Menuju konten utama

Malcolm Young, Sang Tulang Punggung AC/DC

Meski namanya kalah tenar ketimbang sang adik, ia menjadi peletak pondasi kuat bagi musik AC/DC.

Malcolm Young, Sang Tulang Punggung AC/DC
Malcolm Young. Facebook.com/ACDC

tirto.id - Seringkali, dalam jagat rock n roll, pemain gitar ritem tidak mendapat lampu sorot yang layak. Apalagi jika sebuah band punya lead guitarist yang mencolok, baik karakter maupun permainannya. Kita bisa menyebut Slash yang membuat Izzy tak tersorot, Joe Perry yang membuat Brad Whitford tampak seperti anak tiri, dan tentu saja Angus Young yang membuat Malcolm Young menjadi gitaris kelas dua.

Memang susah untuk terlihat tidak inferior ketika satu band dengan Angus Young, gitaris bertubuh pendek dengan seragam sekolah, energi yang meledak-ledak, dan gaya bebek berjalan itu. Tapi Malcolm Young punya cara sendiri untuk terlihat berbeda. Dibandingkan sang adik yang pencilakan itu, Malcolm tampak seperti kakak yang baik, menjaga agar fondasi musik mereka berjalan dengan benar.

Posisi favoritnya adalah di sebelah kanan drum. Di sana, ia akan berdiri dan memainkan gitar dengan anteng. Sesekali menengok ke drumer dan bassis, seolah memastikan tak ada yang meleset. Kalau semua baik-baik saja, Malcolm seperti punya dunia sendiri. Dunia ritem rock n roll tanpa basa-basi yang ia bangun dengan penuh kecintaan. Dengan itu semua, AC/DC berdiri dengan tegak dan kokoh.

Malcolm Young lahir di Glasgow, Skotlandia, pada 6 Januari 1953 dari orang tua William dan Margaret. Pada saat Malcolm berusia 10 tahun, keluarga Young bermigrasi ke Australia. Keluarga Young menjadikan musik sebagai urat nadi kedua. Ada 9 anak di keluarga William, 8 lelaki dan 1 perempuan. Semua anak lelakinya bermain musik. Mulai dari anak lelaki tertua, Stephen, Alex dan John yang mengajarkan gitar, begitu pula George, dan Angus.

Ada perbedaan besar bagaimana Malcolm dan Angus tampak dalam pergaulan, sebelum dan sesudah AC/DC. Sebelum band rock ini terbentuk, Angus dianggap sebagai angin lalu, terutama oleh kawan-kawan Malcolm. Namun, Angus memang punya mentalitas yang kuat dan tak segan bergaul dengan orang yang lebih tua sekalipun. Dalam AC/DC: Two Sides to Every Glory: The Complete Biography (2005), Mark Evans, salah seorang kawan Malcolm sekaligus personel awal AC/DC, mengingat Angus dengan komikal.

"Dia datang dengan rambut panjang nyaris sepinggang, gigi hijau, dan dia amat kecil," ujarnya. "Hal pertama dalam pikiranku, adalah, 'gila, ada lagi anak keluarga Young? Ada berapa orang sih anak mereka.'"

Beranjak remaja, George, Malcolm, Angus, dan Harry Vanda membuat band bernama Marcus Hook Roll Band. Band ini menjadi debut profesional Malcolm dan Angus saat mereka merilis album Tales of Old Grand Daddy (1973). Namun, mereka kemudian bubar. Malcolm dan Angus pun berencana membuat band baru.

Sambil main musik, mereka bergelut dengan pekerjaan tetap. Angus sebagai tenaga kebersihan dan petugas cetak majalah semi-porno, dan Malcolm sebagai teknisi mesin jahit di sebuah pabrik. Pada 1974, Malcolm dan Angus lepas dari sayap George. Mereka membuat AC/DC.

Malcolm-lah yang punya ide menambahkan satu gitar lagi. Tujuannya adalah membuat musik mereka terasa lebih tebal, alih-alih memakai keyboard. Pilihannya sudah jelas, Angus. Dan bagi si adik, pilihannya tak sukar. Ketimbang terus bekerja sebagai tenaga kebersihan, menjadi musisi rock n roll jelas lebih menyenangkan.

Nama yang dipilih adalah AC/DC, dan nama itu menimbulkan banyak pertanyaan tentang apa artinya. Sandra, kakak ipar mereka, bilang bahwa nama itu didapat saat ia melihat tulisan AC/DC di balik mesin cuci atau mesin jahit. Namun beberapa orang mengartikan AC/DC sebagai kelenturan soal seksualitas. Malcolm dan Angus tak paham soal ini, awalnya. Makanya mereka heran saat ada beberapa undangan tampil dari bar gay.

"Tapi banyak pula perempuan biseks yang maju ke depan sambil mengacung-acungkan vibrator. Mereka mengenakan kaus yang bagian dada kanan kiri dilubangi, membuat payudara mereka menyembul. Itu masa menyenangkan," kenang Malcolm.

Seperti kita tahu, AC/DC tumbuh menjadi salah satu band rock terbesar sepanjang masa. Album debut mereka, High Voltage (1975), hanya dirilis di Australia. Lagu-lagunya terang benderang menampakkan syahwat terhadap musik rock n roll dengan gitar tajam dan corak vokal yang kasar dan mentah. "Stick Around", misalkan. Terdengar seperti purwarupa "Back in Black" di kemudian hari. Atau "Soul Stripper" yang menunjukkan padunya permainan ritem Malcolm dan solo gitar gesit Angus.

Baca juga: Album Musik yang Berusia Setengah Abad

Angus kemudian berkembang jadi gitaris yang paling termasyhur dalam jagat rock n roll, baik dari segi permainan maupun karakternya. Ia dikenal dengan seragam sekolahan yang unik. Perihal ini, ia pernah tidak percaya diri karena kostumnya itu terus-terusan diledek penonton. Dengan badannya yang kecil, Angus memang tampak seperti anak sekolahan yang nyasar di atas panggung. Yang kemudian memberinya dorongan untuk tetap percaya diri, tak lain tak bukan, adalah Malcolm.

"Sikat saja mereka. Tunjukkan kalau kamu jago main," katanya suatu saat.

AC/DC bukannya jalan tanpa onak. Kematian vokalis Bon Scott pada 1980, tak lama setelah perilisan album Highway to Hell, membuat banyak orang berpikir karier mereka sudah tamat. Kehilangan vokalis, apalagi yang punya persona kuat seperti Bon, adalah upper cut telak yang seringkali membuat sebuah band tak bisa bangkit lagi.

Baca juga: Dave Grohl & Foo Fighters yang Moncer Selepas Band Lama

Namun, ternyata mereka bisa bangkit, sekaligus membuktikan bahwa memang motor band ini adalah duo Angus bersaudara. Brian Johnson direkrut menggantikan Bon, dan mereka merilis Back in Black (1980). Album dahsyat yang direkam hanya dalam waktu 7 minggu ini berhasil menjadi album dengan pencapaian dahsyat. Ia sering disebut sebagai album terbaik AC/DC, sekaligus album terlaris kedua sepanjang masa. Album ini terjual lebih dari 50 juta kopi hingga saat ini.

Lagu "Back in Black" sendiri berhasil menahbiskan peran Malcolm sebagai juru masak di balik riff-riff bertenaga sekaligus lengket di kuping. Intro lagu itu berhak dimasukkan ke dalam daftar intro terbaik versi siapapun. Di luar itu, ada banyak riff-riff buatan Malcolm yang layak dikenang. Mulai dari "Let There Be Rock" yang membuktikan suara gitar bisa sebising gergaji mesin, "Thunderstruck" yang membuktikan gitar Angus akan terasa kosong tanpa fondasi ritem Malcolm, atau bagaimana "Dirty Deeds Done Dirth Cheap" yang bunyi awalnya seperti provokasi untuk menjalani hidup menyerempet bahaya.

Infografik Malcolm Young

Malcolm nyaris tak pernah absen dari konser dan tur AC/DC. Bahkan ketika usianya mencapai 60 tahun sekalipun. Tapi kondisi badannya memang tak prima. Pada sebuah wawancara, Angus bilang bahwa Malcolm sering kehilangan konsentrasi sejak menggarap album Black Ice. Namun ia tetap ikut tur dunia Black Ice yang berakhir pada 2010.

Sejak itu, ia mendapat perawatan, dan rutin melakukan latihan lagu-lagu sebelum manggung supaya ia bisa ingat bagaimana memainkannya. Dalam wawancara bersama Guitar Player, Angus bilang bahwa sang kakak akan terus main hingga ia tak sanggup lagi.

Baca juga: Mengapa Musisi Lupa Lirik atau Lokasi Konser?

Masa itu akhirnya tiba pada April 2014. Malcolm mengambil jeda dari tur band, dan September 2014 dipastikan bahwa sang pendiri band ini tidak akan bergabung lagi karena kondisi kesehatan. Koran Sydney Morning Herald kemudian menulis bahwa Malcolm diduga menderita dementia dan dirawat di sebuah rumah kesehatan di Sydney. Beberapa hari kemudian, keluarga Young menyatakan bahwa Malcolm benar menderita demensia.

Tapi Malcolm tetap tak bisa bertahan tanpa musik. Keluarganya memastikan selalu ada musik yang diputar di sampingnya. Entah itu Chuck Berry, entah itu Buddy Holly. Malcolm bertarung dengan demensia cukup lama, hingga akhirnya ia meninggal pada 18 November 2017, menyusul sang kakak, George, yang meninggal pada 22 Oktober.

Kematian Malcolm meninggalkan duka bagi banyak orang. Ia memang dianggap kalah tenar ketimbang sang adik, tapi pengaruhnya tak bisa diabaikan begitu saja. Adam Sweeting menulis untuk The Guardian, bahwa Malcolm adalah, "tulang punggung dari sound band."

Sedangkan Scott Ian dari Anthrax mengatakan bahwa Malcolm, "adalah mesin bagi band. Ia kekuatan pendorong AC/DC sejak mereka pertama terbentuk. Bagi pendengar sepintas lewat, mungkin mereka tak tahu siapa Malcolm Young. Dia adalah gitaris ritem terhebat di dunia."

Malcolm pergi meninggalkan warisan tak ternilai bernama AC/DC. Permainan gitarnya akan selalu dikenang. Lagu-lagu ciptaannya terus dikumandangkan oleh generasi yang lebih muda. Guns N Roses hingga Foo Fighters membuat panggung persembahan untuk Malcolm. Sedangkan Angus Young yang dianggap sebagai salah satu gitaris paling eksplosif itu, akan selalu mengingat petuah sang kakak:

"Malcolm selalu mengajariku: jangan cuma gelitiki gitarmu, tapi setubuhi dia!"

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani