Menuju konten utama

Maskapai Singa Merah yang Penuh Masalah

Hujatan demi hujatan terus dilontarkan ke Lion Air yang tak kunjung berbenah untuk mengatasi delay. Terakhir, maskapai berlogo Singa Merah ini kembali membuat kesal para penumpangnya karena delay parah akibat aksi mogok massal para pilotnya. Pemogokan massal pilot Lion Air ini sudah dimulai sejak Senin (9/5/2016) dan berlangsung selama sekitar 3 hari, dengan tuntutan hak uang trasport yang selalu telat.

Maskapai Singa Merah yang Penuh Masalah
Pesawat Lion Air di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. TIRTO/TF Subarkah

tirto.id - “We make people delay”. Satire itu sering disematkan kepada Lion Air, sebagai gubahan atas tagline perusahaan “We make people fly”.

Hujatan demi hujatan terus dilontarkan ke Lion Air yang tak kunjung berbenah untuk mengatasi delay. Terakhir, maskapai berlogo Singa Merah ini kembali membuat kesal para penumpangnya karena delay parah akibat aksi mogok massal para pilotnya.

Pemogokan massal pilot Lion Air ini sudah dimulai sejak Senin (9/5/2016) dan berlangsung selama sekitar 3 hari. Untungnya, aksi pemogokan tak dilakukan secara serempak tapi dilakukan secara bergantian. Meski begitu, tetap saja yang paling dirugikan adalah penumpang.

Aksi mogok dilakukan demi menuntut hak uang transport yang selalu telat dibayar. Tunggakan itu bernilai lumayan besar, berkisar belasan juta rupiah. Selain itu, sistem pembayaran uang transport pilot dilakukan dengan di-reimburse, alias ditangani terlebih dahulu oleh pilot. Momentum ini juga dipakai pilot untuk menuntut hal-hal kecil lain yang selalu diabaikan, seperti jadwal terbang yang berantakan dan dianggap tak manusiawi.

Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait membantah aksi demo ini. Dia membenarkan memang ada terjadi masalah internal, tetapi katanya hal itu sudah dibereskan.

Sementara itu Andy M Saladin, Public Relations Manager Lion Air Group memaparkan keterlambatan pembayaran tunjangan disebabkan adanya libur panjang akhir pekan lalu. Secara nalar, alibi Andy patut dipertanyakan, mengingat kemarahan para pilot tak akan memuncak akibat disulut hal kecil seperti itu. Ini adalah kulminasi kekesalan pilot terhadap manajemen Lion Air Group.

Dibelit Masalah Internal

Jika sistem internal di Manajemen Lion Air Group tak segera diatasi, maka aksi yang sama akan terulang. Dalam hal upah, Lion dikabarkan pelit dalam menggaji pegawai.

Untuk melihat selisih gaji yang cukup jauh itu, kita bisa melihat perbandingan dari pengupahan maskapai kepada pilot-pilot fresh graduate yang baru direkrut, atau lazim disebut Ab Initio. Di Lion Air, gaji para Ab Initio yang masih menjalani pelatihan ground school dan simulator hanya berkisar Rp3 jutaan. Sedangkan di maskapai Citilink dan Kalstar honor para Ab Initio bisa mencapai Rp7-8 jutaan.

Setelah diangkat jadi First Officer atau Co-Pilot, gaji pokok tetap berkisar Rp3 jutaan, tetapi ada tambahan berbagai tunjangan dan uang flight allowance sekitar Rp50 ribu per jam. Sedangkan di Citilink dan Kalstar gaji pokok Co-Pilot berkisar Rp11-15 juta.

Lantas bagaimana dengan kru flight attendant? Jika mengutip data dari Qerja.com dan sumber internal maskapai, gaji pramugari ataupun pramugara junior di Lion Air rata-rata berkisar Rp8 juta. Angka itu sangat timpang dibandingkan AirAsia (Rp12 juta) dan Citilink (Rp15 juta)

Dengan jumlah rute dan armada yang berlimpah, para pilot Lion Air memang bisa mendapatkan banyak tambahan. Namun, poin ini juga bisa menjadi senjata Lion untuk mengeksploitasi para pilot/flight attendant. Caranya memberikan kesempatan besar menambah jam terbang. Penambahan jam terbang ini membuat pundi-pundi para kru pesawat dari sektor tunjangan bisa bertambah. Wajar dalam aksi demo kemarin banyak pilot mengeluh merasa kelelahan akibat kerja yang terlalu diforsir habis-habisan.

Dibanjiri Keluhan

Dampak dari buruknya manajemen itu menyebabkan Lion sering gagal memuaskan konsumen. Gerutuan yang didapat Lion tak hanya soal delay, tetapi juga kabin yang membeku, AC mati, hingga menyelipnya penumpang siluman.

Sulit memang mencari angka pasti berbagai keluhan itu. Namun, untuk melihat kebobrokan Lion, kita bisa mengkomparasikan jumlah keluhan yang masuk ke Lion Air dengan maskapai lainnya. Angka keluhan yang bisa kita rujuk adalah laporan yang masuk di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan situsweb lapor.go.id yang dikelola langsung oleh Kantor Staff Kepresidenan.

Data YLKI mencatat transportasi udara mendominasi keluhan konsumen di bidang transportasi. Keluhan terbanyak kepada Lion Air. “70 persen mengeluhkan angkutan udara. Salah satunya, delay, refund tiket dan bagasi rusak," kata Ketua Harian YLKI Sudaryatmo.

Sementara itu, berdasarkan laporan lapor.go.id, keluhan terkait Lion yang masuk ke lapor.go.id pada 2015 mencapai 33 kasus. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan maskapai lain seperti AirAsia (8 kasus), Garuda Indonesia (8 kasus) , dan Sriwijaya Air (5 kasus). Dari mayoritas laporan yang diterima, sebanyak 23 laporan soal keluhan terkait dengan delay.

Ihwal ini membuat YLKI angkat bicara. Mereka mendesak Kementerian Perhubungan memberikan teguran sekeras-kerasnya pada manajemen Lion Air.

YLKI mendesak pemerintah untuk tidak jor-joran dalam memberikan izin operasional pada Lion, seperti membuka rute baru, menambah jadwal baru, termasuk menambah pesawat baru. Hal ini langsung disikapi Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub.

"Kita sudah mau membuat surat dan Lion Air dapat dikenakan sanksi sampai dengan pembekuan rute baru selama 6 bulan," tegas Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Suprasetyo saat jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa lalu (10/5/2016).

Kelemahan Regulasi dan Kedekatan dengan Penguasa

Kejadian delay Lion Air sudah sangat parah. Namun, maskapai ini tampaknya sudah sering lolos dari sanksi. Penyebabnya apalagi kalau bukan lemahnya regulasi.

Aturan terkait delay ini sebenarnya diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 89 tahun 2015. Kompensasi terbesar yang harus dibayar maskapai adalah jika keterlambatan menyentuh kategori 6 alias pembatalan.

Detail kategori 6 ini tercantum pada pasal 9 ayat f yang berbunyi: Keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket.

Ada kerancuan dalam aturan di atas. Kalimat "wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya" selalu dikonotasikan oleh pihak maskapai yang nakal untuk menahan penumpang agar tak membatalkan penerbangan. Pemaksaan secara tak langsung kepada penumpang untuk terus menunggu dan menunggu.

Aturan ini seolah menutupi kewajiban lainnya dalam soal "pengalihan penerbangan". Pada pasal 10, penumpang sebenarnya berhak pindah ke maskapai lain tanpa keluar biaya tambahan. Namun, lagi-lagi aturan ini hanyalah rencana kedua. Rencana awal penumpang harus menunggu jadwal penerbangan berikutnya pada maskapai yang sama.

Masalah lain muncul saat maskapai selalu memakai kategori 5 sebagai perlindungan delay yang tak pasti. Kategori 5 adalah delay yang lebih dari 4 jam. Jika ini terjadi, maskapai harus membayar kompensasi 300 ribu kepada konsumen.

Problemnya, Permenhub ini tak mengatur berapa lama waktu tunggu naik dari status kategori 5 menjadi kategori 6. Ketimbang memutuskan penerbangan dibatalkan dan menyentuh kategori 6, maskapai lebih memilih menelantarkan penumpang dengan tak kepastian.

Di sisi lain, Lion tertolong oleh lembeknya sikap pemerintah. Banyak orang lantas menghubungkannya dengan posisi sang pemilik sekaligus pendiri yaitu Rusdi Kirana yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Rusdi merupakan Wakil Ketua Umum PKB.

"Kementerian Perhubungan itu memble kalau menghadapi Lion, apalagi sekarang Rusdi Kirana jadi Wantimpres. Selama ini pengaduan konsumen banyak dari Lion. Kami sudah hubungi Lion tapi jarang direspons,” ujar Ketua Harian YLKI Tulus Abadi.

Saat terjadi penumpukan penumpang yang parah Februari 2015 lalu, Lion hanya dihukum penghentian izin rute baru. Pihak Kemenhub berkilah hukuman itu sudah sangat memberatkan Lion Air. Tidak ada hukuman mencabut izin air operator certificate (AOC).

"Kalau saya cabut Lion tak terbang, bisa semakin kacau karena banyak penumpang yang tak terangkut," ucap Suprasetyo, 20 Februari 2015 lalu.

Apa yang diucapkan sang dirjen Kemenhub ada benarnya. Bisnis maskapai domestik di Indonesia mutlak dikuasai oleh Lion Air Group. Tiga maskapai yang di bawah kendali mereka yakni Lion Air, Batik Air dan Wings Air total melayani 226 rute penerbangan dari total 784 rute seluruh maskapai di Indonesia.

Untuk skala Lion Air saja rute yang dilayani mencapai 126 rute. Amat timpang dengan Garuda Indonesia (59 rute) dan adik kandungnya, Citilink (42 rute).

Soal rute, maskapai yang bisa menyaingi Lion Grup adalah Susi Air (190 rute). Namun mengkomparasikan dua maskapai ini tentunya tak adil karena Susi Air identik sebagai maskapai perintis yang memakai pesawat Cessna berpenumpang tak lebih dari 12 orang.

Dalam hal jumlah pesawat yang beroperasi, kepemilikan Lion Air Group mencapai 244 pesawat. Angka ini akan semakin bertambah tiap tahunnya mengingat Lion sudah memesan 497 pesawat dari tiga perusahaan besar yakni Airbus, ATR dan Boeing.

Saat ini Lion Group hampir 50 persen menguasai pangsa pasar penerbangan Indonesia. Penerbangan yang mereka lakukan membelah sampai pelosok-pelosok Indonesia, dari Banda Aceh di ujung barat sampai Merauke ujung timur, dari Melonguane di ujung utara hingga Ende di ujung selatan. Mereka menerbangkan 110.000 penumpang dengan 500-600 flight per hari.

Rusdi Kirana sempat memberikan jawaban menarik saat diwawancarai wartawan Majalah Angkasa, pada 2013 lalu. Rusdi mengabaikan cacian terhadap Lion yang menyebut maskapai ini tak punya hati nurani kepada penumpang.

“Kalau mereka berpikir ke sana, saya tak bisa berdebat karena itu pembuktiannya sangat subyektif. Namun saya bisa membuat argumen yang tak bisa disangkal,” katanya.

“Saya membuat di Indonesia orang bisa bepergian dengan murah. Kalau dianggap saya tak punya nurani, dari mana mereka bisa bepergian sekarang dari kota A ke kota B, tujuan apa pun dengan harga tiket terjangkau?”

“Kalau kita bicara nurani soal pelayanan, itu subyektif. Nurani yang harus kita pertahankan adalah bagaimana orang itu jangan kita kurangi kemampuannya dalam membeli. Kita jangan jual dengan harga mahal, bagaimana harga tetap terjangkau.”

“Kalau seandainya orang suka atau tidak suka, itu subyektif. Yang obyektif adalah how they can build an airport to buy the ticket that pays and brings to any destination.

Sebuah kalimat pamungkas pun dituturkan Rudi dalam wawancara ini. “My airlines is the worst in the world, but you have no choice. Makanya, ada yang bilang, Lion Air dibenci, tapi dirindu," tuturnya.

Terlepas dari kearoganan dan superioritas Lion mendominasi industri maskapai di Indonesia, kunci mengikis masalah ini semuanya ada di pemerintah. Beranikah menegur secara serius raksasa Singa Merah ini?

Baca juga artikel terkait LION AIR GROUP atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti