tirto.id - Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02 berkali-kali mengungkapkan kritikannya pada pemerintah soal "kebocoran", mulai dari sumber daya alam hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada masa Pilpres 2014. Masalah itu kembali diungkitnya dalam Pilpres 2019.
"Kalau anggaran kita yang sudah disepakati 200 miliar dolar (Rp2.461 triliun/2019), kalau kebocoran tadi 25 persen, artinya yang hilang... hampir Rp500 triliun yang bocor," ujar Prabowo saat berpidato di HUT ke-20 FSPMI di Hall Sport Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/2/2019).
Anggaran yang disebut Prabowo tersebut dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disusun setiap tahun oleh pemerintah dan DPR. APBN terdiri atas dua bagian: pendapatan negara dan belanja negara. Pendapatan negara ditopang oleh tiga komponen: pendapatan perpajakan, pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah.
Pendapatan perpajakan merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara. Sedangkan belanja negara terdiri atas belanja pemerintah pusat yang mencakup belanja K/L dan belanja non K/L; transfer ke daerah; serta dana desa. Setiap tahunnya, pemerintah pusat akan menyerahkan laporan pengelolaan anggaran tersebut dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Laporan tersebut nantinya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mendapat opini penilaian. LKPP yang terakhir kali diaudit BPK ialah LKPP terhadap APBN 2017. Tirto mencoba mencari tahu evaluasi BPK terhadap LKPP dengan membatasi pemeriksaan pada 2017, meskipun anggaran 200 miliar dolar yang dimaksud Prabowo, memang jauh di atas jumlah anggaran APBN 2017 sebesar Rp2.077,35 triliun (US$200 miliar = Rp2.818,60 triliun, kurs Jisdor per 15/2/2019).
Dalam LKPP 2017, pemerintah menyatakan realisasi pendapatan negara sebesar Rp1.666,37 triliun. Realisasi tersebut mencapai 95,99 persen terhadap anggaran pada APBN-P 2017 yang direncanakan sebesar Rp1.736,06 triliun. Pendapatan perpajakan menjadi penyumbang pendapatan terbesar dengan Rp1.343,53 triliun atau sekitar 80,63 persen.
Namun, angka tersebut baru mencapai 91,23 persen dari anggaran yang ditetapkan sebesar Rp1.472,71 triliun. Penyumbang pendapatan berikutnya yaitu PNBP sebesar Rp311,22 triliun (18,68%), dan hibah Rp11,63 triliun (0,70%).
Realisasi belanja negara dinyatakan sebesar Rp2.007,35 triliun. Realisasi tersebut mencapai 94,10 persen terhadap anggaran pada APBN-P 2017 yang direncanakan sebesar Rp2.133,29 triliun. Angka tersebut paling besar disumbang belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp1.265,36 triliun atau 63,04 persen terhadap total belanja negara.
Transfer ke daerah menjadi penyumbang terbesar kedua sebesar Rp682,23 triliun. Sedangkan realisasi dana desa sebesar Rp59,77 triliun, atau 2,98 persen terhadap realisasi belanja negara.
Temuan BPK dan Potensi Kebocoran
Dalam pemeriksaan terhadap LKPP 2017, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Dari pemeriksaan terhadap 87 laporan keuangan K/L (LKKL), termasuk BPK yang diperiksa oleh Kantor Akuntan Publik dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN), 80 LKKL mendapatkan opini WTP, 6 LKKL mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian WDP, serta 2 LKKL mendapatkan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP).
Meskipun mendapat predikat WTP, LKPP bukanlah tanpa kekurangan. Setidaknya BPK menemukan 8 pokok kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), dan 5 pokok temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan.
Salah satu pokok kelemahan pada SPI mengenai belum adanya peraturan tentang mekanisme penghapusan perpajakan dan piutang bea keluar yang ditetapkan Pejabat Bea dan Cukai. Kelemahan tersebut menurut BPK mengakibatkan potensi hilangnya kesempatan penerimaan negara sebesar Rp656,59 miliar. Selain itu BPK juga menemukan potensi penyalahgunaan atas pengelolaan rekening titipan yang tidak memadai pada Kejaksaan RI sebesar Rp297,31 miliar dan US$990,95.
Sedangkan pada bagian kepatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan, ditemukan potensi kekurangan dan kehilangan penerimaan negara sebesar Rp295,24 miliar dan US$5,85 juta. Potensi kekurangan dan kehilangan penerimaan tersebut disumbang oleh tiga K/L yaitu: Kementerian ESDM, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, dan Mahkamah Agung.
Selain LKPP 2017, BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017 juga menyatakan adanya potensi kerugian akibat permasalahan ketidakpatuhan pemerintah pusat terhadap peraturan Perundang-undangan pada 2016. Potensi kerugian sebanyak 49 masalah tersebut ditaksir sebesar Rp2,27 triliun.
Pada IHPS II 2017, BPK juga menemukan adanya ketidakefektifan sebanyak 276 masalah. Ketidakefektifan pada pemerintah pusat tersebut bernilai Rp359,07 miliar. Temuan BPK tersebut senada dengan hasil spending review oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan menunjukkan adanya potensi celah fiskal Rp9,6 triliun pada tahun anggaran 2016 dan Rp8,7 triliun pada tahun anggaran 2017.
Potensi tersebut didominasi oleh belanja perjalanan dinas. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah "menyentil" perilaku K/L yang melakukan mark up anggaran. Ia juga mengimbau agar K/L dapat melakukan efisiensi untuk menjaga defisit anggaran.
Pada pemeriksaan BPK terhadap pemerintah pusat memang ditemukan adanya potensi kekurangan, kehilangan, ataupun kerugian pendapatan negara, namun tak sebesar seperti ucapan Prabowo yang menyatakan kebocoran anggaran mencapai Rp500 triliun. Persoalan kebocoran anggaran bukanlah hal sederhana yang mudah diucapkan.
Kritik terkait kebocoran anggaran bukanlah kali pertama dilontarkan Prabowo. Pada Pilpres 2014 lalu ia juga mengkritik kebocoran anggaran sebesar Rp1.000 triliun, meskipun akhirnya dikoreksi oleh timsesnya yang mengatakan kebocoran tersebut bukan pada APBN melalaikan pada potensi kekayaan yang tidak dimanfaatkan dengan baik.
Sikap Prabowo yang mengkritik pemerintah bukanlah hal yang salah. Namun, perlu disertakan data yang bukti yang kuat agar tidak menjadi isu tahunan saat musim politik saja.
Editor: Suhendra