Menuju konten utama

Masa Transisi Darurat Penanganan Bencana Sulteng Diperpanjang

Masa transisi darurat penanganan korban bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi di Sulteng diperpanjang selama 60 hari, terhitung mulai 24 Februari 2019.

Masa Transisi Darurat Penanganan Bencana Sulteng Diperpanjang
Sejumlah tenda pengungsian didirikan warga di pinggir pantai bekas terjangan gelombang tsunami yang telah ditetapkan sebagai kawasan berbahaya di Pantai Talise Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (4/1/2019). ANTARA FOTO/Basri Marzuki

tirto.id - Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola memutuskan untuk memperpanjang masa transisi darurat penanganan korban bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi selama 60 hari, terhitung mulai 24 Februari 2019.

Gubernur memutuskan hal ini setelah mendapat masukan dari berbagai pihak dalam rapat evaluasi perpanjangan Tahap I status Transisi Darurat Bencana Alam Sulteng yang dihadiri para pejabat terkait tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota terdampak bencana di ruang kerja Gubernur Sulteng di Palu, Selasa.

Masa transisi darurat penanganan pascabencana 28 September 2018 akan berakhir 23 Februari 2019, namun karena masih banyak hal yang belum diselesaikan dalam tahap transisi tersebut maka status transisi ini diperpanjang lagi selama 60 hari.

Dalam rapat tersebut juga terungkap bahwa pembangunan hunian sementara bagi para korban yang hingga kini masih tinggal di tenda-tenda darurat belum juga tuntas.

Kepala Satgas Penanganan Bencana Kementerian PUPR Arie Setiadi melaporkan bahwa sampai saat ini, baru 699 unit huntara yang sedang dikerjakan dari 1.200 unit yang direncanakan dibangun.

Dari 699 unit tersebut baru 488 yang sudah selesai dikerjakan namun baru sebagian yang dihuni karena kebanyakan huntara belum memiliki jaringan listrik.

Wakil Presiden HM Jusuf Kalla yang menelepon Gubernur Sulteng saat sedang memimpin rapat evaluasi tersebut menyatakan akan memerintahkan Dirut PLN segera memenuhi kebutuhan pemasangan jaringan, instalasi dalam huntarta serta meteran listrik ke semua huntara.

Hal itu dilakukan agar para pengugsi yang sudah empat bulan lebih tinggal di tenda-tenda darurat bisa segera menerima hunian yang lebih layak.

Kepala Dinas Sosial Sulteng Ridwan Mumu melaporkan pencairan dana duka sudah untuk korban bencana sebanyak 4.402 jiwa sedang dalam proses verifikasi, dan hingga saat ini baru 1.606 jiwa yang terverifikasi dan dananya sudah ditrasnsfer ke rekening masing-masing ahli waris senilai Rp15 juta/korban.

Terkait pemberian jaminan hidup kepada 72.000 jiwa pengungsi selama 60 hari, kata Ridwan, masih sedang dipersiapkan.

Sementara itu pejabat yang mewakili Badan nasional Penanggulangan bencana (BNPB) Endang Suhendra menyampaikan bahwa perlakukan terhadap masa transisi darurat dengan masa tanggap darurat tidak berbeda, sehingga bila memang masih diperlukan perpanjangan, harus dilakukan secara terukur dan harus ada target waktu penyelesaian.

BNPB, kata Endang, mengapresiasi penanganan pascabencana yang dipimpin gubernur sejak masa tanggap darurat sampai masa transisi tahap I saat ini dan berharap perpanjangan masa transisi ini akan lebih mempercepat penuntasan hal-hal yang masih terhambat penanganannya.

Di sisi lain saat ini masih ada ratusan jiwa pengungsi korban gempa dan likuefaksi di Kota Palu, Sulteng yang bertahan di tenda-tenda bantuan sambil menunggu dipindahkan ke hunian sementara (huntara) yang disediakan pemerintah.

"Kami belum tahu kapan bisa pindah ke huntara," kata Fatimah, salah seorang pengungsi korban likuefaksi di Balarowa, Kecamatan Palu Barat, Rabu (20/2/2019).

Ia menambahkan sudah hampir lima bulan terakhir ini mereka menempati tenda-tenda bantuan dari berbagai pihak.

Memang tinggal di tenda yang cukup sederhana rasanya tidak enak. "Tapi apa boleh buat, mau kembali ke tempat tinggal semula, rumah dan seluruh perabot sudah hancur karena gempa 7,4 SR yang mengguncang sejumlah wilayah di Sulteng pada 28 Septembver 2018.

Rumahnya yang dibangun dengan susah payah, hanya dalam waktu singkat lenyap diterjang likuefaksi. Namun, ia bersyukur, suami dan anak-anaknya selamat dari kedasyatan gempabumi itu.

Meski seluruh harta benda sudah habis karena gempa, namun ibu empat anak itu menyatakan tetap bangkit untuk kembali dari nol lagi mencari rejeki agar bisa membangun rumah.

Dia juga berharap dalam waktu tidak lama bisa pindah ke huntara yang telah disediakan oleh berbagai lembaga kemanusiaan tersebut.

"Kami sangat berharap bisa segera pindah ke huntara," harap dia.

Hal senada juga disampaikan Rahmat. Rahmat salah satu korban likuefaksi di Balarowa yang sudah tidak lagi memiliki rumah karena diterjang gempabumi beberapa bulan lalu.

"Tidak ada yang tersisa. Semua baik rumah maupun perabot rumah habis," tambah dia.

Ia mengemukakan hingga kini ada sekitar 600an jiwa yang tinggal di lokasi pengungsian di sekitar wilayah itu.

Di Kota Palu saat ini masih ada sekitar 40.000 jiwa korban bencana alam gempa, tsunami dan likuefkasi yang masih bertahan di tenda-tenda tersebar di sejumlah lokasi pengungsian yang ada di delapan kecamatan di Kota Palu.

Baca juga artikel terkait GEMPA SULTENG atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri