tirto.id - Pada mulanya, kolonialisme yang mengubah dunia adalah kerelaan untuk pergi jauh, kepasrahan untuk menggapai yang belum dikenal, demi apa-apa yang tak tumbuh di negeri sendiri. Para penjajah mempertaruhkan segalanya demi mimpi-mimpi samar tentang Hindia: negeri di mana tongkat kayu dan batu bisa tumbuh jadi tanaman.
Kini, jauh setelah kolonialisme berakhir, riwayat itu justru semakin penting untuk ditengok kembali. Kita pernah punya segalanya. Dan kita, barangkali, masih punya segalanya. Karenanya, mengapa kita kerap terpukau, bahkan tergantung, pada produk-produk “dunia” sehingga melupakan keberlimpahan tanah air sendiri?
Mari mulai dengan kisah tentang pala. Rempah biasa bagi penduduk Kepulauan Banda tersebut bernilai setara 7 ekor sapi dewasa gemuk di Jerman pada abad ke-14. Selain itu, sebagaimana disampaikan pemerhati sejarah VOC Andy Alexander, salah satu alasan yang menggerakkan orang-orang Belanda datang ke Indonesia adalah keberadaan lada hitam yang nilainya sama dengan segenggam emas. Dan seperti halnya cabe atau bawang, tomat atau kentang, lada hitam bukanlah tanaman yang sulit ditemukan di Nusantara.
Kekayaan alam serta keberlimpahan semacam itulah yang kemudian memantik pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan bleid Tanam Paksa. Lewat aturan tersebut, di masanya, komoditas kopi, teh, tembakau, dan tebu yang permintaannya di pasar dunia membubung tinggi, terbukti membuat Belanda meraup laba. “Pemerintah kolonial mengumpulkan produksi tanaman ekspor yang diperlukan dan kemudian dipasarkan di pasaran dunia,” kata pakar Ekonomi Kerakyatan Prof. Dr. Mubyarto yang menyebut praktik Tanam Paksa sebagai perpaduan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah.
Walau demikian tak semua tanaman dalam daftar Tanam Paksa bisa tumbuh mudah dan menguntungkan. Kapas, misalnya. Bila teh dan kopi masih diproduksi hingga saat ini, sulitnya kapas tumbuh di Indonesia justru membuat industri tekstil dalam negeri bergantung pada impor.
Padahal, untuk menopang kebutuhan industri tekstil, sebetulnya, Indonesia tak pernah kehabisan sumber daya. Berkat tanaman akasia, yang hasil olahannya menjadi serat vikose rayon, industri tekstil nasional sebetulnya dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa perlu mengimpor.
KemandirianSandang
Kementerian Perindustrian telah menetapkan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebagai satu dari lima sektor industri prioritas. Namun demikian, bahan baku yang diperlukan untuk menguatkan industri tersebut tak bisa sepenuhnya mengandalkan sumber daya dalam negeri.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan 99% kapas yang digunakan di dalam negeri justru diperoleh secara impor. Sebagai gambaran, tren impor kapas pada 2017 menunjukkan nilai yang cukup besar, yakni 1.327 miliar dolar. Mengingat permintaan pasar atas produk-produk tekstil sangat tinggi, sedangkan di saat bersamaan kapas sulit diproduksi di negeri ini, keberadaan serat viskose rayon sudah seharusnya menjadi solusi.
“Serat viskose yang dicampur polyester sebagai bahan pakaian pria, misalnya, unggul karena berdaya serap tinggi, lembut di tangan, memiliki warna cerah, dan tahan terhadap pengolahan resin,” terang pihak API, soal alasan mengapa serat viskose rayon penting dan layak digunakan.
Kementerian Perindustrianmenyebut kapasitas produksi serat viskose rayon dalam negeri terus meningkat dari 8,7% total produksi dunia pada 2004 menjadi 11% dari total produksi dunia pada 2017. Dan angka tersebut akan terus meningkat seiring hadirnya Asia Pasific Rayon (APR) awal tahun lalu.
“Dengan beroperasinya APR yang menghasilkan serat viskose rayon sebesar 240 ribu ton dan PT RUM sebesar 80 ribu ton, maka total kapasitas produksi nasional serat rayon akan menjadi 856 ribu ton per tahun,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto. Untuk diketahui, kapasitas produksi nasional serat viskose rayon saat ini adalah 536 ribu ton per tahun.
“Sebagai perusahaan pionir yang mengembangkan industri tekstil yang tidak hanya beriorientasi kepada tekstil untuk sandang, kami juga melihat APR sudah lebih beriorientasi kepada kebutuhan fesyen dan terus mengembangkan serat viskose rayon untuk kebutuhan technical textile,” imbuhnya.
Ungkapan Airlangga bukan tanpa bukti. Kamis (28/3), di gelaran IndIntertex 2019 yang diselenggarakan di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, APR bekerjasama dengan sejumlah perancang busana Indonesia memamerkan pakaian fesyen berkualitas tinggi dengan bahan serat viskose rayon. Dan seiring komitmen mendukung pekerja kreatif Indonesia tampil di kancah dunia, ke depan, serat viskose rayon yang diproduksi APR ditargetkan dapat ditemukan di catwalk-catwalk Paris, Milan, dan New York.
Direktur APR Basrie Kamba mengatakan, APR, yang mulai beroperasi awal tahun ini dengan kapasitas produksi sebanyak 240.000 ton serat viskose rayon per tahun, merupakan produsen serat viskose rayon terintegrasi pertama di Asia dengan sumber bahan baku yang berkelanjutan dan traceable (terlacak). Angka di atas sudah semestinya membuat bangsa ini berani menegakkan kepala mengingat—paling tidak sejak periode Tanam Paksa hingga saat ini—segala yang mampu tumbuh di Indonesia seolah tiada habisnya.
“Kami yakin hasil produksi serat viskose rayon APR dapat mendorong ekspor tekstil Indonesia Selanjutnya kami optimistis APR juga dapat memberikan nilai lebih terhadap industri ekonomi kreatif Indonesia,” paparnya.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan bahwa nilai ekspor tekstil Indonesia dapat mencapai Rp 444 triliun pada tahun 2025. APR sendiri menargetkan: tahun ini, separuh dari total produksi serat viskose rayon dapat diekspor ke sejumlah negara, misalnya Turki, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh.
Muhdori, Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian, menyebut kehadiran APR tak ubahnya setitik cahaya bagi masa depan industri tekstil Indonesia. Alasannya, produk dissolving pulp seperti serat viskose rayon adalah masa depan industri tekstil dunia. “Kini ada diversifikasi produk tekstil yang tidak hanya berorientasi pada sandang namun juga sudah masuk ke teknologi non-woven dan lain sebagainya,” tambahnya.
Langsung tidak langsung, pernyataan demikian menunjukkan: selain membuka peluang bagi kemandirian sandang, di saat bersamaan, upaya swasembada serat viskose rayon juga sejalan dengan cita-cita Making Indonesia 4.0 yang hendak dicapai pemerintah Indonesia pada 2030.
Editor: Advertorial