua putusan itu harus ditimbang baik buruknya. Ribuan orang dirumahkan. Pelajar Papua juga teracam putus sekolah karena subsidi CSR dicabut," terang John.

Kendati, efek domino kian dirasakan oleh rakyat Papua, namun hingga kini tak satu pun rakyat Papua berhasil berdialog dengan Presiden dan menterinya. Padahal mereka mengaku sudah dua kali melakukan orasi di depan istana menuntut pencabutan PP itu kepada Presiden Joko Widodo.

Diplomasi Ala Meja Makan Dilakukan di Papua

Di lain sisi, pemilik tanah hak ulayat Otis Monei meminta Pemerintah untuk membicarakan hal ini kepada pihak FI beserta masyarakat tanah adat. Pembicaraan ala meja makan yang biasanya diupayakan pihak Jokowi untuk menyelesaikan suatu perkara diharapkan bisa menjawab sengkarut di pulau berbentuk kepala burung itu.

"Biasanya kan diplomasi meja makan Pak Jokowi bisa selesaikan masalah. Dulu waktu menyelesaikan pedagang kaki lima di Solo bisa. Coba kita sama-sama rembukan bersama. Ingat ya kita tunggu di Timika bukan di istana negara," jelas Otis Monei.

Otis menyatakan perundingan itu seharusnya dilakukan di Papua. Menurut dia, selama ini masyarakat Papua seolah dikangkangi Pemerintah Pusat. Padahal, semua kebijakan yang Pemerintah Pusat akan kembali ke masyarakat ulayat adat.

Oleh karena itu, Otis berharap diplomasi meja makan nantinya akan dilakukan oleh pihak pemerintah, bupati dan PT FI dengan masyarakat Papua dilakukan di tanah Papua.

"Gunung di Timika itu punya kami. Emas punya kami. Harta kami. Kenapa kami harus ke Jakarta? Harusnya dilakukan di tanah kami Timika," tutup Otis.

Sebelumnya, pasca pemerintah menciptakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada juga aturan lain yang diciptakan pemerintah untuk mengerem divestasi PT FI yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2017.

Di aturan ini menyebutkan pemegang KK dapat menjual pengelolaan tambang ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun. Pemerintah juga mendorong pembagian hasil lebih dari sepuluh persen, padahal sebelumnya PT FI hanya mampu menyanggupi pembagian investasi senilai 1 % saja ke devisa negara.

Poin lainnya yang dibebankan kepada PT FI adalah kewajiban pajak yang dibayarkan PT FI berjinlah tetap tiap tahun. Sedangkan dalam IUPK dengan menggunakan sistem pajak prevailing tarif pajak dapat berubah-ubah. Tentu saja tarif pajak yang diharapkan pemerintah mencapai batas maksimum.

Aturan lain yang diubah dalam PP Nomor 1 tahun 2017 adalah PT FI maupun perusahaan asing lain terutama bidang minerba diwajibkan melakukan divestasi saham hingga 51 persen secara bertahap. Melihat geliat pemerintah ingin mengusir PT FI secara perlahan-lahan ini tentu saja sudah terendus oleh Presiden Direktur Freeport Mc Moran Inc Richard C Adkerson.

Richard menanggapi aturan itu memberatkan perusahaan dan mengirimkan surat pada Pemerintah untuk melakukan perundingan selama kurun waktu 120 hari. Setelah jangka waktu 120 hari lewat, bila belum menemukan kesepakatan, Richard akan membawa kasus Freeport di Timika ke arbitrase internasional.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri