tirto.id - Mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya menyebut ada penambahan atau perubahan isi dalam perjanjian proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) sebanyak 9 kali.
"Sampai masa tugas saya selesai. Ada sampai adendum keenam. Tapi saya dengar sampai sembilan kali adendum," tutur Isnu Edhi Wijaya saat bersaksi di ruang sidang e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2017).
JPU KPK Irene Putri juga menanyakan pada Isnu mengenai target PNRI yang tidak tercapai selama menjalankan proyek e-KTP. "Perusahaan Anda tidak mencapai target mencetak 67 juta keping e-KTP tapi hanya bisa Rp 1,6 juta keping. Bagaimana dengan bayaran yang didapatkan PNRI waktu itu?," tanya Jaksa Irene Putri.
Isnu mengatakan bahwa dia tetap mendapatkan bayaran yang sesuai kontrak, meskipun proyek tersebut tak sesuai target. Hal itu bisa direkayasa melalui perubahan adendum proyek. Penambahan atau perubahan isi perjanjian proyek ini lazim disebut dengan adendum.
Jaksa Irene menanyakan lagi kepada Isnu mengenai tujuan perubahan adendum tersebut. "Boleh tahu kenapa harus diubah?," tanya Jaksa Irene Putri.
Menurut Isnu, PT Sandhipala selaku rekanan PNRI mengaku kekurangan mesin untuk melakukan pencetakan e-KTP. Apalagi ada beberapa mesin mengalami korsleting atau rusak, maka menghambat kerja pembuatan e-KTP.
"Memang ada masalah yang terjadi kerusakan mesin dan mesin yang kurang yang tengah dikerjakan oleh PT Sandhipala, maka kami tidak sesuai target," jelas Isnu Edhi Wijaya di dalam persidangan.
Abdul Basir kembali menegaskan jawaban Isnu tersebut dengan salah satu indikator perubahan adendum tersebut. "Oh, jadi adendum karena tidak sesuai target ya?," tanya Jaksa Abdul Basir.
Isnu menjelaskan bahwa adendum tersebut tidak ada hubungannya dengan kontrak kerja menangani kendala yang ada pada proses pengerjaan proyek e-KTP. Akan tetapi, adendum dilakukan untuk menyesuaikan target dengan capaian kerja yang bisa dilakukan oleh konsorsium.
"Tidak bukan begitu. Jadi perubahan adendum itu diubah untuk target yang dicapai," jelas Isnu.
Menanggapi jawaban Isnu, Abdul Basir lalu membacakan informasi dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Dalam kontrak kerjasama yang pertama kali dibuat, syarat adendum bisa dilakukan, apabila terjadi perubahan spesifik yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
"Bagaimana dengan keterangan saksi lain yang mengatakan bahwa adendum dibuat karena ada perubahan spesifik yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Bukannya ini termasuk pada perubahan spesifik juga?," tanya Abdul Basir.
"Iya benar Pak," jawab Isnu singkat.
Isnu menambahkan keterangan lagi, jika adendum memang telah dilakukan tanpa mengikuti klausul awal. Menurutnya, adendum dilakukan agar menyesuaikan target dengan pencapaian konsorsium.
"Memang sudah sembilan kali adendum diubah. Adendum dilakukan agar menyesuaikan target dengan capaian konsorsium. Maka pihak konsorsium tetap mendapat bayaran," jelas Isnu Edhi Wijaya.
Jaksa Penuntut Umum Abdul Basir menanyakan salah satu perubahan adendum tersebut yang dimaksud tersebut. "Kata Bapak tadi sudah diubah adendum tersebut. Perubahan itu seperti apa sih?," tanya Abdul Basir.
Isnu lalu menjelaskan salah satu contoh perubahan adendum tersebut. Pertama adalah konsorsium berhak mendapatkan bayaran apabila proyek e-KTP sudah melewati tiga tahap.
"Jadi bayaran baru bisa cair kalau sudah masuk tiga tahapan. Pencetakan blangko, personalisasi data penduduk, dan distribusi ke kecamatan. Tapi perubahannya jadi konsorsium sudah mendapat bayaran meski masih blangko kosong," jelas Isnu Edhi Wijaya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri