tirto.id - Pada awal abad ke-20, penguasa Jepang dihadapkan pada menjamurnya gerakan kiri dalam berbagai macam bentuk, mulai dari pemberontakan petani, protes buruh, sampai penyebaran sosialisme melalui publikasi tulisan para intelektual kampus.
Menurut Andrew Gordon dalam A History of Modern Japan (2014: 167), kemunculan gerakan kiri terutama diinspirasi oleh kebangkitan komunisme selama Revolusi Rusia 1917, di samping respons terhadap ekspansi ekonomi kapitalis Jepang, semakin terjangkaunya akses pendidikan, dan idealisme politik. Yamakawa Hitoshi, Sakai Toshihiko dan Arahata Kanson mencita-citakan revolusi proletariat. Terinspirasi Bolshevik, ketiganya mendirikan Partai Komunis Jepang (JCP) dengan dukungan Komunis Internasional (Komintern) pada 1922.
Namun demikian, JCP tidak pernah ada di mata pemerintah Jepang kala itu kecuali sebagai gangguan belaka. Kehadirannya dianggap mengusik tertib politik yang mengaggungkan kepatuhan terhadap kekaisaran dan militer.
Pada 1925 pemerintah menegakkan undang-undang untuk mempertahankan ketertiban sosial, sebagai dalih untuk menggiring para intelektual kiri ke balik jeruji besi dan memaksa mereka membuang jauh-jauh ideologinya. JCP otomatis menjadi organisasi ilegal.
Namun, karya-karya sosialis tetap tumbuh subur. Sepanjang “dekade merah” dari 1920-an sampai 1930-an, sastra proletar hadir memberi warna pada lanskap budaya dan politik di Jepang.
Miyamoto, Suara Perempuan
Miyamoto Yuriko (1899-1951) adalah salah satu figur intelektual perempuan Jepang, seorang Marxis, dan feminis. Sebagaimana komunis zaman itu, ia terinspirasi Revolusi Oktober beserta cita-cita masyarakat tanpa kelas. Ia bertemu dengan orang-orang Rusia dan terkesan oleh cara mereka mendorong emansipasi politik dan ekonomi bagi kaum perempuan. Miyamoto pun memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya untuk dunia sastra proletar, terutama demi mengangkat isu-isu perempuan kelas pekerja Jepang.
Terlahir sebagai Chūjō Yuriko, Miyamoto besar dalam keluarga priyayi yang tak pernah mengenal hidup susah. Ayahnya adalah arsitek lulusan Universitas Tokyo yang kerap bertugas ke luar negeri, sementara ibunya adalah seniman sekaligus putri intelektual era Meiji bernama Nishimura Shigeki. Sejak muda, Miyamoto sudah terpapar banyak bacaan, mulai dari tulisan sastrawan kenamaan Jepang, Natsume Sōseki, sampai karya terjemahan Leo Tolstoy.
Kesadaran Miyamoto akan ketimpangan kelas dan keprihatinannya terhadap kemiskinan mulai terpupuk sejak kecil. Kerap berlibur ke rumah keluarganya di Fukushima, ia mengamati para buruh yang bekerja untuk lahan pertanian kakeknya. Pengamatan tersebut dituangkan dalam tulisan berjudul “Desa Pertanian”.
Ketika berusia 17 tahun, Miyamoto menulis ulang karyanya tersebut dengan judul “Sekelompok Orang Malang”. Naskah tersebut menarik perhatian kolega ayahnya, Tsubouchi Shōyō, profesor sastra di Universitas Waseda. Dengan rekomendasi Tsubouchi, tulisan Miyamoto berhasil diterbitkan di jurnal sastra bergengsi Chūō Kōron.
Tak lama kemudian, Miyamoto ikut ayahnya dinas ke New York City dan menjadi mahasiswa tamu di Columbia University. Di sana, ia jatuh cinta dengan seorang Jepang, ahli linguistik Persia kuno bernama Araki Shigeru.
Tanpa restu orangtua, Miyamoto menikah dengan Araki. Pernikahan tersebut dipandang Miyamoto sebagai pelarian dari tekanan orangtua dan gerbang menuju kemandirian. Selama ini, ia merasa dituntut oleh ibunya untuk mengejar karier setinggi-tingginya dan menikahi laki-laki mapan.
Namun, tak butuh waktu lama buat Miyamoto untuk menyadari bahwa kehidupan pernikahan tidak menawarkan kebebasan dan kebahagiaan seperti yang didambakannya. Ia terutama menyadari bahwa Araki berasal dari latar belakang sosio-ekonomi berbeda. Akibatnya, Araki cenderung merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Sedangkan Miyamoto selalu merasa tak puas dan ingin terus tumbuh.
Di buku hariannya tertanggal 23 April 1922, Miyamoto menulis, “[Araki] tidak akan berkembang, ia akan jadi biasa-biasa saja, semakin tua mungkin malah semakin kolot dan cemburuan". Bagi Miyamoto, jika dirinya sendiri bisa mengecilkan hasrat untuk berkembang, mungkin ia bisa menikmati hidup dan cukup menggantungkan hidupnya kepada seorang laki-laki. Di sisi lain, ia menyadari masalah ketergantungan perempuan kepada laki-laki dan mulai mengakui pentingnya bekerja serta memiliki penghasilan sendiri, supaya kelak terbebas dari dominasi ayah dan suami.
Miyamoto pun bertanya-tanya, seperti apa rasanya jadi perempuan yang terjebak dalam kebuntuan hidup dan kemiskinan? Kegelisahan itu dituangkan dalam cerpen berjudul “Suatu Pagi Tanpa Mentari” (1924). Tokoh utamanya adalah seorang gadis teraniaya yang kehilangan ibunya sejak kecil dan tumbuh besar di bawah siksaan ibu tiri. Menginjak dewasa, ia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sempat dijodohkan dengan laki-laki berstatus sosial tinggi, ia gagal menikah. Akhirnya, ia menjemput masa tuanya sebagai buruh pabrik gula-gula, menjadi “seorang pelayan yang putus asa, seorang yang tak berarti tak berupa”.
Melalui cerpen di atas, Miyamoto menyinggung cita-cita pernikahan yang konservatif di mana perempuan dipandang bisa menaikkan derajat sosialnya dengan menikahi laki-laki berstatus lebih tinggi. Pada waktu bersamaan, Miyamoto mulai menyoroti eksploitasi pekerja pabrik di Jepang yang semakin terindustrialisasi.
Setelah bercerai dari Araki, Miyamoto menulis serial “Nobuko” (1924-1926) yang sedikit banyak berkaca pada pengalaman hidupnya. Dalam tulisannya, ia mengkritisi konsep pernikahan dalam masyarakat Jepang, termasuk berbagai pandangan dalam urusan rumah tangga dan sistem keluarga yang cenderung menghalangi anak perempuan dan istri untuk tumbuh menjadi individu yang merdeka.
Berkenalan dengan Marxisme
Pada mulanya, Miyamoto bukanlah penulis dengan afiliasi politik. Kritik-kritik sosialnya berangkat dari pengalaman pribadi sebagai perempuan dalam pusaran keluarga yang patriarkis dan konservatif di Jepang. Selama di Jepang, ia pun belum terpapar Marxisme. Miyamoto baru mengenal politik setelah menjalani kehidupan di Uni Soviet dan berkeliling Eropa sepanjang 1927-1930 bersama seorang penerjemah, Yuasa Yoshiko.
Di Soviet, Miyamoto terkesan pada transformasi sosial yang melibatkan perempuan. Di negara sosialis pertama di dunia tersebut, Miyamoto memperhatikan bagaimana perempuan punya kesempatan untuk maju dan berdaya secara politik dan ekonomi, serta turut berkontribusi kepada kerja-kerja revolusi.
Perjumpaannya dengan masyarakat Soviet yang egaliter akhirnya mendorong Miyamoto untuk menjadi seorang Marxis. Ia memutuskan untuk memperjuangkan perempuan dan keluarga kelas pekerja melalui karya sastra. Begitu kembali ke Jepang pada akhir 1930, ia bergabung dengan Liga Penulis Proletar Jepang dan aktif menulis di jurnal-jurnal perempuan. Tak lama kemudian, ia menjadi anggota Partai Komunis Jepang dan menikahi aktivis Miyamoto Kenji.
Kehidupan suami-istri Miyamoto sarat penindasan aparat yang mengawasi gerak-gerik para aktivis kiri. Tak lama setelah menikah, suami Miyamoto dituduh membunuh polisi dan harus mendekam di penjara selama 12 tahun, tepatnya sampai 1945 ketika Amerika Serikat masuk ke Jepang dan membebaskan semua tawanan politik. Miyamoto sendiri bolak-balik masuk penjara. Ia sempat keluar penjara sebentar untuk menemani ibunya yang sekarat di rumah sakit. Di balik dinding bui pula ia mendengar kabar kematian sang ayah.
Setelah menjadi anggota Partai Komunis dan menikah dengan aktivis partai, karya-karya Miyamoto mulai menampilkan tema yang berbeda, yakni peran revolusioner perempuan dalam keluarga proletar. Cerpen berjudul “Keluarga Koiwai” (1934), misalnya, mengisahkan dukungan seorang istri terhadap aktivisme suaminya yang berprofesi sebagai penulis. Dalam keterbatasan finansial, sang istri memutuskan mencari tambahan uang sebagai pelayan bar. Tokoh istri ini pula yang mendidik keluarga besarnya tentang pentingnya perubahan sosial di Jepang, agar kelak mereka bisa dapat akses kesehatan gratis dan hak-hak pekerja jadi lebih baik.
Ada juga cerita berjudul “Payudara” (1935), salah satu karya Miyamoto yang memiliki pesan politik yang sangat kuat. Tokoh utamanya adalah seorang perempuan yang suaminya menjadi tawanan politik. Sang istri mendirikan tempat penitipan bagi anak-anak pekerja pabrik dan terlibat dalam gerakan buruh untuk menyokong kesejahteraan keluarga pekerja.
Dapat dipahami bahwa cerpen-cerpen Miyamoto berusaha menampilkan tokoh perempuan sebagai bagian dari kelas pekerja yang terlibat dalam kerja-kerja mencapai revolusi sosial.
Seperti disorot oleh Angela Coutts (2012) dalam studi berjudul “Imagining Radical Women in Interwar Japan: Leftist and Feminist Perspectives”, jurnal-jurnal sastra yang berafiliasi dengan gerakan komunis di Jepang kala itu memang minim akan kontribusi perempuan, termasuk publikasi tentang aktivisme perempuan Jepang. Kehadiran Miyamoto bersama kolega perempuannya, seperti salah satunya Sata Ineko, bisa sedikit mengimbangi dominasi pemikir laki-laki.
Di satu sisi, pemikiran Miyamoto tidak bebas dari kritik. Seperti diamati oleh Coutts, Miyamoto adalah pemikir yang cenderung mengutamakan kelas daripada gender. Di mata Miyamoto, perempuan menjadi bagian dari kelompok kelas pekerja dan kaum proletar, alih-alih sebagai kelompok sosial yang independen dengan hasrat dan cita-cita politis tersendiri.
Terlepas dari itu semua, kontribusi Miyamoto dalam dunia sastra proletar adalah warisan penting. Melalui karyanya, Miyamoto terutama berpesan kepada kaum pekerja Jepang, bahwa perempuan bisa punya inisiatif dan aktif berkarya untuk memperjuangkan perubahan sosial yang revolusioner.
Pada dekade 1930-an, ketika Jepang politik ekspansionis Jepang menyapu seluruh Asia, dan fasisme menghendaki kepatuhan rakyat 100 persen kepada kaisar dan para jenderal, kita tahu apa yang umumnya terjadi pada kaum komunis, musuh bebuyutan fasis sepanjang massa. Sebagian besar komunis Jepang mati atau meringkuk di penjara. Sisanya eksil.
Kerja-kerja Miyamoto hingga akhir hayatnya (ia meninggal pada 1951) adalah kerja-kerja penuh keberanian.
Editor: Windu Jusuf