tirto.id - Demokrat, partai menengah yang pada pileg lalu ada di posisi ke-7 dengan perolehan suara 7,7 persen, terus bermanuver. Selasa (12/8/2019) lalu, Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan mengatakan mayoritas kader partai "memang ingin bergabung [ke koalisi Jokowi]" setelah pada Pilpres 2019 mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan gagal.
Sementara Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan sikap resmi partai adalah "memperkuat pemerintahan Pak Jokowi."
Pernyataan Syarief keluar setelah PDIP selesai menyelenggarakan kongres di Bali. Saat itu Demokrat tak diundang, padahal Gerindra dan PAN, yang juga mendukung Prabowo-Sandiaga, datang.
Dengan mempertimbangkan PDIP sebagai motor utama koalisi Joko Widodo, seorang pengamat mengatakan itu adalah indikasi bahwa peluang Demokrat sudah tertutup sama sekali.
Tapi pernyataan Syarief di atas menunjukkan bahwa Demokrat tetap berupaya masuk koalisi Jokowi.
Meski mendukung Jokowi, Syarief menegaskan Demokrat "tidak pernah mengincar jatah kursi". Dia menegaskan jangan sekali-kali Demokrat "disamakan dengan partai lain."
Saat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terang-terangan ogah diberi jatah empat kursi oleh Jokowi seperti pada periode pertama, Demokrat menyindir dengan mengatakan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) "tidak ada satu partai pun meminta-minta secara terbuka kepada Presiden."
Tapi menurut politikus PDIP Andreas Hugo Pareira, pengakuan tak meminta jatah kursi hanya bualan belaka. Tak ada makan siang gratis, apalagi dalam politik Indonesia.
"Pernyataan ini [Syarief] juga bisa diartikan bahwa PD (Demokrat) ingin mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dengan harapan ada power sharing dalam kabinet nanti," kata Andreas kepada reporter Tirto, Rabu (14/8/2019).
Toh Demokrat juga siap jika diminta Jokowi membantu di kabinet. Kepada reporter Tirto, Ketua DPP Demokrat Jansen Sitindaon pekan lalu mengatakan, "kalau ada kader Demokrat yang dianggap mampu bantu Pak Jokowi selesaikan masalah, ya tentu kami siapkan."
Ditolak Koalisi
Meski pada akhirnya keputusan terakhir ada di tangan Jokowi sebagai presiden terpilih, tapi dia sendiri berkali-kali menyatakan akan bicara terlebih dulu dengan koalisi.
Di sini masalahnya: partai koalisi Jokowi tampak betul tidak menyambut baik keinginan Demokrat.
Andreas Hugo Pareira misalnya mengatakan semua sudah terlambat. "Seharusnya sudah dilakukan sebelum pilpres," katanya.
Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding bilang partainya akan manut terhadap keputusan Jokowi, tapi jika ada yang mau bergabung di momen-momen akhir seperti sekarang, yang patut dilihat adalah apa bentuk tawaran mereka.
"Pasti akan dibahas di rapat-rapat nanti. Apa bentuk bargaining-nya. Gitu, kan. Apakah kabinet, apakah legislatif baik di DPR/MPR," jelas Karding.
Sementara Ketua DPP Partai NasDem Irma Suryani Chaniago menegaskan meski Demokrat wajar ingin gabung ke Jokowi karena "bukan merupakan penggagas [gerakan] Ganti Presiden dan bukan partai pengguna politik identitas," tetap saja keinginan mereka tidak akan mudah terpenuhi.
Pada akhirnya, seperti dikatakan dosen komunikasi politik dari Universitas Airlangga Suko Widodo kepada reporter Tirto, "tidak mudah bagi Demokrat untuk masuk ke pemerintahan." Alasannya sesederhana kehadiran Demokrat sangat mungkin mengurangi jumlah kursi koalisi Jokowi lain lain.
Alih-alih mengambil jatah partai lain dan tidak nyaman karena ditentang eksistensinya, kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, sebaiknya Demokrat jadi oposisi saja.
Jika memaksa bergabung ke Jokowi, Mardani memperingatkan Demokrat "berpeluang menjadi partai medioker."
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino