tirto.id - “Felicia telah mengecap kegetiran, yang lebih getir ketimbang getirnya air dari mata air yang getir.” (Maria Dermout, The Ten Thousand Things, 2002, hlm. 199)
Pada 1958, majalah Time menobatkan The Ten Thousand Things sebagai buku terbaik tahun itu. Buku yang terbit pada 1955 tersebut aslinya ditulis dalam bahasa Belanda, bahasa ibu Maria. Saking larisnya, buku itu diterjemahkan hingga ke dalam 11 bahasa. Di Amerika Serikat, buku itu populer pada akhir tahun 1950-an, membayang-bayangi popularitas Dr. Zhivago karya Boris Pasternak dan Breakfast at Tiffany’s karya Truman Capote.
The Ten Thousand Things, atau aslinya berjudul De tienduizend dingen, menceritakan kehidupan tokoh Felicia, nyonya Belanda pemilik perkebunan di salah satu pulau di Maluku. Ia tinggal sendirian di perkebunan, ditemani para budak dan babu, dan sehari-harinya memakai kain dan kebaya. Anak laki-lakinya, Himpies, yang ia kirim ke Belanda untuk bersekolah supaya menjadi dokter bedah, kembali ke Maluku dan memilih berdinas di militer. Ia kemudian tewas dalam sebuah operasi di Pulau Seram, ketika “unjuk kekuatan di hadapan suku Alifuru Gunung yang sering bikin rusuh dan tidak berhenti berburu kepala orang”. (The Ten Thousand Things, 2002, hlm. 97).
Pada hari pertama Himpies menginjakkan kaki kembali di Ambon, Felicia mendengar anak lelaki satu-satunya itu bersiul riang melantunkan melodi yang sering dinyanyikan Himpies waktu kecil. Saat itulah Felicia baru menyadari betapa bahagia Himpies kembali ke kampung halaman, hingga membuat Felicia bertanya-tanya, “Apakah ia sebegitu menderita di Belanda?” Bagi Himpies, Ambon adalah rumah, tumpah darahnya, sementara Belanda adalah negeri asing yang jauh. (Susie Protschky, “Nature, Landscape and Identity in the Netherlands Indies. Literary constructions of being Dutch in the tropics”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 164-1 (2008): 13-37).
Konflik identitas, sebagaimana kerap muncul di banyak karya sastra Hindia-Belanda yang disusun penulis Indo, merupakan dialog yang tak ada habisnya di dalam karya-karya Maria. Dengan cara bertutur yang unik dan luwes bermanuver antara karakter Eropa dan Jawa, Maria membaurkan antara yang nyata dan khayalan, masa lalu dan masa kini, yang hidup dan tak hidup—semua seolah bernyawa, khas orang Indonesia memberi “nyawa” pada benda-benda.
Pada akhirnya, Felicia dikisahkan meninggal seorang diri dan tidak punya penerus untuk diwarisi perkebunan yang telah dimiliki keluarganya selama lima generasi. Penulisnya, Maria Dermout, juga kehilangan anak laki-laki, Hans. Ia terbunuh di kamp interniran pada masa pendudukan Jepang tahun 1945.
Kepiawaian Maria bercerita berpusat pada kemampuannya memindahkan alam khayali khas Jawa ke dalam bentuk tertulis—sesuatu yang khas dalam kesusastraan Hindia-Belanda. “Saya sangat beruntung, bahwa seumur hidup saya dikelilingi para pendongeng.” Dalam hal ini, Maria merujuk pada para babu yang mengurusnya sejak kecil, termasuk mendongenginya sebelum tidur. Dalam dongeng, tidak jelas perbedaan antara yang nyata dan yang khayal, ujung dan akhir. Sebagaimana tersirat dalam judul novel The Ten Thousand Things, manusia hanyalah salah satu dari puluhan ribu muasal berbagai hal, dan tak lebih mulia atau lebih hina dari makhluk-makhluk tak bernyawa sekalipun. Maria meminjam konsep ini dari ajaran Tao yang muncul dalam puisinya pada abad ke-18, menunjukkan warna Asia Timur dalam karya Maria. (Rob Nieuwenhuys, Mirror of The Indies, 1990, hlm. 260-261).
Pengaruh kehidupan pribumi dalam diri Maria juga terlihat kental di akhir sebuah karyanya yang lain, Toeti. “Toeti dan suaminya meninggal, tinggal tersisa Mah Itih. Itih kemudian berziarah ke makam mereka dan menabur bunga lima rupa di atas kuburan, menyalakan lilin dan dupa…”. Begitu kuat karakter Indies dan cara hidup pribumi di dalam karya-karya Maria berhasil meyakinkan Rob Nieuwenhuys sehingga ia menyatakan bahwa Maria bukanlah penulis Belanda, melainkan penulis Hindia-Belanda (Rob Nieuwenhuys, Mirror of The Indies, 1990, hlm. 257).
Memandang Hindia Lewat Mata Maria
Tetapi Paul Doolan dalam “Maria Dermout and Unremembering Lost Time” (Can. J. of Netherlandic Studies/Rev. can. d’études néerlandaises 34.2 (2013): 1-28) punya pendapat berbeda. Bagi Doolan, Dermout adalah murni penulis Belanda, dengan pandangan dan privilese orang kulit putih. Ruang, karakter, gaya tutur dongeng, dan keindahan alam Hindia yang sangat mooi telah membutakan Nieuwenhuys sehingga gagal melihat Dermout sebagai penulis kulit putih yang berdiri sebagai bagian dari kekuasaan kolonial. Lagipula, sebagaimana pendapat Edward Said, “Kuasa untuk menarasikan, atau menghalang-halangi narasi lain terbentuk dan muncul, merupakan hal yang sangat penting dalam kebudayaan dan imperialisme (Edward Said, Culture and imperialism, 1994, hlm. xii).
Ketika mengisahkan peristiwa di Pulau Seram yang merenggut nyawa Himpies, Dermout menarasikan suku Alifuru Gunung sebagai pengganggu kedamaian yang harus ditumpas, alih-alih menyebut Belanda sebagai pengganggu kehidupan suku asli. Himpies yang dikirim ke Belanda untuk bersekolah pun menunjukkan kemewahan yang hanya bisa dinikmati orang kulit putih kaya raya. Dan ketika Felicia mati meninggalkan perkebunan yang dikuasai keluarganya selama lima generasi, Dermout tidak menyebutkan bahwa lima generasi yang lalu leluhur Felicia-lah yang merampas perkebunan itu dari pemilik sesungguhnya.
Novel-novel Maria ditulis di Belanda, dua dasawarsa setelah ia meninggalkan Hindia-Belanda. Debut pertamanya, Nog pas gisteren (Only Yesterday) terbit pada 1951, ketika usianya 63 tahun dan Indonesia telah enam tahun merdeka. Pengusiran Belanda dan proses dekolonisasi memang menjadikan komunitas Eropa (dan Indies) tercerabut dari tanah kelahirannya. Setelah penyerahan kedaulatan, puluhan ribu orang Eropa direpatriasi ke Belanda. Hingga derajat tertentu, Istilah itu menjadi lucu,karena banyak orang Belanda atau Indo yang lahir di Hindia belum pernah menginjakkan kaki di Belanda dan sama sekali asing dengan kebudayaan patria atau “tanah air” tujuannya. Repatriasi inimerampas ruang hidup yang melekat dalam identitas warga Eropa yang terusir dari Hindia, dan salah satu cara mengklaim ruang yang hilang ini adalah melalui narasi dan nostalgia.
Maria Dermout berhasil mengklaim ruang yang dihilangkan paksa dalam hidupnya melalui karya sastra. Di usia senja, lemah, dan sakit-sakitan, Maria mengenang kehidupan tempo dulu tempat ia dilahirkan di perkebunan tebu di Pati (sebagian sumber menyebut ia lahir di Pekalongan) pada 15 Juni 1988, di rumah gedong yang besar, lengkap dengan para babu, dalam Nog pas gisteren. Setelah menikah ia mengikuti suaminya yang berdinas di Ambon pada 1910 hingga 1914. Dari kenangan selama empat tahun di Kepulauan Rempah ini lahirlah De tienduizend dingen dan Spel van tifa-gongs (1954). Spel van tifa-gongs mengisahkan sejarah Maluku dan mendokumentasikan lagu-lagu kematiandi kepulauan tersebut.
Maria sendiri tidak pernah menyangka bahwa karya-karyanya akan menjadi klasik. Ia meninggal 59 tahun lalu di Noordwijk, 27 Juni 1962, di usia 74 tahun, dengan penerbit dan percetakan masih riuh mencetak bukunya dalam berbagai bahasa, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.
Editor: Windu Jusuf